itinggal atau dibawa ke luar negeri, sehingga permasalahan anak-anak TKI pasti lebih
banyak. KPPPA sudah berkiprah dalam hal-hal yang berhubungan dengan anak, yang
ditandai dengan adanya Deputi Perlindungan Anak dan Deputi Tumbuh Kembang Anak.
Bapak Sesmen mengharapkan dalam seminar ini akan dibahas tentang anak-anak
migran di dalam dan di luar negeri, sehingga bisa memberikan input kepada KPPPA
bagaimana cara memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Bapak Sesmen dan Ketua Umum Sahabat Insan kemudian secara resmi membuka seminar tersebut, dan dilanjutkan dengan pembacaan doa serta foto bersama.
Mengawali seminar, moderator Romo Benny Juliawan SJ mengupas apa yang akan didiskusikan hari ini, dua hal yang seringkali dibicarakan terpisah tapi sangat berdekatan. Yang pertama adalah tentang keluarga
migran, bagaimana konteks migrasi di jaman sekarang ini mengubah cara
kita berkeluarga atau mengubah cara mengasuh anak, cara berkumpul sebagai suami
istri ibu anak dan anak-anak. Hal kedua bahwa situasi yang baru ini membawa
tantangan yang baru, yang seringkali berupa situasi yang kita sendiri tidak
sungguh-sungguh paham bagaimana perlindungan terhadap anak harus diusahakan
dalam konteks keluarga transnasional. Romo Benny kemudian mempersilahkan kedua narasumber menyampaikan paparannya.
Pembicara pertama adalah Ibu Mustaghfiroh Rahayu, MA. seorang dosen dan peneliti
di FISIPOL Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia mempresentasikan hasil penelitian yang
dilakukan bersama-sama dengan dua rekan lainnya yang kebetulan tidak bisa
hadir, yang mengambil tema: “Keluarga dan Pengasuhan Anak Buruh Migran di Temon - Kulon
Progo, Yogyakarta.”
Temon merupakan salah satu daerah yang saat
ini ekonomi masyarakatnya sedang bergejolak karena sebagian besar wilayahnya menjadi
program pemerintah untuk pembangunan bandara baru.
Penelitian ini terjadi melihat adanya gap/bias
dalam kajian-kajian mengenai migrasi terutama di Asia, karena kecenderungan
bahwa mereka lebih melihat isu-isu ekonomi, atau malah kepada hal-hal yang
lebih spesifik yaitu penelitian individu. Penelitian ini mencoba menjembatani
antara kedua hal tersebut, yaitu isu mengenai keluarga dan apa akibatnya
terhadap anak-anak. Kulon Progo merupakan daerah dengan jumlah pengiriman TKI
terbesar kedua di DI Yogyakarta setelah Bantul. Perubahan gejolak sosial yang
sedang terjadi akibat pembangunan bandara juga akan lebih berdampak pada
keluarga. Obyek penelitian anak-anak SMP dengan metode kualitatif/wawancara serta
wawancara sekunder pada pengasuh, yaitu ayah dan neneknya.
Migrasi adalah salah satu pekerjaan alternatif
di saat di tempat asal tidak bisa memberikan mata pencaharian/tidak bisa
menyelesaikan masalah sosial. Kadang malah jadi alternatif utama. Berdasar data
PODES (Potensi Desa) tahun 2011, jumlah BMI di KP terdiri dari 992 BMI
perempuan (61 persen) adan 642 BMI laki-laki (39 persen). Alasan bermigrasi: pertama,
kondisi geografis, kedua, kondisi keluarga, yaitu berkaitan dengan
jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan ekonomi dalam satu rumah tangga, dan ketiga, lingkungan
sosial, yakni adanya contoh atau praktik migrasi ke luar negeri yang dilakukan
oleh tetangga di desa/ dusun lain atau pun oleh anggota keluarga besar. Dalam berbagai
kajian migrasi disebutkan bahwa lingkungan sosial ini banyak berpengaruh
terhadap jumlah orang yang tertarik melakukan migrasi, karena menular. Orang Indonesia banyak disukai oleh majikan di luar negeri karena karakteristiknya yang penurut dan tidak banyak menuntut. Persoalannya, saat sebuah keluarga harus menentukan siapa
yang berangkat untuk bermigrasi, jawabannya adalah perempuan/ibu, karena
pekerjaan yang tersedia itu untuk para ibu.
Penelitian terdiri dari 2 hal: keluarga dan
pengasuhan. Migrasi ini sebenarnya menggoyang pemahaman kita sebagai keluarga
‘normal’ yang tinggal dalam satu atap atau ada unsur kedekatan fisik. Namun
penelitian ini lebih ingin mengetahui bagaimana pemikiran anak-anak dengan definisi
keluarga. Sebagian besar jawabannya adalah ayah dan ibu adalah keluarga inti.
Bagaimana sebuah keluarga selalu tetap bersatu
sebagai keluarga walau berjauhan, adalah teknologi. Mereka saling berkomunikasi
untuk pengasuhan jarak jauh. Akibat lain anak jadi manja. Kebutuhan pertama
gadget, computer. Dan ibu selalu berusaha memenuhi keinginan anak-anaknya
sebagai perwujudan kasih sayang.
Nenek mempunyai peran penting dalam proses
pengasuhan, karena menjalankan fungsi sebagai orang ibu. Saat memilih mau diasuh oleh ayah atau
nenek, anak-anak tetap memilih untuk diasuh oleh ayahnya. Nenek jadi pilihan bila kedua orang tua mereka
bermigrasi.
Dalam banyak kajian internasional terkait para ayah yg
menjadi ortu tunggal karena ibunya menjadi buruh migran, para lelaki cenderung
terasa ada maskulinitas dia yang terusik. Tetapi di Kulon Progo mereka tidak
merasa terusik. Jadi mereka terbiasa memasak, mencuci, dan pekerjaan rumah
tangga lainnya tanpa merasa meninggalkan maskulinitasnya. Hal ini disebabkan karena para ayah tersebut tidak hanya berpangku tangan dan tergantung pada income
yang dikirim oleh istri, tetapi juga punya penghasilan sendiri, sehingga menggantikan pekerjaan perempuan/istri hanya dipandang sebagai masalah pembagian peran.
Masalah terjadi ketika anak-anak dilatih dari
kecil untuk ditekan emosinya dengan jalan tidak menceritakan masalah atau hal-hal buruk yang menimpanya kepada ibu atau orang tuanya yang jauh di negeri orang, dengan alasan orang tuanya sudah lelah, sehingga
mereka menjadi pribadi yang tertutup, pendiam dan tidak terbiasa mengeluarkan
emosi.
Masalah lainnya adalah, berkurangnya kedekatan
emosional antara ibu dan anak. Anak-anak tidak pernah merasa dekat dengan ibunya.
Contohnya, saat ibunya pulang kampung, sang anak tetap ingin tidur dengan
bapaknya, bukan ibunya.
|
Presentasi oleh Ibu Mustaghfiroh Rahayu, MA |
Dari presentasi tersebut, moderator merangkum bahwa ada 3 masalah
yang muncul dalam keluarga migran yaitu::
1. Pengasuhan jarak
jauh
2. Pengasuhan terjadi
dalam lintas generasi
3. Dalam keluarga
transnasional, terjadi pergeseran peran gender, ayah dan ibu bertukar posisi.
Ada 6,5 juta TKI di luar negeri. Dan pasti ada ratusan
ribu sampai jutaan keluarga yang terpengaruh atau situasi hidupnya berubah
karena proses migrasi. Bagaimana masyarakat, keluarga dan negara dapat
melakukan perlindungan terhadap anak-anak transnasional semacam ini, dibahas oleh narasumber selanjutnya, yaitu Bapak Hadi Utomo, Pemerhati Anak,
Ketua Yayasan Bahtera (Bina Sejahtera Indonesia), Mitra Kerja KPPPA, yang mengambil tema: Konvensi Hak-hak Anak, yang membahas hukum dan kebijakan yang perlu menjadi prioritas saat membahas tentang anak migran, dan satu konvensi yang telah disahkan, yaitu migran workers.
|
Presentasi oleh Bapak Hadi Utomo |
Pertama, Indonesia meratifikasi yang disebut
Prof Muladi sebagai induknya HAM Kovenan Ekosob (yang banyak membahas buruh
migran) melalui UU no 11 tahun 2005 dan Kovenan Sipol melalui UU no 12 tahun
2005. Dengan meratifikasi ini Indonesia mengambil resiko besar karena harus
merombak hak-hak ekonomi, sosial budaya, termasuk di dalamnya hak buruh migran
yang sudah tercantum dalam UU Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 yang harus
diubah dan disesuaikan dengan Kovenan. Turunannya
ada di Komisi Hak Anak.
Di
Komisi Hak Anak (KHA), terdapat delapan klaster atau kelompok, yaitu:
- Langkah-langkah Umum Implementasi
- Definisi Anak
- Prinsip-prinsip Umum KHA
- Hak Sipil dan Kebebasan
- Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif.
- Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar
- Langkah-langkah Perlindungan Khusus
- Pendidikan,
Waktu Luang dan Kegiatan Budaya.
Anak migran termasuk dalam kelompok V. Ibu
atau bapaknya migran otomatis anaknya terlantar. Ini satu-satunya isu yang dianggap dan
harus masuk dalam perlindungan khusus, di luar kluster perlindungan khusus,
yang diperuntukkan bagi anak-anak dalam situasi darurat, anak yang berkonflik
dengan hukum, anak yang berada dalam situasi eksploitasi (eksploitasi ekonomi,
eksploitasi sebagai pengguna atau pengedar narkoba, eksploitasi seksual dan
kekerasan seksual termasuk di dalamnya pornografi anak, serta penculikan,
perdagangan dan trafiking, dan eksploitasi bentuk lainnya), dan kelompok
minoritas dan suku terasing.
Di dalam kelompok V secara spesifik disebutkan
bahwa, anak yang tercabut secara temporer dan permanen dari lingkungan
keluarganya, harus diberikan perlindungan khusus (special protection and
assistance) yang disediakan oleh negara. Kategorinya adalah orang tua yang
tidak ada di rumah dalam kurun waktu tertentu, baik di dalam negeri atau luar
negeri. Probemnya adalah negara tidak membantu, padahal negara mengambil untung
1 tahun 110 trilyun yang masuk ke keluarga-keluarga migran sehingga negara
tidak perlu repot-repot mengentaskan kemiskinan, plus devisa 35 Trilyun yang
masuk APBN. Tetapi negara lupa menyatakan bahwa itu bagian dari special
protection dan butuh bantuan negara. Bantuannya adalah dia harus mengatakan
bahwa anak harus masuk kategori pengasuhan alternatif. Statement ini tidak ada
di UU Ketenagakerjaan. Jika ortu bekerja jauh, maka anak harus diselamatkan,
diberikan pengasuhan alternatif. Jika diasuh kakek neneknya, maka dibantu untuk
konseling.
Tantangan kita ke depan adalah, memasukkan ini dalam
UU Perlindungan Anak. Selama ini sudah ada 3 UU yang mengandung undur pengasuhan dan
perlindungan anak. Yang pertama UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam
UU ini dinyatakan bahwa jika orang tua berkelakuan buruk sekali, dan dipandang
tidak cakap mengasuh, maka hak asuhnya dicabut. Norma hukum dalam UU ini tidak
diikuti oleh struktur (siapa yang akan melakukan) dan proses sehingga pasal itu
mati. Yang kedua UU nomor 4 tahun 79 tentang Kesejahteraan Anak, yang menyatakan kuasa asuh orang tua dapat dicabut jika diduga melakukan tindakan yang tidak
pantas kepada anaknya. Namun norma hukum dan struktur juga tidak jelas. UU Perlindungan Anak ketiga adalah UU nomor 23 tahun 2002, yang sebagian pasal diamanemen
dalam UU nomor 35 tahun 2014 dan UU nomor 17 tahun 2016. Semua mengatur tentang pengasuhan dan perlindungan yang
tidak mengatur special protection and
assistance provided by the state. (negara tidak turut serta dalam program
perlindungan anak). Malah disebutkan untuk menghukum orang tua
yang melakukan pelanggaran pidana terhadap anak, maka hukuman diperberat 1/3.
KHA menghendaki langkah perdata, orang tua dicabut hak asuhnya untuk beberapa waktu
tertentu, bukan dihukum. Anak diselamatkan dulu, dan orang tua wajib ikut kursus
parenting skills dan konseling untuk menyelamatkan jiwa dan perbaikan diri
sampai mampu mengasuh anak dengan baik.
Kekerasan bukan hanya secara fisik dan mental.
Ada yang dampaknya lebih dahsyat daripada itu. Pada pendampingan di
daerah-daerah TKW di Cianjur, Bandung Barat, Purwakarta, dan Brebes, anak yang
bermasalah dengan narkoba dan perilaku menyimpang, 70% berasal dari anak TKW.
Jika negara berhasil menghasilkan pemasukan 35 trilyun dari hasil jerih payah,
penderitaan batin dan penderitaan fisik orang tua yang bekerja di luar negeri,
negara tidak menyatakan program assistant providing dan protection.
Bantuan yang harus dilakukan adalah memasukkan
hal-hal dibawah ini dalam UU Perlindungan Anak:
- Pengasuhan
alternatif dan perlindungan dari kekerasan, penelantaran (terlantar jiwa
harus dimasukkan dalam UU. Anak TKW sudah pasti terlantar jiwa),
eksploitasi, tersedia parenting, konseling gratis dan mudah diakses.
- Tanggung
jawab orang tua/pengasuh dalam mengasuh dan melindungi anak dan
menghormati padangan dan pendapat anak.
Saat ini ada kekosongan hukum, tidak ada
lembaga negara yang memiliki
kewenangan untuk melakukan deteksi dini terhadap anak yang
mengalami kekerasan dan penelantaran di dalam keluarga.
Jika hal tersebut tidak ada, maka anak akan
rentan penelantaran (fisik, mental/psikologis, pendidikan, kesehatan),
kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi dan trafiking, narkoba/napza
serta anak berkonflik dengan hukum.
Kumpulan rindu adalah kecewa. Kumpulan kecewa
adalah tidak adanya keterikatan batin antara ibu dan anaknya dan rentan dengan
perilaku-perilaku di atas.
Negara harus menjamin pengasuhan alternatif untuk
anak-anak yang tercabut secara temporer atau permanen melalui undang-undangnya,
dalam bentuk antara lain keluarga asuh, rumah perlindungan sementara, kafalah
(satu keluarga mengasuh anak tetangga), foster placement, adopsi, atau panti
sebagai alternatif terakhir.
Kita telah mengesahkan UU no nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers And Members
Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja
Migran Dan Anggota Keluarganya), namun UU ini belum masuk
dalam UU Ketenagakerjaan, atau harus memiliki undang-undang pekerja migran,
dengan memasukkan hak anak atas pengasuhan alternatif.
Substansi/Materi Pokok Konvensi Pekerja Migran
Setiap pekerja migran dan anggota keluarganya memiliki hak atas :
- Kebebasan untuk meninggalkan, masuk
dan menetap di negara manapun,
- Hak hidup, hak untuk bebas
dari penyiksaan,
- Hak untuk bebas dari
perbudakan,
- Hak atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama,
- Hak atas kebebasan
berekspresi, hak atas privasi,
- Hak untuk bebas dari
penangkapan yang sewenang-wenang,
- Hak diperlakukan sama di muka
hukum,
- Hak untuk mendapatkan
perlakuan yang sama dalam hak terkait kontrak/hubungan kerja,
- Hak untuk berserikat dan berkumpul,
- Hak mendapatkan perawatan
kesehatan,
- Hak atas akses pendidikan
bagi anak pekerja migran,
- Hak untuk dihormati identitas
budayanya,
- Hak atas kebebasan bergerak,
- Hak membentuk perkumpulan,
- Hak berpartisipasi dalam
urusan pemerintahan di negara asalnya,
- Hak untuk transfer
pendapatan.
- Termasuk hak-hak tambahan
bagi para pekerja migran yang tercakup dalam kategori-kategori pekerjaan
tertentu :
1)
pekerja lintas batas,
2)
pekerja musiman,
3)
pekerja keliling,
4)
pekerja
proyek, dan
5)
pekerja mandiri.
Perlindungan khusus merupakan dampak dari gagal perlindungan anak
seperti kekerasan fisik, mental, penelantaran, perlakuan menelantarkan,
perlakuan ceroboh, eksploitasi
anak, dll. Rumusan di UU harus dipertajam. Satu lagi, bagian dari kekosongan hukum
adalah, anak tidak dijadikan korban saat orang tua berkonflik / bercerai.
Mereka harus dinyatakan sebagai korban dan punya hak akses untuk
konseling.
Pemukulan berdampak buruk pada perkembangan
jiwa dan kepribadian anak, tetapi dampaknya lebih buruk. Mengabaikan setingkat
dengan membentak. Saat ini semua orang memiliki alat untuk mengabaikan, yaitu
gadget. Dampak pukulan, bentakan, ancaman, hinaan, makian kepada anak adalah
rentan gagal asuh dan gagal didik, serta anak menderita batin.
Rangkuman moderator atas presentasi tersebut adalah:
1. Pak Hadi memetakan dimana sebenarnya ruang proteksi
yang bisa diperbaiki untuk anak-anak migran dan anak yang memiliki keretanan tertentu
secara umum. Khususnya anak migran adalah tidak memiliki perhatian dari orang
tua. Dan perlindungan dalam konteks negara bentuknya adalah UU. Pak Hadi
menunjukkan ada lubang besar yang harus digarap untuk perlindungan khusus anak.
2. Fenomena yang lebih besar adalah persoalan masyarakat yang sedang
berubah, misalnya migrasi, dan ada perubahan lain yang khas untuk negara berkembang seperti
Indonesia. Pada diri
anak,
itu menimbulkan kebutuhan batin tertentu. Apakah peran yang harus dilakukan oleh negara dan masyarakat untuk
meminimalisir resiko dan memberikan perlindungan kepada anak di hadapan
kerentanan baru tersebut?
Kita sedang mencari perubahan-perubahan yang
sedang kita tanggapi.
Menyudahi diskusi hari tersebut, moderator mengatakan bahwa kalau boleh
memilih, kita ingin kembali ke masa ketika unia masih tenteram, ketika
keluarga belum mengalami gonjang ganjing seperti sekarang ini. Namun hal itu
tidak mungkin terjadi. Keluarga dan masyarakat kita sedang mengalami perubahan
besar-besaran yang terjadi sangat cepat. Oleh karena itu, bukannya kita mau
mempertahankan masa lalu, namun kita mau mencari
cara bagaimana kita tidak dilindas oleh perubahan-perubahan ini, agar kita
tidak kewalahan menghadapi perubahan. Itu adalah semangat yang kita bangun
bersama dalam kesempatan diskusi ini.
Pada kesempatan terakhir, Romo Benny menginformasikan sebuah buku yang telah dibagikan kepada semua peserta pada saat registrasi, yaitu buku hasil
kerjasama beberapa lembaga di Asia Pasifik yang melakukan penelitian tentang
pola pengasuhan yang terjadi di keluarga-keluarga migran dalam konteks yang
berbeda-beda. Ada Indonesia dan Filipina sebagai negara pengirim buruh migran,
serta negara Jepang, Taiwan dan Vietnam. Jepang dan Korea adalah negara yang
menerima buruh migran, sedangkan Vietnam sebenarnya sama dengan Indonesia
sebagai pengirim buruh migran, namun mereka sedang mengalami proses urbanisasi
besar-besaran, sehingga banyak keluarga yang mengalami perubahan yang sangat
massif. Buku tersebut berbahasa Inggris, karena harus mengakomodir kebutuhan negara-negara tersebut di atas.
Tetapi untuk kasus di Indonesia dan Filipina ada terjemahannya, dan bisa dijadikan bahan
diskusi lanjutan.