Ditengah maraknya berita penyintas Rohingya, Sahabat Insan mendapat kabar ada belasan orang dari Myanmar yang
diamankan. Kami mengira
mereka adalah sebagian dari penyintas Rohingya. Kami akhirnya mengunjungi mereka di Rumah Perlindungan milik pemerintah. Sesampainya di RPTC, kami disambut oleh 4 mantan
TKI. Ke 4 ibu-ibu tersebut menyapa kami dan langsung mengajak mengobrol. Mereka
sering dilanda rasa bosan sembari menunggu proses pemulangan ke daerah asal. Kunjungan kami bertepatan dengan pelatihan
tata rias yang dipandu oleh Mbak Vinka. Pihak RPTC
biasanya juga memberikan kegiatan yang beragam setiap hari Selasa.
Mbak Vinka mengajarkan bagaimana cara merias diri yang benar |
Para mantan TKI antusias dalam merias wajah teman mereka |
Kami mulai membaur dengan kelompok tata rias
tersebut. Mereka dengan seksama mendengarkan arahan yang diberikan Mbak Vinka.
Antusiasme sangat terlihat jelas dari cara mereka bertanya dan meyakinkan teman
yang lain bahwa apa yang dilakukan sesuai dengan petunjuk Mbak Vinka. Mereka
berganti-gantian dalam mempraktekan alat rias. Mereka yang
sudah selesai merias diri langsung mengambil handphone dan mengabadikan foto
itu. Sembari kami bercengkrama dengan para mantan TKI, petugas sosial ikut bergabung dengan kami. Sedikit
banyak beliau menceritakan apa saja yang dilakukan oleh RPTC terhadap para TKI,
proses bagaimana TKI bisa sampai di Rumah Perlindungan,
dan kasus kasus apa saja yang sudah ditangani oleh mereka. Sungguh hal tersebut
sangatlah berharga buat kami. Kemudian, kami membagi kue yang sudah dipotong tadi. Sembari menyantap
kue tersebut, beliau
memberitahukan bahwa ada korban lain yang berada di RPTC. Ada 18 orang
berkewarganegaraan Myanmar yang menjadi korban trafficking sebuah Perusahaan Thailand yang beroperasi di
Tual, Flores. Kamipun
berpamitan kepada ibu-ibu tersebut dan bertolak ke bangunan sebelah dimana para
korban trafficking tinggal.
para buruh migran Myanmar |
Kami berjalan ke gedung sebelah dan bertemu
dengan belasan orang Myanmar yang sedang bersantai. Belasan orang tersebut diamankan
pada tanggal 3 Juni 2015. Mereka tidak memiliki dokumen yang lengkap ketika bekerja
di Flores. Mereka direkrut oleh perusahaan Thailand yang bergerak di bidang
perikanan. Hampir seluruh pekerjanya adalah warga negara asing. Mereka menceritakan
bahwa selama 6 bulan bekerja dan mereka belum menerima gaji. Keterbatasan
bahasa membuat kami kesulitan saat melontarkan beberapa pertanyaan pada mereka.
Untungnya, ada satu orang yang bisa berbahasa melayu. Walaupun dengan kosa kata
yang sederhana, bapak tersebut mencoba menceritakan pengalaman pahit yang
mereka alami. Mereka merasa ditipu oleh perusahaan
Thailand. Awalnya, mereka ingin memiliki penghasilan yang lebih baik tapi
mereka malah dimanfaatkan oleh perusahaan asing itu. Mereka sungguh kecewa dan
teringat akan keluarga mereka di Myanmar. Bapak itu mengeluarkan foto anak dan
istrinya. Beliau sangat merindukan keluarganya. Selain buruh migran dari
Myanmar, ada juga yang berasal dari Sumatra dan sekitarnya. Mereka bekerja
sebagai buruh pabrik penghasil papan. Mereka sudah berada di Malaysia selama 1
tahun. Hampir semua pemuda itu berambut botak. Dengan senyuman, mereka
menceritakan bahwa itu adalah salah satu syarat bekerja di pabrik tersebut. Mereka
bekerja di Malaysia hanya bermodal paspor karena itulah mereka ditangkap oleh
petugas kepolisian setempat. Para pemuda tersebut
akhirnya singgah di rumah perlindungan sampai proses berkas pemulangan mereka
selesai.
para buruh migran Indonesia berfoto bersama Suster Laurent |
Suster Laurent dan Suster Muprhy
akhirnya menyudahi perbincangan kami siang itu. Kami kemudian berfoto bersama
di taman dan berpamitan. Semoga mereka segera bertemu dengan keluarga mereka
dan mendapatkan pekerjaan yang layak.