Tina baru selesai menempuh pendidikan SMA Paket C di Atambua bulan April tahun ini. Suatu hari, ia ditawari pekerjaan oleh seorang kenalan yang pernah mengontrak rumah orangtuanya. Setelah berpikir seharian, ia memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Tina kemudian ditampung di rumah orang tersebut. Ia tinggal di sana selama tiga hari. "Di situ, kegiatan yang dilakukan seperti kegiatan sehari-hari di rumah: masak dan cuci piring", ujarnya." Sehari setelah ia ditampung di situ, datang lagi kedua nona bergabung bersamanya. Pada hari Sabtu, ia diantar ke seseorang yang mereka panggil Boss, dan keesokan harinya dia diterbangkan ke Kupang dan transit di Surabaya sebelum menuju ke Batam.
Di Surabaya, saat menunggu pesawat yang akan mengangkut mereka, salah satu anggota tim Anti Human Trafficking menelpon dan meminta mereka untuk membatalkan keberangkatan karena di sana berbahaya. Saat itu juga mereka keluar bandara dan menunggu tim yang akan menjemput. Saat tahu kalau mereka diberangkatkan secara ilegal, Tina menelpon mamanya sambil menangis. Mamanya langsung menelpon polisi dan mencari sang agen yang ternyata sudah kabur terlebih dahulu. "Seandainya sejak awal kami sudah tahu kalau kami berangkat secara ilegal, kami akan menolak berangkat" kata Tina. Pada awalnya ia percaya kalau ia berangkat secara resmi karena selama di penampungan ada nama PT dan surat kerja, sehingga ia berpikir pasti sesuai jalur.
Di Surabaya, mereka dijemput oleh tim Anti Trafficking dan menginap selama 3 hari sebelum akhirnya kembali ke Kupang. Selama di situ, ia melakukan kegiatan sehari-hari, dan juga ikut kegiatan rohani. Ia juga diberi pengarahan agar mengikuti jalur resmi jika ingin bekerja, terutama yang lokasinya di luar NTT. Saat di Surabaya, Tina cukup dekat dengan kedua teman lainnya. Namun semenjak mereka diam-diam sering menelpon agen di kampung halaman, keduanya sering menghindar dari Tina. Tina sendiri tidak tahu apa alasannya. Karena mencurigakan, maka semua HP disita sehingga mereka tidak bisa berkomunikasi lagi. Selanjutnya, saat sampai Kupang, mereka bertiga ditampung di sebuah rumah singgah, dan sayangnya kedua teman Tina malah melarikan diri dengan cara pura-pura minta ijin untuk membeli makanan dan minuman ringan di kios terdekat. "Tiba-tiba dong alasan mau pi kios. Saya sempat nitip uang untuk beli jajan tapi dong kabur bawa saya punya uang", ujar Tina kesal.
Saat tim Anti Trafficking menemui keluarga Tina di Atambua, ibunya sendiri mengatakan, bahwa perasaannya tidak enak sejak awal keberangkatan Tina. Padahal, tadinya anaknya berencana kuliah sambil bekerja di Bali, karena di sana punya keluarga, adik dari Ibunda Tina yang bekerja di salon. Hatinya mulai merasa tidak nyaman saat anaknya dibawa ke tempat penampungan selama dua malam di dua tempat yang berbeda. Dia sempat beradu mulut dengan agennya, menanyakan kenapa tempat penampungannya berpindah-pindah. "Kenapa mesti pindah? Memang tidak amankah? Kalau begini saya bawa pulang saja saya punya anak, kenapa harus pindah, tinggal beberapa jam saja" ujar Ibunda Tina meradang. Namun sang agen mencoba menenangkan. "Ah Mama, kami sudah biasa, di sini satu malam, di sana satu malam", begitu balasannya. Ibunda Tina bersikeras untuk mengantarkan Tina ke tempat yang baru, namun sang agen juga bersikeras supaya ia tidak ikut mengantar. "Mama tidak usah ikut sa. Pagi nanti saya datang menjemput Mama supaya lihat mereka naik pesawat." Keesokan harinya, sang agen tidak juga menjemput dan ibunda Tina pergi sendiri ke bandara naik ojek. Sayangnya, saat sampai bandara, rombongan Tina sudah masuk. Ibunya bersikeras untuk ikut masuk, namun ia hanya dapat melihat anaknya dari jarak jauh melambaikan tangan untuk pamit.
Sang Mama mengaku, hatinya berat melepas kepergian Tina. Ada keraguan yang tidak bisa ia gambarkan, yang bermula saat ia melakukan upacara adat untuk melepas kepergian Tina. Di situ, adatnya menggunakan daun sirih satu lembar, pinang satu lembar dan uang koin. Ritual diawali dengan doa yang dipanjatkan memohon kepada Allah agar menjaga anaknya, termasuk meminta doa kepada ayahnya yang sudah tiada. Selesai berdoa, koin diputar di atas daun sirih pinang sebanyak tiga kali. Upacara dilakukan di sebuah kali yang terkenal cukup angker di belakang rumah mereka. Ia melakukan ritual ini bukan hanya untuk Tina, namun juga untuk kedua temannya yang akan berangkat. Setelah uang koin itu diputar, mereka membelakangi kali, kemudian berbalik menghadap kali. membuang ludah sebanyak tiga kali, kemudian melempar daun sirih, pinang serta uang koin tadi. Benda-benda milik kedua teman Tina masuk ke kali semua, sedangkan koin milik Tina malah jatuh ke tanah dan menurut kepercayaan ini merupakan pertanda tidak baik.
Perasaan tidak enak itu ditambah lagi saat keesokan harinya ia berdoa kerahiman pukul tiga sore dengan menyalakan lilin, dan dari lilin itu muncul bunga api tiga kali. Ia menjadi semakin khawatir. Pada pukul empat sore, kekhawatirannya akhirnya terbukti. Tina yang sudah ada di Surabaya menelpon ibunya bahwa mereka berangkat lewat jalur tidak resmi dan tidak jadi melanjutkan penerbangan ke Batam. Beberapa hari kemudian, sang agen juga menghubunginya untuk memberitahu bahwa Tina tertahan di bandara. Di situ ibunda Tina langsung mengeluarkan amarahnya. Ia sengaja mengajukan banyak pertanyaan kepada sang agen, walaupun sebenarnya ia sendiri sudah tahu dari anaknya. Selesai menelpon, ibunda Tina langsung beranjak pergi ke rumah agen itu, dan mendapati kalau rumahnya sudah kosong, dan nomornya sudah tidak aktif saat dihubungi ulang.
Ibunda Tina sempat menyesal mengapa tetap membiarkan anaknya pergi padahal dulu ia sendiri pernah bekerja di sebuah agen resmi dan tahu betul prosedur resmi untuk memberangkatkan pekerja. Namun saat mengetahui bahwa anaknya telah kembali ke NTT dalam keadaan sehat tidak kurang apapun, hatinya merasa lega dan bersyukur.
Tina sendiri saat ini menunda keinginannya untuk pulang ke kampung halaman, karena masih ada urusan yang perlu diselesaikan. Kini hari-harinya diisi dengan membantu melakukan kegiatan sehari-hari di rumah singgah. Tiap sore, bersama-sama dengan teman-temannya yang lain, ia menyiram tanaman dengan area masing-masing yang sudah ditentukan. Tina kebetulan kebagian tugas menyiram tanaman di depan rumah. Saat cuaca Kupang yang panas sekali seperti saat ini, tanaman-tanaman itu banyak yang kekeringan dan memerlukan air sebanyak-banyaknya. Bersama-sama mereka ke sana kemari mengangkat ember-ember berisi air untuk disiramkan ke tanaman tanaman itu mulai dari tanaman bunga, katuk, pepaya, cabai dan lainnya. Setelah tugas menyiram tanaman selesai, mereka kemudian berpindah ke dapur untuk membantu memasak makanan yang akan mereka lahap malam hari nanti.
Untuk menambah ketrampilannya, ia mengikuti kursus menjahit. Dengan rajin setiap hari ia berangkat dan mempertajam kemampuannya. Awalnya, Tina diantar jemput oleh salah satu staf di rumah singgah itu. Namun setelah seminggu berlalu, kini ia sudah berani berangkat dan pulang sendiri sehingga tidak tergantung kepada orang lain. Di sana, ketrampilannya berkembang pesat dan saat ini Tina sudah bisa menjahit satu buah baju dan selanjutnya ia akan menjahit rok payung. Sebuah modal yang bagus sebagai alternatif untuk mendapatkan penghasilan di daerah sendiri daripada mencari pekerjaan di negeri orang.
Di tengah segala kesibukannya, sebagai remaja yang masih sangat muda, Tina sering teringat akan kisah kelam keluarganya. Air matanya sering jatuh saat menceritakan kepahitan masa lalunya. Ayahnya meninggal karena diracun, sehingga otomatis ibunya menjadi tulang punggung keluarga. Hinaan dan cercaan tak pernah jauh dari telinga. Saudara seperti orang lain, orang lain seperti saudara. Keluarga yang lain pun mengabaikan mereka saat setiap hari harus makan bubur dari pagi hingga malam tanpa lauk. Namun semua ibu mencintai anaknya dan siap menjadi super hero setiap saat. Ibunya bekerja keras setiap hari dari pagi sampai malam demi sesuap nasi dan demi anaknya dapat duduk di bangku sekolah. Tina menceritakan betapa sulitnya ia menyelesaikan pendidikannya; uang sekolah yang terlambat dibayar, baju Natal yang tidak pernah diganti, bahkan meminjam pakaian saat sambut baru. Seolah belum cukup, adik bungsu-nya pun dipanggil pulang oleh Yang Kuasa. Namun di tengah semua penderitaannya, ternyata Tina memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Di Atambua, ada sebuah kompleks yang dikhususkan bagi para pemulung. Rumah mereka terbuat dari kardus-kardus. "Mereka tu senang sekali saat kami pergi liat mereka. Ada satu ba'l ni saya peluk karena saya kasihan dengan itu ba'l. Mereka tu cerita kalau mereka pilih-pilih sampah tu tidak ada yang mau bicara dengan mereka. Tunggu sampai rumah baru mereka punya istri atau anak ajak bicara. Jadi mereka senang waktu kami tu datang ajak mereka jalan pi pante, baomong dengan mereka. Saya ni baru liat mereka punya tertawa yang begitu senang." kata Tina bercerita panjang lebar, kali ini dengan penuh semangat. Ia melanjutkan bahwa salah satu mimpinya adalah mendirikan panti asuhan untuk orang-orang itu, agak mereka dapat menikmati kehidupan yang layak dan menyenangkan. Cita-citanya yang lain adalah membuat rumah untuk ibunya. Maka doa yang selalu ia panjatkan adalah agar ibunya panjang umur dan tetap hidup sehat sampai ia sukses kelak.
Derita demi derita yang ia alami sejak kecil tak urung membuat ia berpikir, apakah kami berhak bahagia? Sangat kontras kehidupan yang ia temui di sekelilingnya dengan kemewahan yang ia lihat di media-media sosial. "Apa salahku?" terkadang suara itu muncul di dalam hati kecilnya. Namun dalam semua kesedihannya, Tina masih tetap bersyukur bahwa ia pulang dalam keadaan hidup dan sehat sehingga masih ada kesempatan untuk menyusun rencana-rencananya di masa depan. Entah bagaimana nasibnya sekarang jika saat itu ia tidak ditelpon oleh tim anti trafficking. Pelajaran mahal telah ia dapatkan, untuk lebih berhati-hati jika menerima tawaran pekerjaan, apalagi jika diminta keluar pulau dan prosesnya terlihat sangat mudah dan cepat. Kini ia berharap bahwa urusan di Kupang segera selesai dan bisa melanjutkan hidupnya ke arah yang lebih baik.
Untuk menambah ketrampilannya, ia mengikuti kursus menjahit. Dengan rajin setiap hari ia berangkat dan mempertajam kemampuannya. Awalnya, Tina diantar jemput oleh salah satu staf di rumah singgah itu. Namun setelah seminggu berlalu, kini ia sudah berani berangkat dan pulang sendiri sehingga tidak tergantung kepada orang lain. Di sana, ketrampilannya berkembang pesat dan saat ini Tina sudah bisa menjahit satu buah baju dan selanjutnya ia akan menjahit rok payung. Sebuah modal yang bagus sebagai alternatif untuk mendapatkan penghasilan di daerah sendiri daripada mencari pekerjaan di negeri orang.
Di tengah segala kesibukannya, sebagai remaja yang masih sangat muda, Tina sering teringat akan kisah kelam keluarganya. Air matanya sering jatuh saat menceritakan kepahitan masa lalunya. Ayahnya meninggal karena diracun, sehingga otomatis ibunya menjadi tulang punggung keluarga. Hinaan dan cercaan tak pernah jauh dari telinga. Saudara seperti orang lain, orang lain seperti saudara. Keluarga yang lain pun mengabaikan mereka saat setiap hari harus makan bubur dari pagi hingga malam tanpa lauk. Namun semua ibu mencintai anaknya dan siap menjadi super hero setiap saat. Ibunya bekerja keras setiap hari dari pagi sampai malam demi sesuap nasi dan demi anaknya dapat duduk di bangku sekolah. Tina menceritakan betapa sulitnya ia menyelesaikan pendidikannya; uang sekolah yang terlambat dibayar, baju Natal yang tidak pernah diganti, bahkan meminjam pakaian saat sambut baru. Seolah belum cukup, adik bungsu-nya pun dipanggil pulang oleh Yang Kuasa. Namun di tengah semua penderitaannya, ternyata Tina memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Di Atambua, ada sebuah kompleks yang dikhususkan bagi para pemulung. Rumah mereka terbuat dari kardus-kardus. "Mereka tu senang sekali saat kami pergi liat mereka. Ada satu ba'l ni saya peluk karena saya kasihan dengan itu ba'l. Mereka tu cerita kalau mereka pilih-pilih sampah tu tidak ada yang mau bicara dengan mereka. Tunggu sampai rumah baru mereka punya istri atau anak ajak bicara. Jadi mereka senang waktu kami tu datang ajak mereka jalan pi pante, baomong dengan mereka. Saya ni baru liat mereka punya tertawa yang begitu senang." kata Tina bercerita panjang lebar, kali ini dengan penuh semangat. Ia melanjutkan bahwa salah satu mimpinya adalah mendirikan panti asuhan untuk orang-orang itu, agak mereka dapat menikmati kehidupan yang layak dan menyenangkan. Cita-citanya yang lain adalah membuat rumah untuk ibunya. Maka doa yang selalu ia panjatkan adalah agar ibunya panjang umur dan tetap hidup sehat sampai ia sukses kelak.
Derita demi derita yang ia alami sejak kecil tak urung membuat ia berpikir, apakah kami berhak bahagia? Sangat kontras kehidupan yang ia temui di sekelilingnya dengan kemewahan yang ia lihat di media-media sosial. "Apa salahku?" terkadang suara itu muncul di dalam hati kecilnya. Namun dalam semua kesedihannya, Tina masih tetap bersyukur bahwa ia pulang dalam keadaan hidup dan sehat sehingga masih ada kesempatan untuk menyusun rencana-rencananya di masa depan. Entah bagaimana nasibnya sekarang jika saat itu ia tidak ditelpon oleh tim anti trafficking. Pelajaran mahal telah ia dapatkan, untuk lebih berhati-hati jika menerima tawaran pekerjaan, apalagi jika diminta keluar pulau dan prosesnya terlihat sangat mudah dan cepat. Kini ia berharap bahwa urusan di Kupang segera selesai dan bisa melanjutkan hidupnya ke arah yang lebih baik.