Tuesday, January 31, 2017

Pemutaran Film "Erwiana - Keadilan Untuk Semua"

Tanggal 16 Januari 2017, Sahabat Insan menghadiri peluncuran dan diskusi film dokumenter "Erwiana - Keadilan Untuk Semua". Acara yang diselenggarakan atas kerja sama Kabar Bumi dan PGI tersebut diadakan di Grha Oikumene PGI dan dihadiri oleh sekitar 100 undangan dari berbagai lembaga, terutama lembaga pemerhati perempuan dan buruh migran. Dalam acara tersebut hadir juga Erwiana serta sutradara Gabriel Odaz. Gabriel Odaz mengatakan bahwa ia termotivasi untuk membuat film tersebut setelah melihat penderitaan para buruh migran, khususnya di Hongkong, dan ingin turut serta memperjuangkan perbaikan nasib buruh migran. Namun karena merasa tidak memiliki cukup pengalaman baik di LSM maupun sebagai aktifis, ia pun memilih menyuarakan permasalahan hak asasi manusia dan perdagangan nausia dengan cara membuat sebuah fim sesuai dengan latar belakangnya sebagai sutradara. Ia berharap bahwa dengan adanya film ini dapat meningkatkan kesadaran pihak-pihak terkait akan adanya perbuatan tidak manusiawi yang seringkali tidak terlihat di mata umum, namun ternyata banyak terjadi di sekitar kita, sehingga diharapkan akan dilaksanakan perbaikan demi perbaikan dan pada akhirnya kasus-kasus serupa tidak akan terjadi lagi.



Film yang berdurasi sekitar 90 menit itu menceritakan seputar kasus yang menimpa Erwiana serta proses advokasi yang dilakukan oleh para pegiat buruh migran Indonesia di Hongkong mengawal kasus tersebut, mulai dari pemulangan Erwiana ke Indonesia sampai akhirnya perjuangan mereka membuahkan hasil dengan hukuman penjara 6 tahun untuk majikan Erwiana. Kisah Erwiana sendiri sudah pernah dituliskan oleh Sahabat Insan dalam artikel Erwiana, Kisah Pahit Yang Berbuah Manis. Dalam film tersebut, dilakukan beberapa wawancara terhadap tim advokasi Hongkong, Chyntia Abdon Tellez (Direktur Mission for Migrants Workers) dan Eni Lestari (JBMI Hongkong), tim advokasi Indonesia: Riyanti dan Karsiweng (Kabar Bumi), beberapa pengamat buruh migran dari Hongkong antara lain Prof. Hans  Ladegaard dari The Hongkong Polytechnic University yang telah melakukan berbagai penelitian tentang buruh migran di Hongkong, Robert Godden, Director of Campaigns & Communications at Rights Exposure dan Eman Villanueva yang sering menyuarakan ketidakadilan terhadap migran di Hongkong, serta beberapa TKW yang sampai saat ini masih bekerja di Hongkong. 





Dalam wawancara-wawancara tersebut, terungkap banyaknya permasalahan migran di Hongkong. Permasalahan yang disoroti adalah besarnya biaya yang harus dibayarkan oleh migran dan dibayarkan tanpa bukti tanda terima/kuitansi, adanya pelecehan fisik dan verbal, perlakuan tidak manusiawi menyangkut jam kerja, jenis pekerjaan, tempat tidur/istirahat dan makan minum, penyitaan paspor oleh agen atau majikan dan masalah lainnya. Permasalahan tidak selalu terdekteksi karena keengganan migran untuk melaporkan kasus yang menimpa dirinya, karena merasa dilema antara merasa diperlakukan tidak adil namun takut kehilangan pekerjaan. Menurut para pengamat, kasus Erwiana yang muncul ini bukan merupakan sebuah kasus khusus, namun merupakan symptomps atau gejala bahwa ada yang tidak beres dalam sistem buruh migran di Hongkong yang perlu diperbaiki.



Pemutaran film dilanjutkan dengan diskusi. Dalam kesempatan ini Erwiana berharap bahwa setelah kasusnya, tidak ada lagi penyiksan-penyiksaan terhadap buruh migran. Namun nyatanya sampai saat ini kasus serupa masih tetap ada. Ia merasa beruntung karena selama di Hongkong banyak lembaga dan teman-teman yang mendukung, namun di negara lain keadaannya belum tentu sama. Walaupun hukuman penjara 6 tahun dirasa tidak maksimal, namun itu sudah hasil perjuangan yang besar serta menghabiskan biaya yang sangat besar oleh seluruh jaringan migran di Hongkong dan di Indonesia, sehingga ia cukup berterima kasih.. Sampai hari ini ia masih sulit untuk menghilangkan trauma atas penyiksaan-penyiksaan tersebut, namun ia berusaha ikhlas dan pasrah serta sampai sekarang masih mendapatkan konseling rutin dengan psikolog selama 2 tahun untuk trauma healing. Sekarang Erwiana juga bergabung dengan Kabar Bumi untuk memperjuangkan nasib teman-temannya yang mengalami ketidakadilan. Erwiana berharap semakin banyak pihak lain yang membantu dan memberikan perhatian kepada nasib buruh migran. 




Menutup diskusi ini, anggota Pokja Buruh Migran PGI Albert Bonasahat mengatakan bahwa pendokumentasian proses advokasi seperti ini menjadi hal yang sangat berguna untuk referensi bagi para pemerhati buruh migran. Film ini juga menekankan betapa pentingnya berjejaring karena dengan demikian semua masalah yang dihadapi akan bisa diselesaikan bersama-sama.

Hal-hal yang dikupas dalam film ini dan perlu mendapatkan perhatian adalah:

  1. Profil dari kebanyakan pekerja migran adalah perempuan karena mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga, berusia muda, dan terdesak akan kebutuhan ekonomi, sehingga mereka pergi keluar negeri bukan karena sebuah opsi tapi terdesak kebutuhan.
  2. Masalah yang biasa dihadapi oleh pekerja migran, terutama pekerja rumah tangga migran. antara lain adalah penganiayaan fisik, penahanan gaji, dan terjebak dalam jeratan hutang tanpa dia mengetahui hutang tersebut untuk apa. Padahal dia berangkat dengan mimpi untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
  3. Apa sebenarnya hak dari pekerja migran. Pekerja termasuk pekerja migran itu bukan komoditas. dia tidak boleh diperlakukan sebagai produk karena dia adalah manusia dengan segala kemanusiaannya. Sebelum berangkat, pekerja migran harus tahu apa saja hak-haknya yang dilindungi secara internasional, jejaring internasionalnya, dan pengenalan mekanisme-mekanisme internasional untuk kasus-kasus ini. Kasus-kasus yang terlihat di film itu sebenarnya terdokumentasi dengan baik dalam review yang dilakukan Committe of Expert of The Application of Convention and Recommendation of ILO. Sejak tahun 2002, dokumentasi dalam film tersebut sudah direkam dan dipertanyakan kepada Pemerintah Indonesia sejak 2002 bagaimana PPTKIS mengurung pekerja migran yang mau pergi dengan dalih pelatihan. Termasuk di dalamnya, bagaimana seorang korban bisa dikuatkan untuk menjalani proses seperti itu? Karena melapor saja itu adalah sebuah persoalan. Saat mengunjungi Hongkong di tahun 2009 dan bertemu dengan Department of Labour, salah satu pejabatnya mengatakan bahwa mereka punya banyak dokumen complain dari pekerja rumah tangga filipina, namun sedikit yang dari Indonesia.
  4. Isu perempuan, khususnya apa yg dialami oleh Erwiana. Dalam pengalaman berdiskusi dengan berbagai kelompok,biasanya kalau melihat apa yang terjadi pada pekerja rumah tangga migran indonesia, sentimen emosinya tinggi. tapi ketika bicara tentnag pekerja rumah tangga yang ada di rumah masing-masing, langsung diam. Ketika kita bicara tentang pekerja rumah tangga, maka bicara tentang perempuan-perempuanyang diperlakukan tidak layak karena keperempuannya. Apa yang mereka lakukan tidak dianggap sebagai pekerjaan karena mereka perempuan. dan mengubah paradigma ini jauh lebih sulit daripada bicara tentang standard gaji, standard kerja yang layak, Perjuangan untuk memintakan hak2 pekerja migran di luar negeri cukup berat, karena mereka akan melihat apakah di Indonesia sudah ada undang-undang yang mengaturnya?   
  5. Hal lain yang bisa dilihat di film tersebut, bagaimana menguatkan keluarga-keluarga yang terpisah minimal 2 tahun. dan untuk menyatukannya kembali. Reintegrasi dengan keluarga menjadi hal yang penting untuk dipikirkan. Film ini memperlihatkan salah satu tantangan bersama dan jadi ranah juang bersama dalam dunia migran. 

Semoga film ini bisa menjadi referensi bagi advokasi para pekerja migran terutama pekerja-pekerja rumah tangga agar ke depannya mereka memiliki nasib yang lebih baik dan diperlakukan secara adil dan manusiawi.