Romo Benny Hari
Juliawan, SJ yang menjadi penulis sekaligus editor buku tersebut pertama-tama
menyebutkan latar belakang dibuatnya buku. “JCAP memiliki kekurangan dari segi
riset, padahal banyak data. Maka kami sepakat membuat penelitian bersama
sehingga ada keterampilan baru dalam melakukan penelitian, memperluas jejaring
atau cakupan karya lembaga”. Romo Benny memang sejak lima tahun yang lalu
dipercaya menjadi koordinator Jesuit Conference of Asia Pacific (JCAP) dengan
fokus pada persoalan migrasi. Karena cakupan migrasi luas, dia berusaha mengisi
kekosongan dengan spesifikasi pelayanan pada persoalan buruh migran. Selain
menjadi koordinator JCAP, Romo Benny juga menjadi penasihat di Sahabat Insan.
Maka buku Settling Down ini menjadi
salah satu buah karya hasil penelitian bersama anggota JCAP. Sebelumnya, pada
tahun 2016, JCAP juga sempat menerbitkan buku berjudul Left-Behind Children and the Idea of the Family dengan fokus
tulisan pada persoalan keluarga buruh migran di Asia.
Terdapat 6
tulisan dari buku Settling Down ini yang
masih memiliki benang merah dengan tema pengalaman buruh migran ketika mereka
sampai di negara tujuan dan ketika mereka pulang ke kampung halaman. Keenam
tulisan tersebut di antaranya kisah buruh migran di Taiwan, Korea, Filipina,
Vietnam, dan Indonesia.
Di dalam buku Settling Down, Romo Benny menuliskan
kisah buruh migran dari Indonesia berjudul “Going Back to Poverty: Failed
Laboour Migration in Flores, Indonesia”. Romo Benny pun berbagi kisah yang
ditulisnya kepada kami. Tulisannya itu berdasarkan pengalaman Romo Benny berjumpa
dengan sekelompok pemuda berjumlah 12 asal dari Pulau Ende, Flores, yang
dideportasi oleh Malaysia. Menurut Romo Benny hal ini menjadi menarik karena
mereka berasal dari desa yang sama dan saling mengenal satu sama lain.
Kisah tentang 12 Pemuda
Ende
Di Malaysia,
ke-12 pemuda Ende itu ditangkap dalam perjalanan menuju ke tempat konstruksi
lain. Mereka bekerja untuk pemborong yang sama. Ketika tengah malam mereka akan
dipindah, sialnya, mereka kena razia dan ditangkap. Usia mereka
bervariasi di antara 18-50 tahun. Beberapa dapat dikatakan “veteran”, sudah
sering keluar masuk Malaysia. Namun, bedanya kali ini mereka tertangkap karena semua tidak memiliki dokumen. Menurut Romo Benny hal tersebut merupakan fenomena migrasi
tradisional, yaitu direkrut saudara atau teman sekampung. Pola rekrutmennya
adalah “Kalau pulang ajak temanmu beberapa dan dibawa ke sini untuk bekerja”. Ini
seperti di rumah ada asisten rumah tangga, dan saat pulang Lebaran dia mengajak
teman atau saudaranya dari kampung. Ini lebih rumit karena melewati batas negara
dan tanpa dokumen. Tentu berbeda dengan calo karena mencari untung dari
penderitaan orang lain. Dalam hal ini tidak begitu karena teman sendiri: hari
ini direkrut besok dia merekrut, sangatlah cair.
Di Malaysia, ke-12 pemuda Ende itu
lalu dihukum 6 bulan penjara dan dideportasi. Apabila di Malaysia mereka
dianggap kriminal yang melanggar undang-undang ketenagakerjaan, begitu mereka
naik kapal dari Portland ke Tanjung Priok dan ditemui oleh pemerintah
Indonesia, status mereka dari kriminal berubah menjadi korban. Di Jakarta mereka untuk sementara ditampung di Rumah Perlindungan/Trauma Center (RPTC) milik Kemensos sebelum dipulangkan ke kampung halaman. Menurut Romo
Benny, perlindungan sosial kita masih banyak lobang. Ada dua masalah
yang seharusnya lekas dibenahi. Pertama, lemahnya lokasi lintas sektoral (komunikasi dan koordinasi dari pemerintah pusat, kabupaten, ke provinsi, dan
sebaliknya). Kemensos memulangkan mereka di Tanjung Priok dengan memberikan uang saku dan uang jalan. Dari Tanjung
Priok ke Maumere mereka dijemput Dinas Kenakertrans Maumere. Di Maumere harusnya mereka dijemput oleh petugas dan diserahkan secara resmi kepada keluarga masing-masing, namun hal tersebut tidak terjadi. Akhirnya ketika
negara tidak berfungsi, jaringan kekeluargaan masuk. Tengah malam mereka menelpon
teman-teman mereka, lalu jaringan kekerabatan berfungsi: mereka dijemput motor
dan kembali ke rumah mereka diantar teman-teman mereka itu. Tidak ada yang tahu
baik itu Dinaskertrans karena katanya tidak ada laporan dari pusat, dan ketika
sudah ada berita semacam itu provinsi pun tidak mengecek ke pusat.
Masalah kedua,
tidak ada kegiatan yang dilakukan oleh para buruh migran tersebut untuk
menambah keahlian mereka selama menunggu jadwal kembali ke kampung
halaman. Misalnya saja, di RPTC, kebanyakan yang bekerja di sana adalah sukarelawan. Jumlah petugas
hanya 1 sampai 2 orang saja, dan tidak ada kegiatan untuk mengisi waktu. Misalnya ada yang ingin membuat pelatihan memasak, tidak ada kompor dan alat-alat lainnya yang tersedia di sana. Sesekali para relawan membawakan alat pelatihan yang diperlukan. Namun di waktu lain saat melakukan kunjungan lagi, alat tersebut tidak ketahuan lagi ada di mana. Selain itu, selama masa penantian tersebut, tidak
ada pula yang melakukan sosialisasi dan memberi tahu atau menanyakan soal hak hak mereka.
Sebagai penutup,
Romo Benny memaparkan beberapa hal yang menjadi sebab terbentuknya deportasi, yaitu karena kepentingan
nasional dua negara yang bersangkutan, sistem pelayanan perlindungan sosial, dan
kerentanan para buruh migran: mereka berpendidikan rendah, ekonomi lemah, dan tidak
berpengalaman. Agensi para buruh migran ini tidak diperhitungkan. Mereka tak
pernah ditanya kenapa mereka bermigrasi, apa yang terjadi sampai di rumah dan lain sebagainya, sehingga kebijakan pemerintah yang dibuat selalu meleset. Selalu ada faktor lain selain
persoalan ekonomi yang menyebabkan mereka pergi dari rumah. Misalnya dalam
kisah kedua belas pemuda Ende tersebut, mereka bermigrasi bukan hanya karena
uang yang mereka dapatkan dari hasil berkebun di kampung hanya terbatas dan
cukup untuk sehari-hari, melainkan juga karena adanya imaji yang terbentuk
dalam impian mereka. Mereka bukan bermimpi datang ke Jakarta, melihat Monas,
melainkan ingin pergi ke Malaysia melihat Menara Petronas, karena cerita
teman-temannya itu.
Seringkali
masyarakat berpikir bahwa buruh migran dengan dokumen, dan yang biasa disalurkan
melalui PJTKI akan lebih aman. Menurut Romo Benny, “Migrasi tradisional NTT dapat
dikatakan ambigu. Kalau bicara HAM dan perdagangan manusia maka semua harus,
sebaiknya jalur formal, tapi tak menjamin keselamatan dan tantangan banyak,
mahal, waktu lama, ikut prosedur dst. dan rawan suap menyuap dan capek, mahal
akhirnya. Tanpa dokumen, bedanya murah, untuk majikan tak perlu bayar permit
kerja”. Dengan demikian, baik yang berdokumen maupun yang tidak sama-sama
rentan mengalami kekerasan di negara tempat bekerja. Bedanya yang berdokumen
artinya negara dan PJTKI bertanggung jawab secara hitam di atas putih. Namun,
biaya yang dikeluarkan sangat besar, dibandingkan dengan jalur tanpa dokumen.
Maka dalam hal ini baik itu buruh migran berdokumen atau tidak sangatlah
penting peran negara untuk melindungi warga negaranya.
Terakhir, Romo
Benny menekankan pentingnya perlindungan di tingkat bilateral dan ASEAN. ASEAN memang
sudah menandatangani perlindungan, namun masih sebatas untuk buruh migran yang
berdokumen, jika tanpa dokumen mereka tidak diurus maka sebenarnya, tidak
terlalu berpengaruh untuk kebanyakan buruh migran.
Mencermati bahwa persoalan migrasi dan buruh migran ini tak pernah ada habisnya maka hadirnya lembaga-lembaga sosial seperti JCAP, Sahabat Insan, dan lainnya yang menaruh perhatian kepada mereka yang dibuang atau dimarginalkan sangatlah dibutuhkan.