Bulan pertama
telah berlalu, namun hujan masih terus mengguyur ibu kota dan sekitarnya. Apabila
air tumpah ruah di pagi hari, berbagai aktivitas dapat begitu lama tertunda. Berikut
ini sekelumit kisah betapa tidak efektif dan tidak efesiennya birokrasi rumah
sakit yang berujung pada menelantarkan pasien.
TRESNINAS02 http://gabriel-pacheco.blogspot.com/ |
Hari Jumat, hari
ke-dua puluh empat di tahun yang baru. Hari yang dinanti-nantikan setiap orang yang bekerja untuk segera pulang
dan menikmati akhir pekan. Namun, hari itu berbeda untuk Ibu Warti yang tengah
hamil tua. Dia harus kembali ke rumah sakit untuk memeriksakan diri serta janin
dalam kandungannya yang menginjak usia delapan bulan.
Pagi itu hujan
turun lebat, syukurlah kemudian berhenti. Sahabat Insan akhirnya pergi sekitar
pukul 09.30 menuju Rumah Singgah Sahabat Insan untuk menjemput Ibu Warti. Jalanan
agak macet, cuaca mendung. Sebentar gerimis, berhenti, lalu hujan, begitu sukar
diprediksi. Sekitar 40 menit
kemudian, ketika sampai dan bertemu Ibu Warti, kami langsung tancap gas ke
rumah sakit.
Hari semakin
siang dan waktu menunjukkan pukul 11.15. Kami sampai ke salah satu rumah sakit
terbesar milik Pemerintah. Saya ingat ketika menjemput Ibu Warti dua hari lalu,
suster di ruang jiwa hanya memberikan obat yang hanya cukup untuk dua hari saja.
Tentu, kini, obat itu sudah habis diminum. Oleh karena itu, mengingat kandungannya
makin besar, pihak rumah sakit memutuskan untuk membiarkan Ibu Warti rawat
jalan saja.
Ketika awal
pertama berjumpa dengannya, kami sempat bertanya-tanya mengapa Ibu Warti yang
tengah mengandung dirawat di ruang jiwa bersama dengan mantan TKI lain yang
mengalamai gangguan jiwa? Padahal, saat kami berusaha berinteraksi dengannya,
kami merasa dia sehat dan tidak menunjukkan tanda-tanda depresi berat. Pertanyaan itu tak terungkapkan, hanya
bergema di dalam diri kami.
Berbekal surat
dari suster untuk periksa, saya dan Ibu Warti melangkah masuk ke rumah sakit.
Ibu Warti yang tengah hamil tua itu sulit berjalan cepat, sehingga jalan kami perlahan
dan sangat berhati-hati. Kami tidak tahu di mana tempat pendaftaran. Maka, kami
berjalan saja ke arah ruang jiwa tempat dulu Ibu Warti dirawat. Beruntung,
sebelum terlalu jauh berjalan kami berjumpa dengan suster yang menjaga Ibu
Warti sebelumnya.
Melihat kami,
suster langsung memberi tahu bahwa tempat pendaftarannya berada di seberang
rumah sakit. Dia juga
menyarankan agar ibu Warti tidak ikut sibuk berjalan-jalan. Ketika melihat di
sebelah kiri terdapat ruang IGD yang menyediakan banyak tempat duduk, maka
kemudian kami menuju ke sana. Ibu Warti duduk dan kemudian saya berpamitan
mengurus segala sesuatunya untuk berobat.
Saya pergi ke
gedung seberang rumah sakit untuk mendaftarkan Ibu Warti. Di sana saya lihat
masih banyak orang lalu-lalang dan juga masih ada yang mengantre untuk
mendaftar. Tepat di sebuah loket pendaftaran pasien berjaminan, saya bertanya
pada salah seorang staf di sana mengenai Ibu Warti.
Saya menjelaskan
bahwa saya ingin mendaftarkan Ibu Warti, mantan TKI yang menjalani rawat jalan
dan hari ini mau kembali periksa. Saya berikan surat kepadanya. Dia membawa
surat yang saya tunjukkan, meminta saya menunggu, dan masuk ke dalam ruangan
untuk bertanya. Di sana saya menunggu cukup lama, sekitar 10 menit kemudian
staf itu baru ke luar. Saya cukup khawatir juga dan punya firasat kurang enak.
Staf itu, yang
tidak saya ketahui namanya, mengatakan bahwa dia telah menanyakan Ibu Warti ke
bagian administrasi. Mereka biasa menyebut PPAJ. Dan Ibu Lia di PPAJ yang biasa
mengurus, mengatakan bahwa harus ada surat jaminan dari BNP2TKI bahwa pasien
itu akan dibiayai oleh mereka. Kalau surat itu tidak ada maka, tidak bisa
mendaftar. Dia juga mengingatkan bahwa
waktu pendaftaran hanya sampai pukul 11.00. Padahal, jelas-jelas saya lihat tadi
masih ada yang mendaftar, meskipun waktunya sudah lewat dari batas yang
ditentukan
Saya pun
kebingungan sembari mengulang lagi beberapa hal yang dia katakan sekadar
meyakinkan diri. Staf itu pun menganjurkan saya untuk langsung menemui Bu Lia
di PPAJ. Saya bergegas meninggalkan gedung pendaftaran, menuju ruang PPAJ di
rumah sakit. Saya langsung menjumpai Bu Lia dan menanyakan perihal Ibu Warti.
Ternyata sama seperti yang dikatakan staf itu sebelumnya. Dia bilang saya harus
punya surat dari BNP2TKI dulu yang menyatakan kalau mereka akan menanggung
biaya Ibu Warti baru setelah itu boleh berobat lagi, kalau tidak ada ya tidak
bisa. Saya malah disuruh Ibu Lia itu untuk ke kantor BNP2TKI dan menemui
petugas di sana untuk surat tersebut.
Saya mulai lesu
dan agak menyesal. Lalu, saya pun keluar ruangan tersebut dan menghubungi Mbak
Lili, Peduli Buruh Migran, memberi tahunya perihal kejadian tersebut. Saya
menunggu cukup lama dan bingung hendak melakukan apa. Sementara waktu terus
bergulir. Saya makin tidak yakin.
Menyadari bahwa
saya telah meninggalkan Ibu Warti di ruang IGD begitu lama, saya pun menuju ke
tempatnya. Saya katakan bahwa kita telah terlambat untuk mendaftar. Saya tak
memberi tahunya bahwa ada sejumlah hal yang perlu diurus lagi. Tiba-tiba sms
dari Mbak Lili datang, memberi tahu saya bahwa dia telah menghubungi pihak
BNP2TKI dan mereka meminta pihak rumah sakit menghubungi BNP2TKI. Saya pun
pamit kepada Ibu Warti dan hendak ke PPAJ lagi.
Kembali ke PPAJ
saya melihat Ibu Lia tidak ada di tempatnya. Saya sempat menanyakan pada staff
yang berada di luar dan dia dengan mudahnya mengatakan bahwa Ibu Lia sedang
makan. Padahal waktu menunjukkan pukul 11.30. Itu artinya, waktu istirahat
belum tiba. Dan saya terpaku sesaat. Saya sempat mencoba masuk ke dalam
ruangan. Menunggu seorang ibu yang sedang bicara dengan seorang staf yang lain
yang bernama Ibu Savitri. Saya tahu dia karena sebelumnya saya mengurus
surat-surat Ibu Wari dengannya.
Saya berdiri
terpaku di depan pintu. Sementara beberapa staf yang ada di sana hanya
bergeming. Tidak satu pun dari mereka menanyakan keperluan saya. Perasaan sedih
mulai menjalar. Tapi, entah dari mana datangnya, saya kemudian berpikir untuk
berusaha dulu sampai akhir.
Saya langkahkan
kaki ke luar menuju gedung pendaftaran. Staf yang saya lihat pertama tidak
saya jumpai lagi. Maka, saya jumpai yang lainnya. Saya ceritakan apa yang
sedang saya urus. Saya pun bertanya, ”Apa bisa mereka menelpon BNP2TKI? Karena
saya tidak tahu pihak rumah sakit mana yang dimaksud.” Namun, staf itu
mengatakan bahwa lebih baik ke PPAJ saja untuk urus hal tersebut. Saya katakan
lagi kalau staf yang bertugas (Ibu Lia) sedang tidak ada di tempat. Lalu staf
itu mengatakan bahwa saya bisa tanya ke petugas yang lain yang berada di ruang
PPAJ, selain Ibu Lia. Saya mulai lelah dan merasa banyak tenaga yang telah
terkuras. Kemudian, saya bertanya, ”Apa masih mungkin untuk
mendaftar sedangkan waktunya sudah habis?” Dengan santai staf itu menjawab,
”Kalau sudah ada konfirmasi dari bagian PPAJ, bisa mbak.” Mendengar kalimat itu
saya merasa masih memiliki harapan.
Saya kembali
menyeberang menuju ruang PPAJ di rumah sakit. Ibu Lia masih tidak ada di
tempatnya. Saya menunggu dengan resah sembari berpikir untuk masuk dan bertanya
kepada Ibu Savitri. Belum sampai di depan pintu, saya melihat Ibu Lia berjalan
ke arah saya. Saya pun langsung saja mengatakan bahwa Mbak Lili telah
menghubungi BNP2TKI, dan mereka meminta rumah sakit langsung menghubungi
BNP2TKI.
Karena tidak ada
tempat duduk di ruangan Ibu Lia, maka saya menunggu di luar. Dia menelpon
BNP2TKI. Di luar saya melihat Ibu Lia bercakap-cakap seolah mereka telah akrab.
Akhirnya, Bu Lia mengatakan pada saya bahwa BNP2TKI akan megirimkan via faks
surat pernyataan tersebut nanti sore. Dan Ibu Warti dapat diperiksa. Tetapi waktu
telah menunjukkan pukul 12.00.
Ibu Lia bertanya
pada saya, ”Tapi apa bisa daftar ya, kan waktu pendaftaran telah habis?” Saya
katakan padanya, kalau tadi ketika saya tanya hal tersebut di pendaftaran, staf
di sana bilang masih bisa asal ada konfirmasi dari Ibu Lia. Kemudian, Ibu Lia
menelpon bagian pendaftaran, tapi staf yang dicari tidak ada di tempat. Lalu,
Ibu Lia tiba-tiba beranjak dari bangkunya keluar ruangan dan menyampaikan pada
saya kalau urusan ini diurus oleh staf yang lain, yang duduk di sebelahnya. Dengan
mudah dia dapat mengoper tanggung jawabnya. Temannya itu menelpon kembali
bagian pendaftaran. Setelah dapat terhubung, dia memanggil saya dan
menyampaikan kalau pendaftaran sudah tutup dan saya disarankan kembali di hari
Senin.
Akhirnya kami
pulang. Ibu Warti tidak jadi periksa ke dokter. Sebenarnya, apabila sistem yang
ada lebih jelas dan sistematis tentu semua pekerjaan dapat lebih efektif dan efesien,
sehingga kejadian seperti ini tidak akan dialami oleh pasien. Perasaan
terombang-ambing, digantung, tidak jelas, kesal, marah, bercampur aduk saat
itu. Namun, saya telah belajar. Selain perihal kesabaran, yang juga penting
adalah semangat memperjuangkan apa yang menjadi hak kita sampai akhir. Bertahan
dalam proses yang mungkin menyakitkan, walaupun mungkin hasilnya tidak
menggembirakan.