http://www.deviantart.com/art/Dark-November-Days-416446892 |
Minggu
ketiga bulan November yang kering, hari kelima dalam pekan. Ruangan bernama
Dahlia itu masih sama: tanpa pesona Dahlia sedikit pun. Tetap sekeras dan
sekerontang kayu Eboni, nama lamanya. Tetapi wajah-wajah di dalamnya mencerminkan
hal yang berbeda hari itu. Ada keceriaan mengudara dan senyum-senyum tersimpul
ketika kawan-kawan Sahabat Insan datang. Seketika juga, senyum yang sama
tersimpul di bibir kami.
Sembari
mengunyah makan siang mereka, kami menyapa dan mulai mengobrol dengan beberapa
TKI yang ada di sana. Ada beberapa orang yang sedang melahap mie instan selain
memakan jatah makan siang yang biasa diberikan. Yah, tidak heran. Cuaca yang
panas dan menu makanan yang tidak variatif serta kombinasi dengan lamanya
mereka "tinggal" di sana bisa jadi membuat para kawan-kawan TKI membutuhkan
selingan makanan lain. Setelah selesai dengan makan siang mereka, mulai
bergulirlah cerita-cerita ringan yang memenuhi ruangan sempit itu.
Mulai
dari perkenalan kembali hingga cerita pengalaman yang biasa, tentang kehidupan
sehari-hari di negeri tempat mereka bekerja dulu hingga detail kegiatan mereka setiap
hari di ruangan itu (yang diselingi kantuk dan mereka kadang menguap karena
terbiasa tidur siang setelah makan). Ada beberapa wajah baru semenjak kunjungan
terakhir kami minggu sebelumnya. Kebanyakan dari mereka masih mengalami trauma
dan terlihat tidak sehat.
Seorang kawan TKI yang baru masuk ke sana masih dalam
pemulihan pasca-operasi pengangkatan tumor di payudara. Keadaannya masih terguncang
dan menolak makan. Salah satu suster dari Sahabat Insan mencoba menyuapi
makanan sedikit demi sedikit setelah mencoba berbincang beberapa lama, dan
akhirnya ia mau makan meskipun sangat sedikit. Ada juga yang mengalami masalah
di penglihatannya hingga sukar melihat dan ada juga yang belum bisa diajak
berkomunikasi dengan lancar dan lebih memilih untuk tidur. Kami terus membangun
komunikasi dengan mereka yang masih terlihat sakit ini, mencoba membangun
jembatan kehangatan yang mungkin jarang mereka dapatkan.
Sebagian
besar dari kawan-kawan TKI di sana sudah tampak lebih sehat. Beberapa orang yang
sebelumnya mengeluh sering sakit kepala dan memiliki tekanan darah yang sangat
tinggi sudah mulai pulih dari pusing dan tekanan darahnya sedikit demi sedikit
mendekati normal. Kawan TKI yang mengalami masalah dengan kulit di tangannya
juga berangsur membaik. Obrolan kami bersama mereka diselingi dengan suguhan
snack yang kami bawa dan dengan antusias mereka ambil. Senang rasanya melihat
mereka makan dan menggembung pipinya karena mengunyah dengan lahap. Mereka
terlihat lapar meskipun jam makan belum lama berlalu.
Kami
mengobrol dengan topik yang hampir sama dari minggu ke minggu tiap kunjungan
kami ke sana, namun selalu ada binar berbeda yang menyeruak. Kadang suasana
sunyi yang dominan, tapi di lain kesempatan seiring kondisi beberapa dari mereka
telah membaik, suasana bisa menjadi lebih hangat dan hidup, membungkus
kegetiran yang kadang tetap terasa di panca indera kami.
Dari
obrolan-obrolan kami yang biasa, tetap terucapkan asa dari mereka untuk pulang
ke kampung halaman. Mereka menunggu
detik-detik ketika mereka dapat bertemu muka dengan sanak keluarga mereka.
Mereka menunggu kesempatan untuk dapat keluar dari sana dan dapat menyongsong
masa depan serta pekerjaan yang lebih baik. Harapan itu selalu ada dan terlihat
di bola mata mereka, dalam setiap perjumpaan kami hingga saat lambaian
menguntai kepergian kami tiap minggunya dari sana.
November
ini kering, namun asa tetap ada, setidaknya dalam lubuk hati mereka.