Menyongsong Hari Anak Perempuan Internasional tanggal 11 Oktober 2021.
Suster Laurentina, SDP (lima dari kiri) bersama Anak Perempuan di Nusa Tenggara Timur |
Seminggu setelah peringatan Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Hari Guru Sedunia, akan ada peringatan Hari Anak Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 11 Oktober. Sementara, 8 Maret atau tujuh bulan sebelum peringatan Hari Anak Perempuan sudah terlebih dahulu diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional.
Pentingnya peringatan hari anak perempuan internasional dilatarbelakangi oleh berbagai upaya mendorong pengakuan akan kekuatan dan potensi remaja perempuan sebagai generasi mendatang. Peringatan ini juga bertujuan menghilangkan tantangan berbasis gender yang dihadapi anak perempuan di seluruh dunia. Tantangan ini tidak terlepas dari kasus pernikahan anak, kesempatan belajar yang buruk, kekerasan, dan berbagai diskriminasi yang terjadi di dalam masyarakat.
Mengusut sejarah, hak-hak perempuan dan anak perempuan mulai dideklarasikan secara internasional untuk pertama kali dalam Deklarasi Beijing tahun 1995 di Beijing. Dalam sejarah dunia, deklarasi ini dipandang sebagai upaya perdana yang mengidentifikasi kebutuhan untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh anak perempuan di seluruh dunia.
Pertemuan internasional tersebut merupakan gerakan awal mendeklarasikan tema besar “Karena Saya Perempuan” kepada seluruh dunia. Deklarasi ini dirancang untuk memperjuangkan hak-hak anak khususnya perempuan di negara berkembang. Deklarasi juga mempromosikan hak-hak anak perempuan dan membawa mereka kepada kehidupan yang lebih sejahterah sebagai ciptaan yang luhur.
Seiring berjalannya waktu, deklarasi memperjuangkan hak anak perempuan ini resmi diusulkan oleh Kanada untuk disahkan sebagai resolusi di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Alhasil, pada 19 Desember 2011, Majelis Umum PBB berhasil mengadopsi resolusi dan menetapkan tanggal 11 Oktober 2012 sebagai hari pengukuhan Hari Anak Perempuan Internasional. PBB menaruh perhatian terhadap tema besar pada awal deklarasi Beijing dan melibatkan diri dalam berbagai upaya mendukung pemenuhan hak terhadap anak perempuan, terkhusus pada permasalahan pernikahan anak.
Pemberdayaan anak perempuan disadari sama pentingnya dengan pemberdayaan anak laki-laki sehingga anak perempuan harus berpartisipasi dalam menentukan sebuah keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan ini merupakan kunci utama dalam memutus siklus diskriminasi dan kekerasan yang selama ini membelenggu perempuan, khususnya anak.
Berkaitan dengan belenggu yang selama ini memenjarakan hak anak perempuan, ada beberapa fakta yang tidak diketahui publik. Pertama, terdapat sekitar 33.000 gadis kecil yang menjadi pengantin pesanan dan dinikahkan setiap hari di seluruh dunia. Kedua, pengantin pesanan tersebut mengakibatkan maraknya penyebaran HIV. Terdapat sekitar 340.000 anak perempuan dan perempuan muda terinfeksi virus setiap tahunnya dan berdasarkan data terbaru, terdapat sekitar 3 juta anak perempuan dan perempuan muda hidup dengan HIV di seluruh dunia. Ketiga, sekitar 44% anak perempuan berusia antara 15 hingga 19 tahun memiliki stereotipe bahwa suami memiliki hak melakukan kekerasan terhadap isteri. Keempat, 96% dari individu yang diperdagangkan untuk eksploitasi seksual adalah anak perempuan dan perempuan. Kelima jumlah anak perempuan yang tidak digaji lebih banyak dibandingkan jumlah anak laki-laki.
Beranjak dari berbagai penindasan terhadap perempuan, khususnya anak, maka peringatan Hari Anak Perempuan Internasional merupakan sebuah awal untuk menghilangkan berbagai penindasan terhadap anak perempuan di seluruh dunia. Anak perempuan harus diberdayakan agar tumbuh menjadi wanita berdaya dan mampu melahirkan generasi yang berdaya juga. Oleh karena itu, merawat anak perempuan sama artinya dengan merawat kehidupan demi masa depan yang lebih baik dan berdaya guna.
Sumber: Nationaltoday.com