Seperti relawan-relawan lainnya, Gone dan Marsia pada tahap awal diminta untuk membaca buku "Pengetahuan Dasar Relawan Sahabat Insan" yang berisi tentang istilah-istilah dan informasi yang berkaitan dengan dunia migran. Seperti diketahui, selama ini Sahabat Insan memang memberikan perhatiannya kepada nasib para TKI, sehingga saat para relawan sudah familiar dengan dunia tersebut, mereka akan dengan mudah masuk untuk terlibat dengan kegiatan-kegiatan Sahabat Insan.
Selanjutnya, mereka berdua diminta untuk menonton beberapa film yang berkisah tentang penderitaan yang dialami oleh para migran, dan setelah itu merefleksikannya. Kali ini, film yang ditonton adalah: MINAH TETAP DIPANCUNG, sebuah film karya Denny JA - Hanung Bramantyo yang kisahnya diadopsi dari www.puisi-esai.com. Film ini mengisahkan seorang TKW yang memiliki mimpi untuk meningkatkan taraf hidup keluarga dengan mencari nafkah di negeri orang. Mimpinya kemudian hancur saat tiba di sana dan mendapati kenyataan demi kenyataan yang malah membuatnya kehilangan nyawa. Berikut refleksi dari Gone dan Marsia tentang film tersebut:
Minah, Potret Ketidakadilan TKW
Giasinta Angguni
“Mas,
ijinkan aku menjadi TKW ke Arab supaya anak kita bisa sekolah”. Saya lupa
kalimat persisnya, namun kira-kira alasan itulah yang membuat tokoh Aminah
dalam film Minah Tetap Dipancung nekat pergi untuk mengais rejeki di negeri
orang.
Meski
sudah sering melihat berita tentang penyiksaan TKW melalui TV atau koran, saya
sering menganggapnya sebagai sebuah persoalan yang tidak berkaitan langsung
dengan diri saya. “Ah, itu kan terjadi di tempat yang jauh. Sudah tahu banyak sekali
yang disiksa, kok masih ada yang mau jadi TKW di luar negeri?” Begitu pikir
saya tiap kali membaca atau menonton berita penyiksaan TKW Indonesia.
Hari
ini Romo Is meminta saya menonton film Minah Tetap Dipancung. Karena alasan
ekonomi, Aminah atau Minah pun pergi ke Arab Saudi melalui agen penyalur tenaga
kerja. Ia harus mengeluarkan dana empat juta rupiah untuk biaya pelatihan,
mengurus surat-surat, dan lain-lain. Sawah orang tua pun digadaikan untuk modal
Minah pergi ke Arab. Ia berharap gajinya nanti dapat dikirimkan untuk mengganti
biaya modal yang telah dikeluarkan. Tekadnya hanya satu, ia ingin membahagiakan
keluarganya, terutama anak perempuannya yang ingin bersekolah.
Diiringi
isak tangis dari anak serta keluarganya, Minah pun berangkat ke Arab. Ia
bekerja sebagai pembantu di sebuah keluarga. Awalnya semua berjalan lancar.
Namun, Minah tak kunjung mendapat gaji pertamanya. Ia tak bisa mengirimkan uang
kepada keluarganya di kampung. Minah juga tak memiliki hari libur untuk sekedar
keluar rumah dan berjalan-jalan.
Majikan
pria sering menggoda Minah hingga akhirnya ia diperkosa. Minah diancam untuk
tidak mengadukan perbuatannya. Kejadian tersebut dilakukan berulang kali. Minah
pun melapor pada istri sang majikan. Bukannya perlindungan yang ia dapatkan,
justru istri majikan malah menyiksa Minah karena dianggap telah menggoda
suaminya. Minah dipukul, dijambak, bahkan tidak diberi makan.
Suatu
ketika, sang majikan berusaha memperkosa Minah lagi. Untuk membela diri, Minah
pun menikam majikannya dengan gunting hingga majikannya tewas. Minah pun
ditahan dan tidak mendapat bantuan hukum. Di Arab Saudi, nyawa harus dibalas
nyawa. Minah pun dihukum pancung tanpa mendapat kesempatan membela diri dan
perlindungan hukum.
Ada
perasaan tidak enak yang muncul di hati saya setelah selesai menonton film
tersebut. Miris. Sedih. Kecewa. Kasus Minah ini pasti sering dialami oleh para
TKW Indonesia di luar negeri. Meskipun demikian, setiap tahun Indonesia selalu
mengirimkan setidaknya 6,5 juta tenaga kerja ke luar negeri. Mereka pergi tanpa
ada perlindungan, mengorbankan banyak hal dengan harapan bisa membawa pulang
banyak uang.
Terselip
juga perasaan marah karena melihat bagaimana Minah (dan mungkin juga para TKW)
diperlakukan. Oleh para majikan, para TKW dianggap barang miliknya yang bebas
diperlakukan sesukanya. Sedangkan oleh para penyalur tenaga kerja, para TKW
adalah mesin pencetak uang yang dapat mereka peras sesukanya dengan menarik
bayaran tinggi sebelum berangkat.
Perasaan-perasaan
tidak enak ini terus membayangi saya yang sebelumnya merasa bahwa persoalan
para TKW adalah bukan urusan saya. Film Minah Tetap Dipancung berhasil mengetuk
rasa kemanusiaan saya. Saya masih belum tahu apa langkah konkret yang bisa saya
lakukan untuk membantu nasib para TKW. Namun, sekarang mulai muncul kesadaran
dalam diri saya untuk ikut memikirkan nasib mereka.
Minah Tetap Dipancung
Marsia Inggita
Siapakah Minah? Mengapa tulisan ini berjudul “Minah Tetap
Dipancung?”. Film yang baru pertama kali saya tonton ini mengisahkan tentang
seorang TKI asal Cirebon bernama Minah yang mengais rejeki ke Negeri Saudi
Arabia demi bisa menyekolahkan anaknya. Berawal dari melihat keinginan anaknya
untuk sekolah dan dikarenakan kondisi perekonomian keluarganya yang sangat
tidak mampu dan tidak memungkinkan untuk menyekolahkan anaknya, Minah
mengurungkan niatnya untuk terbang ke Negeri Saudi Arabia untuk bekerja sebagai
TKW agar bisa mendapatkan penghasilan lebih dan membawa pulang hasilnya
tersebut untuk segera diberikan kepada suami dan anaknya.
Akan tetapi, mimpi tetaplah mimpi. Harapan Minah untuk
bisa pulang, kembali ke kampung halamannya, bertemu dengan suami, anak dan
keluarganya dan membawa hasilnya itu hanyalah sebuah ekspetasi. Disana ia malah
diperlakukan buruk oleh majikannya. Berawal dari ketika masakan Minah dipuji
lalu Minah tersenyum. Suami majikannya merasa Minah menggodanya, karena pada
dasarnya Minah tidak tahu aturan dan budaya senyum disana diartikan sebagai
“godaan”. Lalu Minah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dimana Minah
diperksa berkali - kali oleh suami Majikannya. Minah berusaha membela dirinya
dengan cara salah satunya mengadu kepada istri Majikannya. Ternyata yang
diterima Minah malah perlakuan kejam, dipukul dan dicambuk bahkan diseret oleh
istri Majikannya.
Sampai pada akhirnya, Minah mencoba untuk membela dirinya
ketika suami majikannya berniat untuk memperkosanya lagi, Minah membela dirinya
dengan cara membunuh suami majikannya itu. Setelah kejadian itu, Minah langsung
mendapatkan tindakan hukum sebagai pembunuh. Di film ini menceritakan juga
bagaimana pemerintah Indonesia lamban menangani kasus Minah ini sampai pada
akhirnya nasib Minah tidak bisa ditolong lagi. Minah divonis hukuman mati
dengan cara dipancung. Pemerintah Indonesia hanya berjanji agar proses hukum
Minah segera selesai. Tetapi karena lambannya tindakan dan pemerintah hanya
memikirkan egonya sendiri, Minah pun tetap dihukum pancung.
Jujur saja, perasaan saya setelah melihat film ini sangat
terpukul sebagai warga negara Indonesia. Saya membayangkan bagaimana jika orang
tua, saudara, kerabat dekat saya atau saya sendiri berada di posisi Minah.
Kita, warga negara yang menjadi TKI di negara lain berjuang bekerja sebagai
buruh migran demi kehidupan keluarga selanjutnya, demi memenuhi kebutuhan hidup
dan perekonomian keluarga, agar bisa menyekolahkan anak dan sebagainya.
Bagaimana mungkin kita bekerja tidak sama sekali mendapatkan perlindungan hukum
dan ketenagakerjaan? Kita berhak! Pemerintah tidak boleh lamban dan diam saja.
Apalagi ini menyangkut harga diri seseorang. Menurut saya tindakan pemerintah
seperti di film tersebut merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan korupsi.
Kenapa saya bisa menghubungkan Korupsi dan Pelanggaran
Hak Asasi Manusia? Karena hampir dalam semua kasus
korupsi, secara langsung maupun tidak langsung akan diikuti oleh pelanggaran
HAM. Perbuatan korupsi selalu berawal dari adanya penyalahgunaan
kekuasaan, artinya pelaku korupsi biasanya dilakukan oleh para pemegang
kekuasaan. Dengan kata lain, bahwa perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh
aparat birokrasi dalam bentuk korupsi, dapat membuat kesengsaraan bagi rakyat kecil
disuatu negara. Itu artinya dengan perbuatan korupsi telah terjadi perampasan
terhadap hak-hak masyarakat atas hak ekonomi, sosial dan budaya, itu berarti
telah terjadi pelanggaran HAM.[1]
[1]Oktovianus
Lawalatta, “Korupsi dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia”,diakses dari http://fhukum.unpatti.ac.id/korupsi/254-korupsi-dan-pelanggaran-hak-asasi-manusia,pada
tanggal 13 Februari 2017 pukul 16.31