Bagaimanakah
rasanya menjadi mereka, para pekerja migran yang bekerja di
negeri orang, bertahun-tahun, dan kerap kali diperlakukan semena-mena
oleh majikan?
http://keremokay.deviantart.com/art/without-you-427302806 |
Mereka bekerja
keras di sana tak kenal waktu. Banyak yang ternyata merupakan korban
perdagangan manusia, beberapa dari mereka di penjara, bahkan sampai divonis hukuman mati,
atau yang lebih mengenaskan lagi, beberapa dari mereka kembali ke Tanah Air
hanya jazadnya saja.
Padahal mereka
bermigrasi dengan harapan yang penuh untuk kehidupan yang lebih baik. Dan semua pekerja migran yang Sahabat
Insan jumpai, memiliki cita-cita sederhana yakni mengumpulkan pundi-pundi demi
keluarga di kampung halaman.
Sahabat Insan
kembali mengunjungi ruang jiwa di sebuah rumah sakit di Jakarta pada Jumat, 21
Februrari 2014 yang lalu. Sekitar 6 orang mantan TKI berkumpul di ruang depan
bersama kami. Kami mulai menyapa mereka, berkenalan, dan menanyakan pertanyaan
yang sangat sederhana, ”Di mana Mbak bekerja?”. Pertanyaan kami itu pun
mengantar pada pembicaraan yang lebih mendalam lagi.
Dari
obrolan-obrolan kami dengan mereka, kami menyadari sungguh bahwa beberapa dari mereka telah berada dalam keadaan sehat dan tentu siap untuk dipulangkan ke kampung halaman
mereka masing-masing. Kendati demikian, tak satu pun dari mereka yang tahu
kapan tanggal pastinya mereka akan mendapat kabar gembira itu.
Seorang mantan
TKI dengan terbuka bercerita kepada kami pengalamannya bekerja di Saudi selama
4 tahun. Dia baru satu minggu berada di ruang jiwa tersebut. Kadang dia
berbicara dengan bahasa Arab kepada kami, yang dicampur dengan bahasa
Indonesia. Kata-kata
berbahasa Arab keluar begitu saja dari mulutnya seperti tak ia sadari.
Apa yang dia
ceritakan memang tak beda jauh dari yang pernah kami dengar sebelum-sebelumnya.
Tapi kali ini ada yang berbeda dari ceritanya. Berulang kali dia menceritakan
pada kami dengan wajah hampir menangis dan sangat kebingungan. Dia mengatakan
bahwa dia mendapatkan uang dari majikannya di selembar kertas. Mungkin dalam
bentuk cek. Dan itu hasil kerjanya selama kurang lebih 2 tahun. Dia ingat betul
di dalam tas di bagian mana dia meletakkannya.
Sebelum kembali ke Indonesia, majikannya telah mewanti-wantinya untuk menyimpan selembar kertas itu dengan hati-hati. Dan dia merasa telah melakukannya. Sampai di bandara dia tak tahu alasannya, dia langsung dibawa petugas sampai ke ruang jiwa itu. Dan tepat di hari ketiga, di rumah sakit tersebut, dia melihat kertas di dalam tasnya itu tidak ada.
Sebelum kembali ke Indonesia, majikannya telah mewanti-wantinya untuk menyimpan selembar kertas itu dengan hati-hati. Dan dia merasa telah melakukannya. Sampai di bandara dia tak tahu alasannya, dia langsung dibawa petugas sampai ke ruang jiwa itu. Dan tepat di hari ketiga, di rumah sakit tersebut, dia melihat kertas di dalam tasnya itu tidak ada.
Dengan emosi yang
hampir memuncak dia mengatakan, dan ini yang paling teringat, ”Kan kalau tidak
bawa apa-apa pulang ya gimana Mbak...”
Saya tak bisa
membayangkan atau pun merasakan menjadi dirinya. Bagaimanakah rasanya
kehilangan gaji selama 2 tahun bekerja di negeri orang? Sesungguhnya, kertas
itu lebih dari sekadar uang. Selembar kertas itu adalah seluruh hidup dan
harapannya.