Monday, April 2, 2018

VOX VICTIMAE VOX DEI: Peluncuran dan Diskusi Buku Settling Down The Struggles of Migrant Workers to Adapt

Suara korban merupakan suara Allah, begitu kira-kira yang disampaikan oleh Romo Ismartono, SJ membuka acara diskusi buku Settling Down The Struggles of Migrant Workers to Adapt pada Senin, 26 Maret 2018 di Sanggar Prathivi Building, Jakarta Pusat.


Romo Benny Hari Juliawan, SJ yang menjadi penulis sekaligus editor buku tersebut pertama-tama menyebutkan latar belakang dibuatnya buku. “JCAP memiliki kekurangan dari segi riset, padahal banyak data. Maka kami sepakat membuat penelitian bersama sehingga ada keterampilan baru dalam melakukan penelitian, memperluas jejaring atau cakupan karya lembaga”. Romo Benny memang sejak lima tahun yang lalu dipercaya menjadi koordinator Jesuit Conference of Asia Pacific (JCAP) dengan fokus pada persoalan migrasi. Karena cakupan migrasi luas, dia berusaha mengisi kekosongan dengan spesifikasi pelayanan pada persoalan buruh migran. Selain menjadi koordinator JCAP, Romo Benny juga menjadi penasihat di Sahabat Insan. Maka buku Settling Down ini menjadi salah satu buah karya hasil penelitian bersama anggota JCAP. Sebelumnya, pada tahun 2016, JCAP juga sempat menerbitkan buku berjudul Left-Behind Children and the Idea of the Family dengan fokus tulisan pada persoalan keluarga buruh migran di Asia.

Terdapat 6 tulisan dari buku Settling Down ini yang masih memiliki benang merah dengan tema pengalaman buruh migran ketika mereka sampai di negara tujuan dan ketika mereka pulang ke kampung halaman. Keenam tulisan tersebut di antaranya kisah buruh migran di Taiwan, Korea, Filipina, Vietnam, dan Indonesia.


Di dalam buku Settling Down, Romo Benny menuliskan kisah buruh migran dari Indonesia berjudul “Going Back to Poverty: Failed Laboour Migration in Flores, Indonesia”. Romo Benny pun berbagi kisah yang ditulisnya kepada kami. Tulisannya itu berdasarkan pengalaman Romo Benny berjumpa dengan sekelompok pemuda berjumlah 12 asal dari Pulau Ende, Flores, yang dideportasi oleh Malaysia. Menurut Romo Benny hal ini menjadi menarik karena mereka berasal dari desa yang sama dan saling mengenal satu sama lain.


Kisah tentang 12 Pemuda Ende    
                                            
Di Malaysia, ke-12 pemuda Ende itu ditangkap dalam perjalanan menuju ke tempat konstruksi lain. Mereka bekerja untuk pemborong yang sama. Ketika tengah malam mereka akan dipindah, sialnya, mereka kena razia dan ditangkap. Usia mereka bervariasi di antara 18-50 tahun. Beberapa dapat dikatakan “veteran”, sudah sering keluar masuk Malaysia. Namun, bedanya kali ini mereka tertangkap karena semua tidak memiliki dokumen. Menurut Romo Benny hal tersebut merupakan fenomena migrasi tradisional, yaitu direkrut saudara atau teman sekampung. Pola rekrutmennya adalah “Kalau pulang ajak temanmu beberapa dan dibawa ke sini untuk bekerja”. Ini seperti di rumah ada asisten rumah tangga, dan saat pulang Lebaran dia mengajak teman atau saudaranya dari kampung. Ini lebih rumit karena melewati batas negara dan tanpa dokumen. Tentu berbeda dengan calo karena mencari untung dari penderitaan orang lain. Dalam hal ini tidak begitu karena teman sendiri: hari ini direkrut besok dia merekrut, sangatlah cair.

Di Malaysia, ke-12 pemuda Ende  itu lalu dihukum 6 bulan penjara dan dideportasi. Apabila di Malaysia mereka dianggap kriminal yang melanggar undang-undang ketenagakerjaan, begitu mereka naik kapal dari Portland ke Tanjung Priok dan ditemui oleh pemerintah Indonesia, status mereka dari kriminal berubah menjadi korban. Di Jakarta mereka untuk sementara ditampung di Rumah Perlindungan/Trauma Center (RPTC) milik Kemensos sebelum dipulangkan ke kampung halaman. Menurut Romo Benny, perlindungan sosial kita masih banyak lobang. Ada dua masalah yang seharusnya lekas dibenahi. Pertama, lemahnya lokasi lintas sektoral (komunikasi dan koordinasi dari pemerintah pusat, kabupaten, ke provinsi, dan sebaliknya). Kemensos memulangkan mereka di Tanjung Priok dengan memberikan uang saku dan uang jalan. Dari Tanjung Priok ke Maumere mereka dijemput Dinas Kenakertrans Maumere. Di Maumere harusnya mereka dijemput oleh petugas dan diserahkan secara resmi kepada keluarga masing-masing, namun hal tersebut tidak terjadi. Akhirnya ketika negara tidak berfungsi, jaringan kekeluargaan masuk. Tengah malam mereka menelpon teman-teman mereka, lalu jaringan kekerabatan berfungsi: mereka dijemput motor dan kembali ke rumah mereka diantar teman-teman mereka itu. Tidak ada yang tahu baik itu Dinaskertrans karena katanya tidak ada laporan dari pusat, dan ketika sudah ada berita semacam itu provinsi pun tidak mengecek ke pusat.

Masalah kedua, tidak ada kegiatan yang dilakukan oleh para buruh migran tersebut untuk menambah keahlian mereka selama menunggu jadwal kembali ke kampung halaman. Misalnya saja, di RPTC, kebanyakan yang bekerja di sana adalah sukarelawan. Jumlah petugas hanya 1 sampai 2 orang saja, dan tidak ada kegiatan untuk mengisi waktu. Misalnya ada yang ingin membuat pelatihan memasak, tidak ada kompor dan alat-alat lainnya yang tersedia di sana. Sesekali para relawan membawakan alat pelatihan yang diperlukan. Namun di waktu lain saat melakukan kunjungan lagi, alat tersebut tidak ketahuan lagi ada di mana. Selain itu, selama masa penantian tersebut, tidak ada pula yang melakukan sosialisasi dan memberi tahu atau menanyakan soal hak hak mereka.

Sebagai penutup, Romo Benny memaparkan beberapa hal yang menjadi sebab terbentuknya deportasi, yaitu karena kepentingan nasional dua negara yang bersangkutan, sistem pelayanan perlindungan sosial, dan kerentanan para buruh migran: mereka berpendidikan rendah, ekonomi lemah, dan tidak berpengalaman. Agensi para buruh migran ini tidak diperhitungkan. Mereka tak pernah ditanya kenapa mereka bermigrasi, apa yang terjadi sampai di rumah dan lain sebagainya, sehingga kebijakan pemerintah yang dibuat selalu meleset. Selalu ada faktor lain selain persoalan ekonomi yang menyebabkan mereka pergi dari rumah. Misalnya dalam kisah kedua belas pemuda Ende tersebut, mereka bermigrasi bukan hanya karena uang yang mereka dapatkan dari hasil berkebun di kampung hanya terbatas dan cukup untuk sehari-hari, melainkan juga karena adanya imaji yang terbentuk dalam impian mereka. Mereka bukan bermimpi datang ke Jakarta, melihat Monas, melainkan ingin pergi ke Malaysia melihat Menara Petronas, karena cerita teman-temannya itu.
                           
Seringkali masyarakat berpikir bahwa buruh migran dengan dokumen, dan yang biasa disalurkan melalui PJTKI akan lebih aman. Menurut Romo Benny, “Migrasi tradisional NTT dapat dikatakan ambigu. Kalau bicara HAM dan perdagangan manusia maka semua harus, sebaiknya jalur formal, tapi tak menjamin keselamatan dan tantangan banyak, mahal, waktu lama, ikut prosedur dst. dan rawan suap menyuap dan capek, mahal akhirnya. Tanpa dokumen, bedanya murah, untuk majikan tak perlu bayar permit kerja”. Dengan demikian, baik yang berdokumen maupun yang tidak sama-sama rentan mengalami kekerasan di negara tempat bekerja. Bedanya yang berdokumen artinya negara dan PJTKI bertanggung jawab secara hitam di atas putih. Namun, biaya yang dikeluarkan sangat besar, dibandingkan dengan jalur tanpa dokumen. Maka dalam hal ini baik itu buruh migran berdokumen atau tidak sangatlah penting peran negara untuk melindungi warga negaranya.

Terakhir, Romo Benny menekankan pentingnya perlindungan di tingkat bilateral dan ASEAN. ASEAN memang sudah menandatangani perlindungan, namun masih sebatas untuk buruh migran yang berdokumen, jika tanpa dokumen mereka tidak diurus maka sebenarnya, tidak terlalu berpengaruh untuk kebanyakan buruh migran.


Mencermati bahwa persoalan migrasi dan buruh migran ini tak pernah ada habisnya maka hadirnya lembaga-lembaga sosial seperti JCAP, Sahabat Insan, dan lainnya yang menaruh perhatian kepada mereka yang dibuang atau dimarginalkan sangatlah dibutuhkan.