Minggu, 8 September 2019. Kami memulai pagi ini dengan sarapan nasi dan mie kuah. Om Roni, supir rental yang akan mengantar kami belum tiba, jadi kami memeriksa kembali barang-barang yang akan di bawa hari ini. Hari mulai terang saat akhirnya Om Roni muncul. Ia mengeluh karena dari pukul 05.20 WITA ia menunggu kami di depan pintu gerbang yang masih terkunci, sampai ia tertidur pulas dan tersadar saat suster menghubunginya. Padahal aku sempat memeriksa mobil putih yang terparkir karena Suster Rita, PI memberitahukan bahwa ada mobil di depan, namun saat ku panggil tidak ada yang menyahut, jadi ku pikir itu hanya orang yang sekedar memarkir. Nyatanya Om Roni tertidur.
jalan rusak |
Dan hal
itulah yang terjadi. Pertama kami tersesat di hutan. Untungnya ada seorang bapak
yang akan ke kebunnya melihat kami dan memberitahukan bahwa untuk ke Kapela
Santo Yoseph memang bisa melewati jalan ini, namun tidak bisa dilalui dengan
mobil kecuali dengan jalan kaki. Itu pun akan memakan waktu yang lama. Namun
meskipun tersesat, Suster Laurentina, PI menemukan berkat-nya tersendiri. Bagi Suster pemandangan hutan yang mengering dan hitam karena terbakar ini adalah
suatu karya Ilahi yang indah. Tak urung beberapa foto dengan Suster sebagai
objeknya aku ambil. Namun bagiku ini menyedihkan sekali, karena di tengah kekeringan
seperti ini, jika salah membuang puntung rokok maka kebakaranlah yang terjadi.
Beberapa pohon yang aku lihat bahkan setengahnya hangus, setengahnya masih
hijau. Tempat tersesat kami yang pertama ini adalah daerah perbukitan, semakin
naik ke atas pemandangannya semakin cantik. Puncak gunung Fatule’u terlihat
jelas di sebelah kanan dan di kirinya hamparan terasering kering memanjakan
mata. Di bawah
naungan langit biru, kami turun perlahan kembali ke perkampungan.
Tempat
tersesat yang kedua, kami masuk kebun orang. Di kebun itu ada pohon pisang dan
ubi. Karena saat ini musim panas dan tidak ada sumber air terdekat, maka tidak
ada sayur yang ditanam. Tidak ada jalan lagi di depan alias buntu. Mobil di putar
balik, kami kembali ke jalan beraspal. Ada sebuah
kapela kecil nan sederhana di pinggir jalan. Di kapela itu sedang berlangsung Misa, namun itu
bukanlah kapela yang kami cari. Aku sempat bertanya kepada seorang laki-laki
yang mengikuti misa dan berdiri di luar karena sudah tidak ada tempat duduk di dalam. Bapak tersebut mengatakan kami harus berbelok kiri jika
menemukan cabang jalan untuk sampai di kapela Santo Yoseph Oelnaimuti. Segera
ku beritahukan kepada suster dan Om Supir dan kami pun melanjutkan pencarian
kapela Santo Yoseph. Di daerah ini, sama sekali kami tidak bisa mengharapkan
Google Maps. Google Maps hanya berguna di daerah perkotaan, di sini lebih baik
untuk bertanya kepada masyarakat.
Menuju kapela
Santo Yoseph Oelnaimuti tidaklah mudah. Medan yang ditempuh lebih cocok jika
menggunakan mobil Jeep. Namun mau sesulit apapun tetap harus terus jalan. Ku
anggap ini sebagai pengalaman yang akan bagikan kepada orang terkasih. Ada satu
waktu saat kami harus melewati tanjakan, tanjakan ini tidak rata dan berbatu,
jalan hanya cukup untuk satu mobil, dan tidak ada seorang pun selain kami
di situ. Di samping kanan kiri jalan hamparan luas bekas kebakaran menghitam yang cukup mengganggu indra penglihatan. Om Roni, selaku supir professional menyuruh kami
yang duduk di belakang untuk turun. Mobil akan membelakangi tanjakan, dan
menaikinya dengan bagian belakang terlebih dahulu. Luar biasa, bukan? Sudah ku
bilang akan banyak cerita yang akan ku bagikan.
Dan tempat
tersesat kami yang ketiga adalah adalah di dekat tempat tinggal Pater Deus OCD.
Kami sudah mengikuti arahan Pater Deus, namun tidak menemukan pondok yang pater
bilang. Sampai kami ke tempat antah berantah, dari kejauhan aku melihat sebuah
pondok. Sedikit tidak yakin apakah itu pondok yang dimaksud pater. Kami kembali
harus turun, karena mobil tidak bisa melewati jalan yang berlubang, Om Roni
akan memakai strategi yang sama dengan yang supaya mobil bisa naik. Kami semua
sudah kelelahan, berharap secepatnya bisa menemukan rumah pater dan bisa segera
ke kapela. “Mau tanya
juga, gak ada siapa-siapa.” suara Suster Laurentina PI terdengar, mengundang
tawa. Memang tidak ada siapa-siapa di sini. Hanya ada sebuah bangunan tua tanpa
penghuni dan tak terurus yang sempat kami lewati. Ada beberapa pohon yang
diikat kain merah, lalu ada penanda jalan anak panah yang dipaku di pohon. Kami
yakin masuk tempat antah berantah ini karena tanda tersebut pada akhirnya
tersesat lagi. Baru saja
mobil berputar, suara motor terdengar. Di tengah kesunyian padang sabana ini
memang suara sekecil apapun akan terdengar. Seorang laki-laki muda datang, ia
berhenti di depan mobil. Aku menemani Om Roni yang sibuk mengatur
strategi agar mobil bisa naik tanjakan, sedang yang lain mencari kesibukannya
sendiri.
“Mau pi
mana om?” ia bertanya.
“Kami mau
pi Kapela Santo Yoseph, tapi sonde tau jalan.” Aku yang menjawab.
“Oh ini
salah jalan, kapela di bawah sana.” Tangannya mengarah pada jalan di samping
bangunan tua. Kami tadi sempat melewati jalan itu namun akhirnya putar balik karena
melihat tidak ada jalan, namun nyatanya ada jalan kecil di depannya.
“Tapi kita
ke rumah Pater Deus dulu, baru ke kapela.” Kata Suster Laurentina, PI.
Anak muda
laki-laki itu kemudian menuntun kami ke rumah Pater Deus, OCD. Dari jalan yang kami
lalui ternyata pondok rumah Pater Deus tertutupi oleh pohon dan berada di
dataran yang lebih tinggi sehingga kami tidak lihat. Yang langsung terpikirkan
saat melihat hamparan kering dari rumah pater adalah harus foto. Ini tidak bisa
diabaikan begitu saja. Tempat ini mengingatkanku dengan Sabu, kampung ibu-ku yang juga merupakan padang sabana. Jika musim hujan maka terlihat seperti karpet
hijau yang membentang dari ujung ke ujung, namun jika kekeringan maka tidak
berbeda jauh dengan yang aku lihat sekarang ini. Tapi tetap saja enak di
pandang.
Kami sampai
di rumah Pater Deus bertepatan dengan kedatangan Pater. Ia datang bersama seorang
suster, namanya Suster Leni dan keluarga dari Pater
Deus, kakak perempuan bersama suami dan anaknya. Kami
menghela napas sejenak dan turun dari mobil, lalu membantu mengangkat
barang-barang dari mobil Pater Deus. Ada beberapa snack yang dibawa dan dibagi
dua: untuk umat dan untuk Pater Deus makan bersama keluarga. Kami lalu menuju
kapela Santo Yoseph Oelnaimuti dengan mobil Pater Deus. Mobil milik pater
adalah jenis double cabin sehingga dengan mobil pater lebih mudah sampai ke
kapela. Karena sekali lagi, untuk ke kapela kami bergoyang tanpa musik karena
jalannya yang rusak, berbatu dan banyak tanjakan. Sebuah Sekolah Dasar kami
lewati, lalu berhenti di dua rumah untuk menaikkan umat yang akan mengikuti misa.
Semakin ramai di atas mobil.
Setelah
perjalanan yang memakan waktu sekitar sepuluh menit, akhirnya kami sampai di
puncak bukit yang di atasnya berdiri gagah Kapela Santo Yoseph Oelnaimuti. Umat
sudah banyak yang hadir dan mereka menunggu dengan sabar. Segera kami turun dan
menurunkan semua barang-barang yang ada di atas mobil, termasuk sebuah genset.
Daerah Oelnaimuti sampai sekarang belum ada listrik. Masing-masing dari kami
mempersiapkan diri, hati dan batin untuk mengikuti misa pada pagi menjelang
siang hari ini. "Allah-ku,
terimakasih atas tuntunan-Mu. Kami sudah tiba dengan selamat di Kapela Santo
Yoseph Oelnaimuti. Biarlah hati dan pikiranku selalu tertuju pada-Mu. Amin.’
Sebuah doa ku panjatkan sebelum mengikuti perayaan Ekaristi.
Selesai
perayaan Ekaristi, Pater Deus mempersilakan Suster Laurentina, PI untuk memulai
sosialisasi. Aku dan tim segera mempersiapkan in-fokus dan speaker. Genset
yang sudah dinyalakan dan kabel yang saling berhubungan satu sama lain
menunjang kegiatan sosialisasi oleh suster Laurentina, PI di siang hari ini. Aku
bertugas mengganti slide, sedangkan yang lainnya bertugas sebagai fotografer, satu memegang handphone suster dan yang lainnya memegang handphoneku.
Sosialisasi
yang disampaikan oleh Suster Laurentina PI sama dengan materi sosialisasi
sebelumnya, namun meskipun persiapan sudah dilakukan sebaik mungkin ada saja
yang terlupakan. Dan kami melupakan microphone sehingga Suster mengandalkan
suara kecilnya untuk menyampaikan. Ia harus melawan suara anak-anak kecil yang
memang kehadirannya lebih banyak dari orang dewasa. Sosialisasi ditutup dengan
memutarkan video wajib yang berjudul 'Kabar dari Medan", yang selalu
berhasil membuatku menahan tangis. Beberapa pemudi OMK dan ibu-ibu yang menyaksikan
dengan penuh penghayatan tak kuasa menahan gejolak emosional. Pandangan ku
alihkan pada Suster yang memperhatikan. Setetes air mata yang jatuh dipipiku
segera ku hapus. Sudah berulang kali aku menonton video ini namun selalu aku
menangis juga.
Sesi
sosialisasi berakhir dan seperti biasanya Suster Laurentina, PI meminta kepada
umat untuk memberitahukan jika ada keluarga yang pergi merantau ke Negeri Jiran
dan tidak ada kabar sampai sekarang. Satu laporan masuk dari seorang ibu,
sebuah buku kecil dan sebatang pena ku sodorkan kepada ibu itu, guna menuliskan
nama dan data yang lain. Hanya saja ia tidak tahu alamat keluarga-nya itu di
Malaysia yang sudah pergi sejak tahun 2002 silam. Suster memberikan nomornya dan
meminta mengirimkan foto dari saudara ibu itu. Wajahnya penuh harapan, seolah
menemukan keyakinan baru dalam hati kembali bertemu dengan saudaranya. Semoga
setitik harapan itu menjadi kenyataan.
Pembagian Rosario |
Sampailah
pada saat yang ditunggu-tunggu, terlebih oleh umat pastinya yaitu pembagian
Rosario. Mereka mengantri dengan sabar saat Suster memakaikan Rosario di leher mereka. Aku membantu memilah dan memberikan Rosario kepada Suster
Laurentina PI. Beberapa orang tidak kebagian, dan Suster berjanji akan menitipkan
Rosario pada Pater Deus untuk diberikan kepada mereka yang belum dapat.
Foto di depan Kapel |
Setelah
foto bersama di depan kapela, sambil membunuh waktu menunggu Pater Deus yang
pergi melihat mata air, Suster bercerita dengan anak-anak kecil yang duduk
dekat suster. Mereka terlihat malu-malu dengan segala kepolosan yang tercetak
jelas di wajah. Setelah itu, kami
berpamitan kepada umat yang masih bertahan di kapela. Seorang bapak lanjut usia
yang buta dan dua orang oma yang masih setia mendampingi kami ku berikan salam.
Aku senang bisa bertemu dan melihat mereka, semoga mereka pun merasakan hal
yang sama.
Kami kemudian kembali ke rumah Pater Deus dengan naik mobil. Angin di atas bukit bertiup
kencang, cukup kuat dan membuat kami sedikit goyah. Segera kami masuk ke dalam
rumah untuk menyimpan barang-barang yang kami bawa. Sebuah lopo di belakang
rumah menjadi tempat kami beristirahat. Setelah mendapatkan kembali tenaga,
kami menuju dapur dan melihat kakak dari Pater Deus memotong
sayur. Kami tergerak untuk membantu, namun sayangnya kami tidak bisa terlalu lama di situ dan harus segera pulang karena Suster Laurentina PI ada rekoleksi dengan para
suster. Kami berpamitan dengan Pater Deus dan keluarga, memasukkan peralatan ke
bagasi mobil dan melaju perlahan menuruni bukit yang kali ini jalan yang kami lalui
lebih baik dari yang pertama. Di atas mobil kami mengisi perut dengan nasi
bungkus yang dibeli di sebuah Rumah Makan Padang.
Pukul 15.00
WITA kami tiba di Biara Susteran PI Nasipanaf. Alat-alat yang kami bawa untuk sosialisasi segera kami masukkan ke kantor dan kemudian kami masuk ke kamar untuk beristirahat.
Allahku,
di akhir hari ini, aku menghadap-Mu. Mengingat kembali kemurahan-Mu di sepanjang
hari ini. Engkau memberikan semangat, kekuatan dan kegembiraan dalam bekerja
juga ketenangan di malam hari ini. Bertemu orang baru dan mendapat pengalaman
baru. Rahmat-Mu ya Bapa, tiada yang menandingi. Berjalan bersama-Mu dalam hari
ku merupakan kenikmatan bagiku. Biarlah terang-Mu besok pagi dapat aku lihat.
Amin.