Ruang Jiwa, tempat yang kami
kunjungi pagi itu. Dengan
sedikit berjalan kaki, sampailah kami di depan pintu jeruji besi. Dari luar, ruangan tersebut terlihat tertutup
dan sepi. Kamipun mengetuk pintu tersebut. Seorang perawat mendekat ke pintu. Setelah mengajukan beberapa pertanyaan, akhirnya kami diperbolehkan masuk.
Begitu pintu dibuka, kami melihat tiga orang pasien yang sedang menonton acara TV. Dua di antaranya adalah
mantan pekerja migran dan seorang mahasiswi S2 dari Universitas swasta ternama di Jakarta. Menurut suster perawat, ada 18 orang pasien di sana. Ada juga seorang pasien yang sudah dipulangkan beberapa waktu yang
lalu. “Di mana sisanya?” Tanya kami. Pagi itu, Dokter sedang melakukan
kunjungan rutin. Hampir seluruh pasien dikumpulkan dalam satu ruangan. Sembari
menunggu mereka datang, kami mengobrol dengan ke tiga pasien yang tidak ikut serta dalam pertemuan
tersebut. Ibu Nani dan Ibu
Tina (nama disamarkan) dulu bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi. Mereka
tidak terlalu mengingat mengapa mereka bisa sampai di rumah sakit. Mereka hanya mengingat kapan mereka mulai dirawat dan sudah
berapa lama di ruang
jiwa. Di tengah percakapan
yang berlangsung, Ibu Nani bertanya apakah mereka dapat meminjam handphone. Mereka ingin
menghubungi keluarga terdekat dan meminta untuk segera dijemput. Namun, kami tidak bisa meminjaminya. Pasien tidak dapat
melakukan kontak dengan pihak luar tanpa sepengetahuan Rumah Sakit. Ketika kata “tidak” terucap dari
mulut kami, raut kekecewaan
tergambar jelas dalam wajah mereka. Lalu, mereka menonton acara TV kembali.
Tak lama kemudian, kunjungan periodik selesai.
Sekitar 15 orang menghampiri dan menjabat tangan kami. Senang, itu yang kami
rasakan. Sedih, teringat latar belakang mereka bisa sampai di Rumah Sakit ini. Sedikit demi sedikit, mereka mulai terbuka. Mereka mulai menceritakan
segala uneg-uneg yang ada. Kami sedikit kewalahan karena semua ingin didengar. Emosi yang belum terkendali
masih terlihat jelas. Ada yang mengamuk hanya karena makanan. Adapula yang tiba-tiba menangis, kemudian tertawa. Mbak Ati
(bukan nama sebenarnya) kemudian mendekat pada kami. Ternyata, dia adalah
perempuan yang tadi menangis. Ketika kami berkenalan dengannya, Mbak Ati
menatap kami sangat dalam. Seperti berusaha mengingat seseorang, dia menatap
sambil memiringkan kepalanya. Mbak Ati dulu bekerja sebagai buruh migran di
Arab Saudi. Dia dipulangkan ke Indonesia saat hendak memperpanjang kontrak kerja. Perlahan, dia mulai menceritakan pengalamannya saat bekerja di sana. “Semua harus berpakaian tutup!” tuturnya. Sambil
tersipu malu, Mbak Ati mempraktekan bahasa Arab yang dia kuasai. Dia juga menceritakan
betapa sulitnya dulu mengirim uang untuk keluarganya di Indonesia. Para pekerja migran tidak diperbolehkan untuk membuka
rekening bank. Mbak Ati harus menitipkan uang tersebut kepada temannya di
Malaysia. Dengan harap-harap cemas, dia
mempercayakan uang tersebut.
Terlihat terhanyut dalam
cerita Mbak Ati, tiba-tiba seorang ibu mengingatkan kami untuk tidak terlalu mempercayai apa yang teman
mereka katakan. Kemudian, kami saling pandang dan tertawa. Walaupun secara emosional mereka belum stabil, mereka bisa saling menjaga satu sama lain. Seperti halnya Mbak Ati dikenal sangat telaten dalam merawat seorang pasien remaja yang memiliki keterbelakangan fisik
dan mental.
Ruang jiwa selalu punya cerita tetapi
tidak selalu dapat terungkap. Ruang jiwa menjadi saksi bisu perjuangan para mantan
pekerja migran yang menjadi korban kekerasan. Mereka berjuang untuk bangkit
kembali dari peristiwa yang membawa mereka ke ruangan tersebut. Semoga mereka segera pulih
dan kembali ke pelukan
hangat keluarga.