Laporan relawati Sahabat Insan, Jeni Laamo, dari Yogyakarta
Sebagai seorang relawati dari Sahabat Insan aku
diharuskan untuk mengenal mitra kerja dari Sahabat Insan itu sendiri. Itulah
mengapa aku akan tinggal cukup lama di Jawa. Selain untuk mengenal mitra kerja, aku juga diajak melihat Yogyakarta dan Jakarta. Pagi hari ini aku berkunjung ke
Jesuit Refugee Service atau biasa disebut dengan JRS. Aku datang bersama
dengan Kakak Saras dan bertemu dengan Romo Peter Devantara, SJ atau yang akrab disapa Romo Devan. Dari Romo Devan kami
mendapatkan banyak informasi penting tentang JRS, mulai dari sejarah, visi misi
hingga pelayanan yang dilakukan hingga sekarang.
JRS Indonesia adalah sebuah pelayanan yang
dilakukan oleh Jesuit bagi orang-orang yang terpaksa mengungsi.
JRS memiliki visi suatu dunia tempat orang-orang terpaksa mengungsi dapat
memperoleh perlindungan, kesempatan dan partisipasi dengan misi, karena
diilhami oleh cinta dan teladan Yesus Kristus yang murah hati. JRS berupaya
untuk menemani, melayani dan membela kepentingan orang-orang yang terpaksa
mengungsi agar mereka dapat memulihkan diri, mengembangkan diri, dan menentukan
masa depan mereka sendiri. Model ekspansi karya JRS memuat tiga dimensi yaitu
kebutuhan para pengungsi yang terus mengglobal, kemitraan dengan gereja dan
pemerintah setempat serta organisasi dan berbagai instansi/lembaga lainnya, dan
yang ketiga adalah Serikat Yesus itu sendiri. Singkatnya JRS melayani orang
luar dan dalam negeri. Orang luar negeri itu ditempatkan di Jakarta dan Bogor,
paling banyak adalah dari Afganistan. Pengungsi yang ditangani oleh JRS itu
tersebar di masyarakat. Mereka kos di rumah-rumah, tidak dalam satu rumah aman.
Tapi ada yang namanya Community Housing yang dikelola oleh IOM dan ada
aturan-aturan yang harus diikuti.
Untuk mengetahui tentang JRS lebih jauh bisa
dilihat dari apa yang dikatakan oleh Romo Baskara bahwa “JRS dasarnya adalah
iman Katolik. Meskipun demikian institusi pelayanan Katolik dan Yesuit ini
tidak eksklusif, tidak terdiri dari dan tidak berdiri bagi orang-orang Katolik
saja. Sebaliknya institusi ini bersifat inklusif. Ia membuka diri terhadap
orang-orang yang memiliki atau tertarik untuk memiliki visi dan misi yang sama
dengan yang dimiliki JRS. Yang dilayani pun bukan hanya Katolik saja. Supaya
tidak menjadi sekadar urusan pribadi dan tidak sebatas kata-kata syahadat, iman
itu harus dapat diwujudkan menjadi berkat yang nyata bagi yang lain.”
JRS memiliki tujuh nilai sebagai ciri-ciri
kodratinya yaitu martabat, solidaritas, partisipasi, bagi rasa, hospitalitas,
harapan, keadilan. Melihat pada sejarah awal terbentuknya JRS, para Yesuit
melayani ratusan ribu pengungsi dari Vietnam yang transit di Indonesia dan
ditampung didalam kamp pengungsi di Pulau Galang di tenggara Batam, Kepulauan
Riau (1975-1955). Di Aceh dan Nias, JRS melakukan berbagai pelayanan pada masa
darurat serta pengadaan rumah tahan gempa bagi para pengungsi korban gempa bumi
dan tsunami. JRS juga membantu para pengungsi akibat gempa Jogja (2006) dan
erupsi Merapi (2010) serta gempa Cianjur (2010) dengan rehabilitasi pemukiman.
Pendampingan terhadap komunitas orang muda dan sekolah di beberapa desa di Aceh
Selatan (2008-2011) juga dilakukan agar mereka mampu mencegah pengungsian, mengatasi konflik,
dan mengurangi resiko bencana alam. Pada 2009 JRS Indonesia mulai hadir bagi
para pencari suaka dan para pengungsi dari Afghanistan, Somalia, Irak, Myanmar
(Rohingya-stateless), Suriah, Sudan
Selatan, Ethiopia, Palestina, Eritrea, dan lain-lain yang bertahan hidup tanpa
bantuan dari suatu organisasi kemunusiaan. Juga hadir di Palu, Donggala, Sigi
(2018-2020) untuk menemani, melayani, dan membela kepentingan para penyintas
gempa, tsunami dan likuefaksi di Sulawesi Tengah. Bagi anak-anak sekolah, para
guru dan para tokoh masyarakat setempat JRS melakukan pendampingan dan
kunjungan rutin agar mereka tetap berpengharapan dan bersemangat.
Ada empat preferensi apostolic universal
Serikut Yesus, sebagai berikut:
1. Showing the way to God (menunjukkan
jalan menuju Tuhan)
2. Walking with the excluded (berjalan
bersama mereka yang menjadi pengecualian)
3. Journeying with the youth
(perjalanan bersama orang muda)
4. Caring our common home (merawat
rumah kita bersama)
Romo Devan juga menunjukkan kepada aku dan
Kakak Saras video-video dari Bapak Paus Fransiskus yang menyatakan
kepeduliannya terhadap pengungsi, juga beberapa video anak-anak dari pengungsi
yang membuat kami menangis. Ada dua video yang sempat viral beberapa tahun
lalu, dimana seorang anak balita yang diajarkan untuk tertawa saat mendengar
bunyi tembakan dari pesawat, atau seorang anak yang berusaha tersenyum saat
menjelaskan kepada wartawan tentang kedua orangtuanya yang sudah meninggal.
Belum lagi menunjukkan orang-orang yang stateless, artinya yang tidak memiliki
kewarganegaraan, seperti di Camp Rohingya.
Dari pengungsi-pengungsi yang ditangani oleh
JRS, ada yang mau diberdayakan sehingga menjadi mandiri, ada pula yang tidak mau, dengan alasan mengurangi kerentanannya sehingga mereka tidak diterima oleh
negera ketiga (seperti Australia, Jerman, dsbnya). Pada dasarnya Indonesia
adalah negera transit. Ada kepercayaan bahwa semakin rentan pengungsi tersebut
semakin mudah bagi dia untuk diterima di negara ketiga. Pengungsi itu banyak
pikirannya, sama seperti manusia pada umumnya. Ada jutaan orang yang tidak
memiliki kewarganegaraan yang mana kewarganegaraan mereka disangkal dan tidak
memiliki akses untuk mendapatkan hak dasar mereka seperti pendidikan,
kesehatan, pekerjaan, dan kebebasan untuk bertindak. Terlepas dari pembatasan
gerakan terkait covid dan permintaan dari komunitas internasional untuk
gencatan senjata yang akan memfasilitasi respons covid 19, perpindahan terus
terjadi dan tumbuh. Hasilnya, di atas satu persen dari populasi dunia yang
sekarang dipindahkan secara paksa, 1 dari 95 orang di bumi telah melarikan diri
dari rumah mereka karena konflik dinegara mereka dan penganiayaan yang dialami.
Ini membandingkan 1 dari 195 pada 2010. UNHCR mengeluarkan data populasi yang
terdaftar di Indonesia termasuk didalamnya 9966 pengungsi, 3307 pencari suaka
dengan total 13. 273 individu dan 7815 kasus. Perempuan menduduki angka
tertinggi yaitu 47 persen dan terendah adalah orang lanjut usia sekitar 2
persen.
Romo juga mengingatkan bahwa menghalau
pengungsi itu sama dengan membiarkan mereka mati. Seringnya mereka membiarkan diri
mereka untuk dieksploitasi karena mereka berpikir bahwa daripada tidak ada
penghasilannya sama sekali.
Bersama dengan Romo Devan kami mendapatkan
informasi berharga tentang JRS juga tentang pengungsi itu sendiri, tentang
pelayanan-pelayanan yang sudah dilakukan bagi para pengungsi mulai dari
melayani, menemani dan membela mereka. Ada sisi lain dari refugee yang
diperlihatkan oleh romo bahwa mereka pun sebenarnya tidak ingin pergi dari
negara mereka sendiri jika tidak terpaksa dan dipaksa. Punya kewarganegaraan,
punya identitas lengkap, bahkan tahu harus pulang kemana, sungguh itu adalah
sebuah anugerah. Ini membuatku bersyukur karena bisa hidup dengan bebas,
bernafas dengan lega di negara tercinta. Bahwa aku diakui oleh negara dan
menjadi seorang warga negara, itu sudah menunjukkan bahwa hidupku sungguh
berharga. Amin.