Masalah pekerja migran Indonesia di Malaysia yang tidak berdokumen rasanya sudah menjadi masalah klasik selama bertahun-tahun. Faktor kesamaan budaya, kedekatan geografis, kemudahan transportasi serta hubungan persaudaraan menjadi sedikit dari sekian banyak faktor yang menyebabkan jumlah pekerja migran tidak berdokumen ini tidak berkurang dari tahun ke tahun. Belum lagi faktor tradisi turun temurun, seperti yang dialami oleh para pekerja migran asal Nusa Tenggara Barat, yang telah lama melaksanakan migrasi mandiri ke Malaysia untuk mencari nafkah.
Kesulitan kemudian muncul saat para pekerja tersebut menemui masalah di Malaysia. Menurut Fajar Santoadi dari Tenaganita, LSM yang selama ini mendampingi para TKI bermasalah di Malaysia, ada beberapa tipe pelanggaran hak pekerja yang sering menimpa pekerja di Indonesia di negara tersebut. Jika diurutkan berdasarkan jumlah kasus yang didampinginya selama tahun 2008 - 2013, maka urutan pertama kasus yang sering ditemui adalah gaji yang tidak dibayar, dilanjutkan dengan pemotongan gaji yang tidak sesuai peraturan, pembatasan kebebasan bergerak dan komunikasi, majikan memegang paspor pekerja, rekrutmen tanpa ada pekerjaan tersedia, menjanjikan gaji dan manfaat lain yang tidak sesuai dengan kenyataan, jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan, dan diberhentikan dari pekerjaan secara tidak sah.
Selain beresiko mengalami pelanggaran hak pekerja, para TKI juga seringkali harus menghadapi masalah penangkapan/penahanan (kriminalisasi), pemerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh otoritas (polisi, imigrasi), pemerasan oleh masyarakat (lokal maupun sesama migran dengan cara menyalahgunakan informasi untuk memeras) serta sukarnya menuntut hak secara hukum baik kepada mahkamah sipil maupun mahkamah buruh.
Jika yang mengalami masalah-masalah tersebut di atas adalah pekerja yang berdokumen: ia memiliki paspor dan permit kerja yang masih berlaku, serta nama majikan yang sesuai data yang tertulis dalam permit kerja, maka kesempatan untuk menuntut melalui jalur hukum (mahkamah, pejabat buruh) dapat dilakukan. Namun, para pekerja yang tidak berdokumen sangat rentan menemukan masalah-masalah di atas tanpa solusi. Pekerja tak berdokumen ini meliputi mereka yang: (1) memiliki paspor dan permit kerja yang masih berlaku tetapi majikan bukan yang tertera dalam permit kerja, (2) memiliki paspor yang berlaku tapi tanpa permit kerja, (3) memiliki paspor yang masa berlakunya habis, dan (4) tanpa dokumen perjalanan (paspor) sama sekali. Perlindungan bagi mereka sangat lemah.
Banyaknya pekerja tak berdokumen di Malaysia ini bukan hanya semata-mata kesalahan mereka. Seringkali kondisi tersebut terjadi karena ketidaktahuan pekerja atau minimnya informasi yang mereka dapatkan. Faktor-faktor penyumbang itu di antaranya adalah pemberhentian sepihak dari majikan, kondisi kerja yang buruk (beban kerja, kekerasan, gaji tak dibayar dll), outsourcing/rent seeking company, multilevel employment, masuk secara tidak sah, penipuan oleh perekrut / traficking dan paspor dan dokumen ditahan oleh majikan atau agen.
KBRI Kuala Lumpur Malaysia sendiri, dalam hal ini diwakili oleh Bapak Judha Nugraha (Sekretaris I Konsuler) mengatakan bahwa, idealnya semua manusia/pekerja adalah sederajat tanpa memandang status warga negara, berdokumen /tidak, gender, agama dll. Namun, pelaksanaan di lapangan tentu saja berbeda. Adanya kesenjangan untuk melaksanakan prinsip Deklarasi HAM, prinsip2 ILO, UU pekerja Malaysia (yang tidak membedakan warga negara atau bukan warga negara) dan kontrak kerja; dengan realitas adanya variasi kondisi pekerja (berdokumen dan tanpa dokumen) dan realitas kontrak kerja yang disriminatif dan memihak majikan, perlu dijembatani oleh para pemerhati buruh migran, mulai dari NGO, paguyuban, komunitas maupun individu.
Peta permasalahan BMI tidak berdokumen di Malaysia adalah adanya push factors di Indonesia dan pull factors di Malaysia yang saling mendukung satu sama lain. Push Factor tersebut antara lain kemiskinan, pengangguran, pendidikan rendah dan unskill; lamanya penegakan hukum atas kasus pengiriman TKI ilegal; mudahnya melakukan pemalsuan data paspor dan lemahnya koordinasi antar kementerian/lembaga. Sedangkan Pull Factor-nya antara lain permintaan tenaga kerja asing yang tinggi di negara penempatan, lemahnya pengawasan imigrasi di pintu kedatangan, penegakan hukum yang lemah baik untuk majikan maupun untuk pekerja migran ilegal, kemudahan alat transportasi serta kedekatan budaya dan bahasa
Walaupun tidak berdokumen, namun tentu saja KBRI Kuala Lumpur akan tetap memberikan perlindungan kepada warga Indonesia yang sedang menghadapi masalah. Secara umum, langkah penanganan kasus di KBRI Kuala Lumpur adalah:
1. Pengaduan (rescue)
2. Shelter
3. Bantuan Hukum
4. Repatriasi
Menurut Bapak Judha, solusi Komprehensif BMI tidak berdokumen adalah:
- Penciptaan lapangan kerja di Indonesia
- Penegakan hukum
- Penguatan aspek preventif edukasi proses migrasi yang aman
- Penguatan pengawasan arus lalu lintas batas
- Menghindari kebijakan yang menciptakan moral hazard.
Sedangkan menurut BNP2TKI yang diwakili oleh Bapak Dono Prasetyo (Tenaga Profesional), untuk mengatasi masalah banyaknya TKI yang tak berdokumen, khususnya di Malaysia, mau tidak mau para calon TKI harus mencari informasi sebanyak-banyaknya di lembaga terkait dan mengikuti langkah untuk menjadi TKI aman. Selain itu calon TKI wajib mengikuti penyuluhan, mendaftar di Disnaker setempat, dan mengikuti proses seleksi. Dari pihak pemerintah sendiri perlu membangun kerjasama Asosiasi Advokat Indonesia untuk pendampingan hukum kasus TKI dan memperketat pengawasan proses pelatihan di Balai Latihan Kerja demi meningkatkan kualitas TKI yang dikirim sehingga memperkuat bargaining power TKI.
Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Hariyanto, menyampaikan kritiknya atas upaya upaya pemerintah yang menyetujui legalisasi pemerasan terhadap BMI tidak berdokumen melalui program 6P (Iman Resources). Pemerintah juga dianggap melakukan diskriminasi kepada BMI tidak berdokumen ketika mengadukan permasalahannya, dan menjadikan BMI tidak berdokumen menjadi yang paling disalahkan dalam ketegangan politik kawasan. Lemahnya pengawasan kepada agensi-agensi perekrut dan penyalur BMI serta sosialisasi dan diseminasi informasi masih kurang menyebar luas ikut memperparah keadaan. Untuk itu, SBMI memberikan rekomendasi untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu menyusun MoU untuk kelonggaran perbatasan antara Indonesia - Malaysia, memperkuat upaya diplomasi untuk melindungi BMI tidak berdokumen, meningkatkan pelayanan bagi semua WNI tanpa terkecuali/tanpa diskriminasi serta mengakui jaringan BMI dan organisasi BMI.
Terlepas dari semua masalah di atas, Fajar dari Tenaganita memberikan tips praktis untuk para buruh migran tak berdokumen agar tetap terlindungi. Dia menyarankan agar mereka mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang majikan mereka, misalnya kartu nama, foto, alamat rumah,telepon, tempat bekerja dan lain-lain, serta menyimpan slip gaji sebagai bukti pekerjaan, Ini cukup berguna agar jika sewaktu-waktu mereka menemui masalah bisa cepat terdeteksi. Para pekerja juga diharapkan untuk tidak takut untuk melaporkan jika terjadi pelanggaran, serta meminta bantuan pemerintah Indonesia (dalam hal ini KBRI), untuk melakukan negoisasi.