Kira-kira sebulan yang lalu, relawan SI sudah pernah
menjenguk wanita malang ini. Saat itu ia masih dalam perawatan di ruang ICU. Tubuhnya terbujur lemah tanpa bisa bergerak.
Hanya matanya yang memandang ke sekelilingnya tanpa ada yang mengetahui apa
yang ingin ia sampaikan. Ia juga tidak
mampu memberikan respon saat dipanggil atau diajak bicara. Berbagai macam
selang masuk melalui tubuhnya. Ada selang infus, selang makan dan kateter untuk
saluran pembuangan. Ia pun bernafas melalui lubang di tenggorokannya. Tak ada
seorang pun yang tahu apa sebenarnya yang terjadi pada Sri sampai kondisinya
menjadi demikian parah. Keluarga pun hanya tahu dari teman-temannya bahwa ia
jatuh di kamar mandi tempat kerja dan tidak sadarkan diri. Saat itu teman-temannya
membawa Sri ke rumah sakit setempat. Selanjutnya tidak ada yang mengetahui
bagaimana prosesnya hingga tempurung kepalanya harus dilubangi dan belum
ditutup kembali, sampai akhirnya dikembalikan ke tanah air didampingi oleh suaminya, dan dirujuk ke sebuah rumah
sakit di Jakarta. Keluarga juga tidak memiliki rekam medis yang bisa
menjelaskan tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh tenaga medis di sana.
Setelah hampir 3 minggu dirawat di ruang ICU karena menunggu
uluran tangan dari para penderma terlebih dahulu, akhirnya operasi pencangkokan tempurung
kepala Sri berhasil dilakukan. Ada sedikit kendala dalam melaksanakan operasi. Saat masuk ke ruang bedah, tekanan darah Sri tiba-tiba meninggi mencapai 250/220, sehingga Sri dikeluarkan lagi dari ruang tersebut dan kembali ke ruang ICU. Keluarga yang mendampingi berusaha menenangkan hati Sri yang masih koma dengan membisikkan
kalimat-kalimat penyemangat. Setelah tekanan darah cukup stabil, operasi
pemasangan titanium untuk menutup tempurung kepala pun dilaksanakan dan memakan waktu cukup singkat,
kurang lebih satu jam. Karena kondisi pasca operasi cukup baik, Sri pun kemudian
dipindahkan dari ruang ICU ke ruang rawat umum.
Saat Sahabat Insan datang siang itu, ibunda Sri yang selama ini menjaga putrinya di rumah sakit sedang duduk
di kursi sambil tertidur di samping ranjang. Suami Sri juga sedang tergeletak pulas di lantai ruangan yang berisi tujuh
tempat tidur tersebut . Mereka bergegas bangun saat mengetahui ada yang datang
menjenguk. Sementara kaki Sri terus menendang-nendang tidak berhenti bergerak,
mengisyaratkan kejenuhannya karena sudah terlalu lama berbaring tanpa bisa berbuat apa-apa. Perban masih
membalut kepalanya, pelipis dan mata kanannya masih bengkak, selang masih
menempel di hidung dan kakinya, ia juga masih bernafas melalui saluran
pernafasan di tenggorokannya.
Dalam kondisi yang masih memprihatinkan tersebut, ibunya tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang mengejutkan: “Apakah hari Senin Sri sudah bisa pulang?”. Sejenak semua terpana, bagaimana mungkin meminta pulang sementara kondisi anaknya masih sangat lemah, apalagi melakukan perjalanan jauh ke Jawa Timur yang memakan waktu 15 jam. Namun, kemudian kami sadar bahwa ungkapan tersebut mencerminkan kelelahan mereka yang sudah memuncak, lelah lahir dan batin. Suaminya pun mengungkapkan keinginannya untuk kembali bekerja di Malaysia. “Uang saya sudah habis. Di sini semua mahal. Belum lagi memikirkan beli susu untuk Sri”, ujarnya. Memang selama ini asupan makanan Sri hanya dari susu yang dimasukkan lewat selang di hidungnya. Harga sekaleng susu tersebut mencapai Rp120.000 – Rp150.000. Selain itu, biaya hidup mereka berdua selama menjaga Sri di rumah sakit juga cukup besar, karena setiap saat harus membeli makanan di warung dan tidak bisa memasak sendiri.
Dalam kondisi yang masih memprihatinkan tersebut, ibunya tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang mengejutkan: “Apakah hari Senin Sri sudah bisa pulang?”. Sejenak semua terpana, bagaimana mungkin meminta pulang sementara kondisi anaknya masih sangat lemah, apalagi melakukan perjalanan jauh ke Jawa Timur yang memakan waktu 15 jam. Namun, kemudian kami sadar bahwa ungkapan tersebut mencerminkan kelelahan mereka yang sudah memuncak, lelah lahir dan batin. Suaminya pun mengungkapkan keinginannya untuk kembali bekerja di Malaysia. “Uang saya sudah habis. Di sini semua mahal. Belum lagi memikirkan beli susu untuk Sri”, ujarnya. Memang selama ini asupan makanan Sri hanya dari susu yang dimasukkan lewat selang di hidungnya. Harga sekaleng susu tersebut mencapai Rp120.000 – Rp150.000. Selain itu, biaya hidup mereka berdua selama menjaga Sri di rumah sakit juga cukup besar, karena setiap saat harus membeli makanan di warung dan tidak bisa memasak sendiri.
Ibunya bercerita bahwa kondisi Sri setelah keluar dari ruang
ICU cenderung stabil, walaupun suhu badannya masih naik turun. Hanya saja, Sri tetap belum
bisa diajak berkomunikasi. Jika diajak berbicara, dia tidak bereaksi. Namun,
saat ketiga anaknya menelpon dan suaranya diperdengarkan lewat speaker HP, air matanya bisa mengalir deras. Hal inilah yang membangkitkan harapan bahwa
kemungkinan untuk sembuh total masih ada.
Pada akhirnya SI yang juga mendampingi proses penyembuhan Sri hanya bisa memberikan pengertian kepada keluarganya bahwa
pengobatan sudah berlangsung setengah jalan namun, belum tuntas. Jika dihentikan, maka semua tindakan medis yang sudah dilakukan selama ini tidak akan membuahkan hasil maksimal, bahkan bisa saja kondisi Sri kembali seperti sedia kala. Untuk itu diperlukan kesabaran dari ibu dan suaminya
untuk melewati tahap demi tahap penyembuhan Sri yang mungkin masih membutuhkan
waktu yang lama. Sambil terus berdoa dan berharap ada pihak yang bersedia
memberikan perhatian untuk meringankan beban yang mereka rasakan.