Dalam rangka memperingati Hari Anak Perempuan Internasional, Talithakum Jakarta mengadakan webinar dengan tema “Upaya Mengatasi Ketidaksetaraan dan Kekerasan Terhadap Anak Perempuan” pada Sabtu (16/10/2021) pukul 17.00-19.30 WIB.
Adapun peserta dari kegiatan ini adalah putera puteri altar (anggota misdinar) dari seluruh Indonesia dari Sabang hingga Merauke.
Pada acara webinar, para pemateri memberikan wawasan kepada para peserta bahwa konsep budaya yang ada di Indonesia kerap membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Pembicara dari kegiatan ini adalah Sr Vincentia, HK, Sr Katarina Maria, SND dan perwakilan dari Imadei, Maria Tri Warmiyati, SS., M.Si.
Gender pada awalnya dipelajari dari keluarga, teman, sekolah, tempat kerja dan media. Gender dipengaruhi oleh suku, status sosial, ekonomi dan kebiasaan.
Dalam keluarga, biasanya anak perempuan memiliki peran ganda. Anak perempuan akan dipersiapkan untuk mengurus urusan rumah tangga dan mengurus anggota keluarga sementara anak laki-laki akan bebas bermain.
Dalam masyarakat agama, biasanya perempuan akan berada di dapur atau mengurus konsumsi sementara laki-laki akan berada di ruang utama, ruang tamu dan memimpin jalannya rapat atau diskusi.
Dalam dunia kerja, sangat jarang perempuan menduduki posisi tertinggi. Biasanya mereka akan dipekerjakan di bawah laki-laki.
Dalam media massa, perempuan sering dijadikan sebagai objek. Mereka sering dipaksa memakai pakaian minim dengan menonjolkan bagian tubuh tertentu.
Demikian halnya di bidang politik yang dimana perempuan jarang dilibatkan. Sebagian besar bidang politik selalu didominasi oleh laki-laki. Bahkan pada pelantikan anggota DPR beberapa waktu lalu, ada seorang DPR yang memiliki tiga isteri dan dengan bangga memamerkan isterinya ke hadapan publik.
Di tengah acara, peserta misdinar disuguhi tayangan video tentang perempuan dan laki-laki. Dalam video diceritakan anak perempuan dan laki-laki yang sama-sama sekelas. Nilai anak perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki. Ketika bekerja, perempuan diberikan pekerjaan yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Ketika mereka berkeluarga, perempuan diberikan beban ganda seperti mengurus anak dan juga bekerja bahkan hingga larut malam.
Perempuan kerap mengalami marginalisasi, subordinasi (di urutan kedua) dan stereotype bahwa perempuan lemah, beban ganda (bekerja di luar dan di rumah). Perempuan sering dibungkam, perempuan yang sudah menikah oleh suami sering dilarang bekerja padahal dari sisi akademik yang perempuan jauh lebih pintar, dalam dunia kemisdinaran anak perempuan tidak boleh masuk di altar karena merusak pemandangan.
Pada pertengahan sesi, dimunculkan kasus pelecehan seksual oleh pembina misdinar, oleh bruder kepada anak-anak panti, Paus mengatakan kesedihan ketika ada 216.000 anak yang dilecehkan oleh para romo di Prancis. Para peserta misdinar diajak untuk menyampaikan tanggapannya terhadap kasus tersebut. Sebagian besar tanggapan yang diberikan adalah bernada negatif yakni kecewa, sedih, prihatin, miris, takut, marah dan trauma. Di tengah sesi, salah satu misdinar perempuan membagikan pengalamannya di paroki. Ia mengatakan mereka dilarang memegang wiruk. Di Surabaya, misdinar perempuan di Surabaya hanya boleh menjadi Puteri Sakristi. Peserta misdinar yang berasal dari Timika mengatakan hal yang berbeda yakni diperbolehkan memegang wiruk dan dianggap setara antara laki-laki dan perempuan. Ternyata di gereja ada pembatasan karena peran gendernya. Perempuan dimiskinkan.
Perempuan kerap mengalami marginalisasi, subordinasi (di urutan kedua) dan stereotype yang mengatakan bahwa perempuan lemah dan kerap diberikan beban ganda (bekerja di luar dan di rumah). Maka, cara menghindari kekerasan berbasis gender adalah harus peka dengan reaksi tubuh, segera menghindar bila terganggu, berani mengatakan maaf jika terganggu, menceritakan pada orang yang percaya dan tidak perlu merasa takut melaporkan kepada pihak berwajib.
Pada sesi selanjutnya, Romo Ismartono, SJ, Direktur Sahabat Insan, menegaskan bahwa perlu memperjuangkan hak-hak perempuan khususnya anak di segala bidang, termasuk dalam lingkup gereja.
Ia menerangkan asal kata marginalisasi yang berasal dari kata "Margo atau Margin". Menurutnya, perempuan tersebut dipinggirkan sehingga ada proses yang lebih buruk dari dipinggirkan yakni viktimisasi.
"Kalo orang sudah dipinggirkan, maka orang tersebut jika disenggol akan jatuh. Perempuan distigma artinya diberikan luka. Dilihat dari cara berbahasa, perempuan dianggap memiliki suara bebek dan stigma ini menimbulkan luka," ujarnya.
Meskipun demikian, Romo Ismartono, SJ, mengapresiasi Gereja Katolik yang sudah mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik. Gereja Katolik sudah mengakui bahwa perempuan bisa mengambil bagian di dalam kegiatan pelayanan di gereja. Hal tersebut berbeda dari kehidupan gereja terdahulu yakni hanya laki-laki yang diutamakan terlibat dalam pelayanan karena ada anggapan hanya laki-laki yang berpotensi menjadi imam, bukan perempuan.