

Di dalam buku Settling Down, Romo Benny menuliskan
kisah buruh migran dari Indonesia berjudul “Going Back to Poverty: Failed
Laboour Migration in Flores, Indonesia”. Romo Benny pun berbagi kisah yang
ditulisnya kepada kami. Tulisannya itu berdasarkan pengalaman Romo Benny berjumpa
dengan sekelompok pemuda berjumlah 12 asal dari Pulau Ende, Flores, yang
dideportasi oleh Malaysia. Menurut Romo Benny hal ini menjadi menarik karena
mereka berasal dari desa yang sama dan saling mengenal satu sama lain.
Kisah tentang 12 Pemuda
Ende
Di Malaysia,
ke-12 pemuda Ende itu ditangkap dalam perjalanan menuju ke tempat konstruksi
lain. Mereka bekerja untuk pemborong yang sama. Ketika tengah malam mereka akan
dipindah, sialnya, mereka kena razia dan ditangkap. Usia mereka
bervariasi di antara 18-50 tahun. Beberapa dapat dikatakan “veteran”, sudah
sering keluar masuk Malaysia. Namun, bedanya kali ini mereka tertangkap karena semua tidak memiliki dokumen. Menurut Romo Benny hal tersebut merupakan fenomena migrasi
tradisional, yaitu direkrut saudara atau teman sekampung. Pola rekrutmennya
adalah “Kalau pulang ajak temanmu beberapa dan dibawa ke sini untuk bekerja”. Ini
seperti di rumah ada asisten rumah tangga, dan saat pulang Lebaran dia mengajak
teman atau saudaranya dari kampung. Ini lebih rumit karena melewati batas negara
dan tanpa dokumen. Tentu berbeda dengan calo karena mencari untung dari
penderitaan orang lain. Dalam hal ini tidak begitu karena teman sendiri: hari
ini direkrut besok dia merekrut, sangatlah cair.

Masalah kedua,
tidak ada kegiatan yang dilakukan oleh para buruh migran tersebut untuk
menambah keahlian mereka selama menunggu jadwal kembali ke kampung
halaman. Misalnya saja, di RPTC, kebanyakan yang bekerja di sana adalah sukarelawan. Jumlah petugas
hanya 1 sampai 2 orang saja, dan tidak ada kegiatan untuk mengisi waktu. Misalnya ada yang ingin membuat pelatihan memasak, tidak ada kompor dan alat-alat lainnya yang tersedia di sana. Sesekali para relawan membawakan alat pelatihan yang diperlukan. Namun di waktu lain saat melakukan kunjungan lagi, alat tersebut tidak ketahuan lagi ada di mana. Selain itu, selama masa penantian tersebut, tidak
ada pula yang melakukan sosialisasi dan memberi tahu atau menanyakan soal hak hak mereka.
Sebagai penutup,
Romo Benny memaparkan beberapa hal yang menjadi sebab terbentuknya deportasi, yaitu karena kepentingan
nasional dua negara yang bersangkutan, sistem pelayanan perlindungan sosial, dan
kerentanan para buruh migran: mereka berpendidikan rendah, ekonomi lemah, dan tidak
berpengalaman. Agensi para buruh migran ini tidak diperhitungkan. Mereka tak
pernah ditanya kenapa mereka bermigrasi, apa yang terjadi sampai di rumah dan lain sebagainya, sehingga kebijakan pemerintah yang dibuat selalu meleset. Selalu ada faktor lain selain
persoalan ekonomi yang menyebabkan mereka pergi dari rumah. Misalnya dalam
kisah kedua belas pemuda Ende tersebut, mereka bermigrasi bukan hanya karena
uang yang mereka dapatkan dari hasil berkebun di kampung hanya terbatas dan
cukup untuk sehari-hari, melainkan juga karena adanya imaji yang terbentuk
dalam impian mereka. Mereka bukan bermimpi datang ke Jakarta, melihat Monas,
melainkan ingin pergi ke Malaysia melihat Menara Petronas, karena cerita
teman-temannya itu.

Terakhir, Romo
Benny menekankan pentingnya perlindungan di tingkat bilateral dan ASEAN. ASEAN memang
sudah menandatangani perlindungan, namun masih sebatas untuk buruh migran yang
berdokumen, jika tanpa dokumen mereka tidak diurus maka sebenarnya, tidak
terlalu berpengaruh untuk kebanyakan buruh migran.
Mencermati bahwa persoalan migrasi dan buruh migran ini tak pernah ada habisnya maka hadirnya lembaga-lembaga sosial seperti JCAP, Sahabat Insan, dan lainnya yang menaruh perhatian kepada mereka yang dibuang atau dimarginalkan sangatlah dibutuhkan.