Friday, December 19, 2014

Ruang Jiwa

Ruang Jiwa, tempat yang kami kunjungi pagi itu. Dengan sedikit berjalan kaki, sampailah kami di depan pintu jeruji besi. Dari luar, ruangan tersebut terlihat tertutup dan sepi. Kamipun mengetuk pintu tersebut. Seorang perawat mendekat ke pintu. Setelah mengajukan beberapa pertanyaan, akhirnya kami diperbolehkan masuk.

Begitu pintu dibuka, kami melihat tiga orang pasien yang sedang menonton acara TV. Dua di antaranya adalah mantan pekerja migran dan seorang mahasiswi S2 dari Universitas swasta ternama di Jakarta. Menurut suster perawat, ada 18 orang pasien di sana. Ada juga seorang pasien yang sudah dipulangkan beberapa waktu yang lalu. “Di mana sisanya? Tanya kami. Pagi itu, Dokter sedang melakukan kunjungan rutin. Hampir seluruh pasien dikumpulkan dalam satu ruangan. Sembari menunggu mereka datang, kami mengobrol dengan ke tiga pasien yang tidak ikut serta dalam pertemuan tersebut. Ibu Nani dan Ibu Tina (nama disamarkan) dulu bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi. Mereka tidak terlalu mengingat mengapa mereka bisa sampai di rumah sakit. Mereka hanya mengingat kapan mereka mulai dirawat dan sudah berapa lama di ruang jiwa. Di tengah percakapan yang berlangsung, Ibu Nani bertanya apakah mereka dapat meminjam handphone. Mereka ingin menghubungi keluarga terdekat dan meminta untuk segera dijemput. Namun, kami tidak bisa meminjaminya. Pasien tidak dapat melakukan kontak dengan pihak luar tanpa sepengetahuan Rumah Sakit. Ketika kata “tidak” terucap dari mulut kami, raut kekecewaan tergambar jelas dalam wajah mereka. Lalu, mereka menonton acara TV kembali.

Tak lama kemudian, kunjungan periodik selesai. Sekitar 15 orang menghampiri dan menjabat tangan kami. Senang, itu yang kami rasakan. Sedih, teringat latar belakang mereka bisa sampai di Rumah Sakit ini. Sedikit demi sedikit, mereka mulai terbuka. Mereka mulai menceritakan segala uneg-uneg yang ada. Kami sedikit kewalahan karena semua ingin didengar. Emosi yang belum terkendali masih terlihat jelas. Ada yang mengamuk hanya karena makanan. Adapula yang tiba-tiba menangis, kemudian tertawa. Mbak Ati (bukan nama sebenarnya) kemudian mendekat pada kami. Ternyata, dia adalah perempuan yang tadi menangis. Ketika kami berkenalan dengannya, Mbak Ati menatap kami sangat dalam. Seperti berusaha mengingat seseorang, dia menatap sambil memiringkan kepalanya. Mbak Ati dulu bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi. Dia dipulangkan ke Indonesia saat hendak memperpanjang kontrak kerja. Perlahan, dia mulai menceritakan pengalamannya saat bekerja di sana. Semua harus berpakaian tutup!” tuturnya. Sambil tersipu malu, Mbak Ati mempraktekan bahasa Arab yang dia kuasai. Dia juga menceritakan betapa sulitnya dulu mengirim uang untuk keluarganya di Indonesia. Para pekerja migran tidak diperbolehkan untuk membuka rekening bank. Mbak Ati harus menitipkan uang tersebut kepada temannya di Malaysia. Dengan harap-harap cemas, dia mempercayakan uang tersebut. Terlihat terhanyut dalam cerita Mbak Ati, tiba-tiba seorang ibu mengingatkan kami untuk tidak terlalu mempercayai apa yang teman mereka katakan. Kemudian, kami saling pandang dan tertawa. Walaupun secara emosional mereka belum stabil, mereka bisa saling menjaga satu sama lain. Seperti halnya Mbak Ati dikenal sangat telaten dalam merawat seorang pasien remaja yang memiliki keterbelakangan fisik dan mental.

Ruang jiwa selalu punya cerita tetapi tidak selalu dapat terungkap. Ruang jiwa menjadi saksi bisu perjuangan para mantan pekerja migran yang menjadi korban kekerasan. Mereka berjuang untuk bangkit kembali dari peristiwa yang membawa mereka ke ruangan tersebut. Semoga mereka segera pulih dan kembali ke pelukan hangat keluarga.