Tanggal 20 Desember 2018 Romo I. Ismartono, SJ
menerima penghargaan Peduli Buruh Migran 2018 dalam rangka International
Migrants Day 2018 di Universitas Ma Chung, Malang, Jawa Timur. Berikut ini
wawancara dengan Romo I. Ismartono, SJ:
1. Penghargaan Peduli Buruh Migran 2018 diberikan
oleh siapa untuk apa?
Dari komunitas Peduli Buruh Migran diberikan
kepada saya untuk menghargai keterlibatan selama ini dalam memberi perhatian
kepada masalah buruh migran.
2. Kalau
begitu, apa hubungannya dengan Universitas Ma Chung?
Tempat menyerahkan
penghargaan itu di universitas tersebut.
3. Puluhan tahun Romo Is dikenal sebagai
tokoh antar-agama, mengapa sekarang tiba-tiba memperoleh penghargaan Peduli
Buruh Migran 2018?
Saya berpikir, memberi perhatian pada buruh migran
merupakan sebuah tindakan dialog kerja. Para buruh migran itu memiliki latar
belakang agama yang berbeda dan kami para pemerhati juga demikian. Mereka
adalah manusia Indonesia yang berada dalam keadaan yang sama. Manusia sebagai
homo faber, makluk yang bekerja mencari kerja di tempat-tempat yang bukan
asalnya.
4. Jadi sekarang Romo Is mengurus buruh migran
yang menjadi korban? Bukan mengurus buruh migran, kan?
Mungkin kata mengurus terlalu besar. Mungkin
lebih tepat memper-hati-kan. Ya, perhatian itu terutama kepada yang paling
membutuhkan pertolongan, yang menjadi korban, misalnya korban perdagangan orang
atau human trafficking.
5. Keprihatinan terhadap korban, apakah
Romo Is tidak tertarik untuk memberdayakan calon buruh migran
mengantisipasi agar mereka tidak menjadi korban?
Ya tertarik, tetapi sudah banyak lembaga yang
mengurus hal itu. Kita tinggal bekerja sama dengan mereka. Saya mulai dengan
memperhatikan mereka yang menjadi korban.
6. Apa langkah selanjutnya yang Romo
pikirkan terhadap korban?
Gagasan saya: saya "membantu para penolong". Saat ini
misalnya, melalui Perkumpulan Sahabat Insan, membantu Suster Laurentina,
PI yang hidup dan bekerja di Kupang, untuk mendampingi mereka dan keluarga
mereka yang menjadi korban perdagangan manusia.
7. Apa rencana Romo untuk kegiatan membantu korban? Apakah tetap sama seperti tahun-tahun lalu, atau akan ada kemajuan dalam pelayanan Romo?
Saya mau terus menawarkan usaha ini kepada orang muda. Masih banyaknya kematian
buruh migran ini ditawarkan sebagai kenyataan yang memprihatinkan bagi bangsa
Indonesia. Bangsa yang telah merdeka selama lebih dari 73 tahun masih saja
menyaksikan kematian warganya karena kemiskinan. Bersama relawan kami mau
merangkai bagaimana memberi perhatian kepada para korban dapat menjadi bagian
dari pembentukan dirinya sebagai orang Indonesia.
8. Adakah ajaran Gereja yang mendukung hal itu?
Ya. Paus Fransiskus sendiri menyatakannya dalam Seruan Apostolik
Evangelii Gaudium (Sukacita Injil, 24 November, 2013) agar kita memberi perhatian
kepada mereka yang diekploitasi, mereka yang dibuang, bagaikan sampah, sebagai
berikut:
Sekarang ini segala hal bermain dalam hukum kompetisi dan the survival of
the fittest, di mana yang kuat menguasai yang lemah. Akibatnya, sebagian besar
masyarakat menemukan diri mereka sendiri tersisih dan tersingkir; tanpa
pekerjaan, tanpa kemungkinan, tanpa jalan keluar dari itu semua. Manusia
sendiri dipandang sebagai barang konsumsi yang bisa dipakai dan kemudian
dibuang. Kita telah menciptakan budaya ”sekali pakai buang” yang sekarang
sedang berlaku dimana-mana. Hal ini tidak lagi melulu tentang eksploitasi dan
penindasan, tetapi sesuatu yang baru. Pengecualian akhirnya terkait dengan apa
artinya menjadi bagian dari masyarakat dimana kita hidup; mereka yang
disisihkan tak lagi menjadi kelas bawah atau masyarakat pinggiran atau yang
tercabut haknya – mereka bahkan tak lagi menjadi bagian dari masyarakat. Mereka
yang tersisih bukanlah orang-orang yang “dieksploitasi”,tetapi orang-orang
buangan, “sampah yang dibuang”.
(Evangelii Gaudium 2013 – nomor 53)
/wawancara selesai/