Tuesday, February 18, 2014

Dilema Kelahiran


Di setiap kelahiran selalu ada tangis dan tawa. Dan, tawa kelahiran kali ini mungkin lebih bermakna kelegaan. Sahabat Insan mendapat kabar gembira pada Rabu, 12 Februari 2014 yang lalu. Kabar gembira yang menyampaikan bahwa Ibu Warti telah melahirkan anaknya. Memang sebelumnya pada Selasa, 11 Februari lalu, Ibu Warti sudah merasa mules. Maka, Mbak Ade yang menjaganya di Shelter Sahabat Insan segera membawanya ke rumah sakit. 

Siang, sekitar pukul 13.00, Ibu Warti tak dapat lagi menahan mulesnya. Ibu Warti dibawa suster ke ruang persalinan. Di sana, Ibu Warti berjuang melahirkan anak ketiganya. Ya, anak ketiga, karena kedua anaknya yang lain beserta suaminya ada di kampung halaman. Bayi perempuan dengan berat 3800 gram dan panjang 50 cm berhasil Ibu Warti lahirkan dengan normal. Meski melahirkan normal, kondisi ibu Warti sebetulnya agak mengkhawatirkan karena dia mengalami pendarahan yang cukup banyak.



Hari itu juga berbagai perlengkapan bayi mulai dari baju, celana, popok, susu, dan lain sebagainya kami siapkan untuk bayi yang belum mempunyai nama itu. Ibunya hanya menyebut anaknya, ”dede”. Namun, hal itu dapat dipahami, sekalipun kami tidak benar-benar merasakan berat perjalanan hidup Ibu Warti. Perasaan dilematis yang mungkin tengah dihadapi Ibu Warti.

Sahabat Insan ikut serta mendampingi Ibu Warti dalam proses melahirkan anaknya di rumah sakit. Pada tanggal 13 Februari, Sahabat Insan bersama dengan Romo Benny H.J. menjenguk Ibu Warti. Hari itu, kami mendapati Ibu Warti tengah tertidur. Maka, kami pun meninggalkannya dan segera melihat ke ruang bayi.

Di ruang bayi, kami tidak diizinkan untuk masuk. Kami hanya dapat melihat melalui kaca dari luar ruangan. Bayi perempuan yang berbalut pakaian putih itu juga sedang tertidur seperti ibunya. Dia sempat menggerakkan kepalanya. Perasaan sukacita mengalir begitu saja ketika melihat bayi mungil yang masih merah itu. Doa pun diam-diam kami haturkan bagi kehidupan anak itu selanjutnya. Kami percaya harapan selalu ada dan Tuhan akan senantiasa menjaganya.

Tak lama kemudian, kami kembali ke ruangan untuk melihat Ibu Warti. Kami gembira melihatnya sudah bangun. Ibu Warti menyambut kami dengan senyuman. Tampak dari raut wajahnya, dia terhibur karena kunjungan kami. Dia mengatakan sudah merasa baikan, walaupun masih merasa sedikit nyeri.

Kami menanyakan keadaanya. Dia menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan terbuka. Raut wajah ikhlas seolah telah menerima masa lalunya sedikit demi sedikit membayang. Tanpa kami minta atau kami paksa, dia pun menceritakan kembali beberapa penggalan pengalaman hidupnya bekerja di Saudi.

Sampai jam makan siang tiba dan suster membawa makan siang untuknya, Ibu Warti masih bercerita kepada kami. Dia sambil memakan makanannya sedikit demi sedikit. Ibu Warti tidak makan banyak. Dia mengatakan bahwa tidak suka makan daging. Romo Benny membujuk Ibu Warti agar memakan daging tersebut yang menjadi lauk siang itu, karena mengandung zat besi yang dibutuhkannya. Apalagi mengingat Ibu Warti telah kehilangan banyak darah. Akhirnya, dia menurut nasihat Romo Benny, walaupun hanya memakan satu potong daging dari empat potong yang disediakan. Setelah Ibu Warti selesai makan, dan jam besuk habis, kami pun berpamitan.

Keesokan harinya, bertepatan dengan hari kasih sayang, 14 Februari, Sahabat Insan kembali menjenguk Ibu Warti bersama dengan Suster Murph. Ini adalah hari baik karena Ibu Warti sudah diizinkan untuk pulang. Melihat Suster Murph, Ibu Warti kembali bergembira. Dia tidak lupa pada Suster Murph yang setiap Jumat mengunjunginya di ruang jiwa. Sesungguhnya itu adalah tanda bahwa dia memang tidak sakit. Ibu Warti menanyakan kabar Suster Murph dan obrolan-obrolan ringan pun terjadi sebagai penghibur hari itu. Ibu Warti sempat mengungkapkan isi hatinya, dia mengatakan bahwa dia senang mengobrol dengan Suster Murph dan Sahabat Insan sewaktu berkunjung ke ruang jiwa. Sampai saat ini, Ibu Warti tidak tahu kenapa dia bisa sampai masuk ke ruang jiwa itu.

Sama seperti sebelumnya, tanpa kami banyak bertanya, Ibu Warti menumpahkan isi hatinya. Ibu Warti bercerita bahwa dia tidak bisa tidur ketika malam. Cerita itu, bukan kali pertama dikeluhkannya. Saat masih berada di ruang jiwa, sebelum dia melahirkan, Ibu Warti seringkali mengatakan bahwa dia tak bisa tidur. Ketika matahari telah naik barulah dia bisa memejamkan matanya, empat atau lima jam. Entah apa yang dipikirkan atau dirasakannya. Gangguan tersebut bisa jadi karena trauma akibat bekerja di Saudi. 

Ibu Warti diperkosa oleh majikannya di Arab Saudi bukan hanya sekali. Bahkan menurut ceritanya, majikannya juga melakukan hal tersebut kepada pembantunya yang lain. Dia tidak berani melawan karena takut. Majikan Ibu Warti sering mengancamnya. Dan dia terbiasa diperlakukan majikannya dengan semaunya.

Kejadian serupa seperti yang dialami Ibu Warti, bukan hanya satu atau dua kali terjadi menimpa para TKI yang bekerja di sektor rumah tangga. Ada TKI yang diperkosa majikannya berkali-kali lalu, bunuh diri. Bahkan, ada pula TKI yang sampai membunuh majikannya karena diperkosa. Padahal TKI tersebut hanya bermaksud membela diri, namun dia divonis hukuman mati oleh Pemerintah Saudi.

Berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu) pekerja migran Indonesia atau TKI yang terancam hukuman mati, jumlahnya 418 orang: 156 perempuan dan 262 laki-laki. Sepanjang 2011—2014 ini, sudah ada 170 orang dibebaskan dari hukuman mati. Namun, masih ada 248 orang yang masih terancam hukuman mati: 89 perempuan dan 159 laki-laki, tersebar di 8 negara yaitu, Malaysia (179 orang: 35 perempuan, 144 Laki-laki), Arab saudi (41 orang: 31 perempuan dan 10 Laki-laki), China (20 orang: 17 perempuan, 3 laki-laki), Singapura (4 orang: 3 perempuan, 1 laki-laki), Iran (1 prempuan), UEA (1 perempuan), dan Thailand (1 laki-laki).

Sahabat Insan tidak pernah tahu dengan pasti perjalanan Ibu Wartinem. Seperti ketika awal pertama kali kami berjumpa tak banyak yang kami ketahui tentangnya. Kendati demikian, dengan terbuka kami merangkulnya. Dan kini, Sahabat Insan pun tak tahu apa yang menjadi rencananya setelah Ibu Warti kembali ke kampung halaman. Paling tidak, kita boleh bersyukur, suatu tahap dalam kehidupannya, suatu masalahnya telah berlalu, telah selesai.