Monday, June 23, 2014

Kejutan dari Mindanao

oleh Benny Juliawan SJ


Penumpang di samping saya dalam penerbangan Jakarta-Manila terkejut ketika tahu tujuan perjalanan saya: Mindanao. “Are you sure? That’s a dangerous place. Especially for a foreigner.” Agak kaget dan kebat-kebit juga hati ini mendengar orang Filipina menyebut tempat itu berbahaya. Saya kira sudah lama urusan dengan para gerilyawan itu selesai, tapi banyak orang masih khawatir. Ternyata kekagetan ini hanyalah permulaan saja.

Mindanao Utara adalah wilayah beredarnya gerilyawan komunis, sementara Mindanao Selatan sudah lama jadi tempat bermain gerilyawan Moro yang muslim. Utara-Selatan, kiri-kanan, semua lengkap. Tujuan saya kali ini adalah menuju desa Bendum, kawasan Upper Pulangi, di Propinsi Bukidnon, Mindanao Utara. Kira-kira satu jam perjalanan dari Manila, setelah pesawat mendarat di bandara Cagayan de Oro. Perjalanan diteruskan lewat jalan darat ke kota Malaybalay yang ditempuh selama tiga jam, kemudian ditambah dua jam melewati jalan berbatu ke desa Bendum.


Desa yang terletak di ujung Jalan Makadam ini adalah tempat bermukim orang-orang asli yang kerap disebut Pulangiyen. Desa ini berbatasan dengan pegunungan Pantaron dan hutan lebat. Di sana juga tinggal Pedro Walpole, seorang Jesuit asal Irlandia yang sudah lebih dari 20 tahun menetap. Sebelum menjadi Jesuit, lulusan kehutanan itu, bekerja sebagai seorang konsultan dan keluar masuk hutan di berbagai tempat di Asia Tenggara. Sekarang, dia memilih untuk berbagi hidup dengan orang asli sambil bersama warga merawat hutan di sekitarnya.

Tahun 1992 ketika pertama kali datang, Pedro menjumpai warga desa kehilangan hutan karena penebangan yang masif. Perusahaan-perusahaan logging meninggalkan kawasan tersebut dan hanya menyisakan bukit dan gunung yang nyaris gundul. Warga setempat yang mengandalkan penghidupan dari hutan telah kehilangan segalanya. Sementara itu, deru modernitas menggedor-gedor menawarkan cara cepat bergabung dengan ekonomi pasar dan kehidupan kota.

Perlahan-lahan, bersama warga, Pedro membangun kepercayaan diri dan menata kembali hidup mereka. Salah satu cara yang ditempuh adalah melalui pendidikan berbasis budaya. Oleh karena itu, didirikanlah sekolah yang dinamai  “Apu Palamguwan Cultural Education Centre” (APC). Sekolah ini unik karena dua hal. Pertama, sekolah ini mempunyai kurikulum sendiri yang dibuat sesuai dengan situasi suku asli yang hidup dari hutan. Hutan dan segala kekayaannya mengisi bagian pokok materi pelajaran. Kedua, bahasa pengantar yang dipakai bukanlah bahasa Tagalog, juga bukan bahasa Visayan yang lazim di Mindanao Utara, melainkan bahasa Pulangiyen yang dipakai warga setempat. Buku-buku dan pengajaran disampaikan dalam bahasa tersebut. Menurut penuturan Pedro, bahasa lebih dari sekedar alat komunikasi. Bahasa adalah ekspresi budaya dan itu berarti bagian dari jati diri dan martabat pengucapnya. Anak-anak Pulangiyen merasa lebih percaya diri ketika memakai bahasa ibu mereka dalam belajar.

Selepas dari program APC, ada program pendidikan bagi remaja belasan tahun yang lamanya hanya tiga bulan. Di sini anak-anak tanggung tersebut khusus belajar manajemen sumber daya hutan dan ketrampilan-ketrampilan sederhana lainnya. Mereka mampu membuat peta hutan dan menyiapkan pembibitan tanaman-tanaman keras sesuai dengan curah hujan dan jenis tanahnya. Saya sulit membayangkan anak-anak kota dengan pendidikan yang mahal itu mampu menamai pohon-pohon di hutan, apalagi menatanya seperti dilakukan anak-anak ndeso ini.

Seperti halnya di banyak negara berkembang, kawasan hutan di Filipina habis dibabat demi pembangunan. Luasan hutan yang semula meliputi 70% daratan di awal abad 20 hanya tinggal 18% di ujung abad yang sama. Bahu-membahu, warga asli Pulangiyen menanami kembali kawasan hutan sekunder yang sebelumnya habis dibabat dan mengolahnya sebagai hutan rakyat. Pemerintah Filipina baru mengakui hak ulayat mereka mulai tahun 1997 dengan menyerahkan hak pengelolaan hasil hutan berupa rotan kepada warga asli, yang semula dikuasai sebuah perusahaan swasta.

Pedro tidak terlalu peduli, atau mungkin lebih tepat tidak terlalu khawatir, dengan arus modernitas. Dia tak peduli lulusan sekolah APC, maupun kursus manajemen hutan itu nantinya tidak mampu bersaing di pasar kerja global. Dia juga tak khawatir dengan persaingan yang dibawa oleh para pendatang yang masuk ke desa-desa berbekal pertanian modern yang haus lahan. Orang Pulangiyen hidup dari hutan dan sampai kapan pun akan demikian. Martabat dan harga diri orang Pulangiyen lebih penting, daripada kekhawatiran karena gagal modern.

Saya kaget dengan kerasnya sikap Pedro. Selama ini saya mengenal banyak sekolah yang didirikan bagi warga asli dengan tujuan untuk membuat mereka keluar dari kehidupan tradisionalnya yang dicap primitif dan bergabung dengan masyarakat modern. Anak-anak pedalaman dicekoki matematika yang tidak ada hubungannya dengan perhitungan mereka sehari-hari. Mereka harus menempuh ujian pendidikan kenegaraan mengenai otoritas yang hanya dialami sebagai penindasan. Identitas dan harga diri mereka? Justru itu yang mau diubah supaya mereka lebih beradab! Gara-gara ini, para antropolog menuding sekolah-sekolah misi dan kolonial sebagai agen “civilising mission”. Pernahkah kita berpikir, warga asli yang menolak menjadi modern dan kita menghargainya?

Pertanyaan ini masih saja menggelayuti pikiran saya saat  pulang dari Bendum. Bukan gerilyawan komunis atau Moro yang membuat saya khawatir, melainkan pikiran: jangan-jangan selama ini saya keliru memahami pendidikan.




Benny Juliawan (orwellsj@googlemail.com) is a researcher with Sahabat Insan, an NGO working with migrant workers in Jakarta. Benny is an enthusiastic runner