“Siapkah kalian mengubah dunia melalui media sosial?” Ingin mengontrol atau dikontrol?
Pertanyaan ini dilontarkan oleh salah satu narasumber kepada anak-anak muda yang hadir dalam pelatihan jurnalistik yang diadakan pada hari Kamis dan Jumat, 2-3 Desember 2021. Jeni, salah satu relawan Jaringan Anti-TPPO Kupang yang merupakan mitra Sahabat Insan, mengikuti Pelatihan Jurnalistik Youth Task Force Anti Human Trafficking di Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Kita Institut. Kegiatan untuk mengenalkan kejahatan perdagangan manusia kepada generasi muda ini diselenggarakan di Hotel PORTA, Yogyakarta.
Tujuan diadakannya kegiatan ini adalah:
1.
Keterlibatan anak muda dalam upaya pencegahan
dan penanganan TPPO.
2.
Terjalinnya kerja sama atau keterlibatan anak
muda anggota task force dalam kegiatan anggota ZTN di wilayah/daerah.
3.
Keterlibatan gugus tugas anak muda dalam ZTN.
4.
Pengelolaan media digital ZTN oleh taskforce
anak muda anti TPPO.
5. Menjadikan media digital ZTN yang dikelola sebagai bahan edukasi anti TPPO yang efektif bagi masyarakat.
6. Kaderisasi anak muda untuk anti TPPO.
Kegiatan hari pertama dibuka dengan sambutan dan ucapan selamat datang oleh Ketua Kita Institut Wonosobo, Eka Munfarida. Beliau memperkenalkan lembaga yang dipimpinnya sebagai organisasi masyarakat sipil yang dibentuk tahun 2009, karena adanya keprihatinan pada kemiskinan. Seiring berjalannya waktu, lembaga ini sekarang berfokus pada pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Artinya tidak hanya tentang TPPO, tetapi juga ada pendampingan kasus, pemberdayaan hingga ke desa-desa. Saat ini Kita Institut sudah ada di tingkat nasional dan internasional. Ia juga mengatakan bahwa peserta yang terpilih di sini adalah 25 pemuda dan pemudi terbaik di tiap daerah.
Selanjutnya Romo Agus Duka SVD selaku koordinator ZTN dalam sambutannya mengucapkan selamat kepada peserta dan berterima kasih kepada Kita Institut yang bersedia menyelenggarakan acara ini. Yang kedua, Romo mengungkapkan bahwa kegiatan ini hadir dengan sebuah pertanyaan besar: mau buat apa dengan anak muda? Beliau kemudian memperkenalkan ZTN, sebagai lembaga yang memiliki taskforce untuk lobi dan advokasi, ada religius leader dari semua agama, media training dan jurnalis network khusus untuk wartawan NTT. ZTN memikirkan bahwa anak muda diperlukan untuk isu kemanusiaan, sehingga terbentuklah Youth Taskforce Anti Human Trafficking. Ada tiga poin penting yang dilihat, yaitu semangat muda untuk berkarya, TPPO, dan media sosial. Anak muda bisa melawan TPPO dengan mengkampanyekannya melalui media sosial. "Kami adalah corong untuk melawan TPPO, juga untuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Semoga kegiatan tidak berhenti di sini, tapi jadilah corong bagi rakyat yang menderita." tutup Romo Agus Duka, SVD.
Usai jam istirahat, sekitar 30 menit acara dilanjutkan dengan pemberian materi tentang Human Trafficking oleh Ketua KABAR BUMI yaitu Karsiwen atau yang biasa disapa dengan Mba Iweng. Tim KABAR BUMI sudah menangani banyak kasus TPPO dan Mba Iweng sendiri adalah seorang mantan PMI di Hongkong.
Keluarga Besar Buruh Migran atau yang lebih dikenal dengan KABAR BUMI berdiri pada 11 Mei 2021 dan merupakan organisasi akar rumput yang beranggotakan BMI, keluarga BMI, dan simpatisan yang mendukung perjuangan BMI dan sudah berada di beberapa provinisi yaitu NTT, NTB, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera. Kegiatan yang dilakukan adalah kampanye, advokasi, dan pelayanan masa, pendidikan dan sosialisasi, ekonomi mandiri. Mba Iweng juga menyebutkan bahwa korban TPPO semakin meningkat pada masa pandemik dan mayoritas korban adalah perempuan, berasal dari pedesaan, dengan pendidikan rendah (SD, SMP, SMA). Untuk lebih memahami makna TPPO, Mba Iweng menyuguhkan sebuah video tentang proses TPPO, yang terjadi bahkan sampai kepada penangkapan pelaku. Mba Iweng juga menunjukkan hukum dan UU yang berlaku di Indonesia untuk TPPO dan penjelasannya masing-masing seperti UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dan UU No. 17 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Modus-modus TPPO juga tidak luput diinformasikan oleh Mba Iweng seperti modus umrah, modus PMI, modus perkawinan atau pengantin pesanan, modus dipacari atau diajak wisata, modus magang/PKL/kuliah di luar negeri, modus kunjungan wisata dengan tujuan untuk diekploitasi seksual dan tenaga kerja, perbudakan dan bahkan aktivitas terlarang (menjadi kurir narkoba) dan terbaru adalah perekrutan melalui media sosial. Oleh karena itu media sosial itu harusnya tidak menjadi sarana perekrutan pelaku namun alat bagi anak muda untuk memerangi TPPO. Mba Iweng menyebutkan ada 4 jenis pelaku yang disebutkan oleh UU yaitu orang perseorangan (pasal 1 angka 4 UU TPPO), kelompok terorganisir (penjelasan pasal 16 UU TPPO), korporasi (pasal 1 angka 6 UU TPPO), penyelenggara negara (pasal 8 ayat 1 UU TPPO).
Masuk kepada penyebab TPPO itu terjadi, Mba Iweng menjelaskan ada faktor utama dan faktor pendukung. Faktor utama yaitu ekonomi (dimana masih tingginya angka kemiskinan, pengangguran dan jeratan hutang, serta terbatasnya lapangan pekerjaan), pendidikan (rendahnya pendidikan mengakibatkan sebagian masyarakat jadi mudah dijebak dalam setiap tindakan yang berkaitan dengan praktek TPPO baik dalam kapasitasnya sebagai pelaku maupun korban), hukum (kesadaran dan pemahaman hukum terkait UU TPPO yang belum memadai baik dilevel eksekutif, legislative, yudikatif maupun tataran masyarakat kebanyakan). Faktor pendukung diantaranya meningkatnya permintaan tenaga kerja dari Indonesia di pasar internasional sementara keterampilan SDM belum disiapkan sesuai pangsa pasar dan daya tarik bekerja di luar negeri begitu besar dengan pelbagai impiannya.
Dalam penanganan kasus TPPO yang dilakukan oleh
KABAR BUMI tidak semudah dibayangkan. Ada hambatan yang ditemui khususnya dalam
pendampingan non-litigasi, yaitu: 1) Hambatan dari korban itu sendiri, yaitu ketika korban
masih mengalami trauma akibat kekerasan yang dialami maka proses mendapatkan
informasi yang runut membutuhkan waktu lama. 2) Hambatan dari keluarga korban. Saat mereka tidak menerima keadaan korban dan dianggap sebagai aib, proses
pendampingan psikisnya terhambat dan menganggap yang utama adalah pelaporan
kasus kepada pihak berwajib daripada pemulihan secara psikis dan fisik. 3) Hambatan dari pendamping, pendamping yang usianya lebih muda dari korban
seringkali disepelekan karena dianggap sebagai anak-anak oleh keluarga korban.
Di akhir materi, Mba Iweng menjelaskan tentang
pentingnya peran pemuda dalam mencegah dan melawan TPPO yaitu pemuda yang
berdaya dan mengetahui unsur-unsur TPPO tidak ditipu untuk menjadi korban,
pemuda bisa men-transform informasi dan ilmunya dengan lebih kreatif dan
membagikan kepada generasi selanjutnya, kekuatan gerakan pemuda dalam melawan
perdagangan manusia sangat signifikan (mayoritas).
Usai materi pertama, peserta diminta untuk
berdiskusi untuk mendalami materi TPPO tentang kejadian yang pernah dilihat
atau dialami dan baru disadari bahwa itu adalah TPPO. Kelompok dibagi menjadi lima,
sesuai dengan tempat duduk masing-masing. Kami diberikan waktu 10 menit untuk
berdiskusi, kelompok lima maju lebih dulu untuk mempresentasikan dan disusul
oleh kelompok lainnya.
Berikut adalah hasil presentasi dari setiap
kelompok:
Kelompok 5 menemukan bahwa korban TPPO bisa
juga laki-laki berdasarkan pengalaman yang ditemui di Kalimantan Barat, lalu
perempuan yang tidak sadar bahwa ia adalah korban hanya karena ingin mengikuti
gaya hidup yang ditemukan di Manado dan yang ketiga adalah eksploitasi anak
yang ditemui di Atambua. Eksploitasi anak ini dibalut oleh adat hukum, adat dan
sistem yang berlaku.
Kelompok 3 menemukan modus dari TPPO melalui
media sosial (telegram, facebook, whatsapp, michat) dengan pelaku di bawah umur
(kasus yang ditemukan di Lampung). Yang ditemukan di Sukoharjo bahwa
eksploitasi anak terjadi namun pihak berwajib tidak melakukan tugasnya sebagai
seorang pihak yang berwenang.
Kelompok 2 menemukan adanya sugar daddy yang mencari korbannya
dengan kedok hanya ‘menemani’ dan korban tidak sadar bahwa mereka adalah
korbannya. Yang berikut adalah open BO
yang mana korban menawarkan diri demi memenuhi tuntutan ekonomi dan gaya hidup
dan merasa bahwa itu pekerjaan.
Kelompok 4 menemukan bahwa eksploitasi joki
cilik merupakan TPPO namun dianggap sebagai budaya dan adat di NTB meskipun
tidak ditemukan literatur budaya tentang joki cilik. Orangtua juga mendukung
joki cilik ini karena penghasilan yang didapat bisa sampai puluhan juta,
puncaknya adalah pada 2019 lalu dimana seorang joki cilik yang meninggal dunia
akibat terjatuh dari atas kuda.
Kelompok 1 membahas tentang kasus eksploitasi
anak (anak kecil berjualan minuman dan manusia silver) yang ditemukan di
Jakarta dan daerah Jawa pada umumnya. Di Sumatera Barat ditemukan kasus istri
yang dijual oleh suaminya untuk melunasi hutang dari suaminya. Permasalahan
kompleks dimana pendidikan masih minim dan pernikahan pada usia yang mudah. Di
Padang ditemukan pacar dijual di aplikasi dan merupakan polemik baru di
generasi Z. Yang berikut adalah bayi disewakan kepada pengemis-pengemis, lalu
ada agen menipu anak untuk bekerja yang terjadi di Batam.
Materi kedua adalah tentang sejarah dari TPPO.
Fakta menunjukkan bahwa TPPO itu ada dan terjadi di semua wilayah atau daerah.
Lalu bagaimana perdagangan orang itu terjadi? Berikut adalah sejarah TPPO yang
disampaikan oleh pemateri kedua, Ibu Rumiyati dari Kita Institute Wonosobo
tentang Power and Conviction Human Trafficking, Gender Perspective.
TPPO dimulai pada 3000 tahun Sebelum Masehi
yaitu perbudakan di Mesir Kuno dimana budak dipekerjakan secara paksa untuk
membangun piramida. Abad ke-15 yaitu penguasa Portugal, Pengiriman Budak Dari Afrika ke Eropa. Abad ke-19
di Amerika yaitu perbudakan pada masa perang sipil. Abad ke-20, Belanda dan
Jepang menjajah Indonesia. Abad ke-21 yaitu perbudakan melalui kerja paksa para buruh migrant dan perdagangan seks
dalam industri prostitusi serta pornografi.
Di Indonesia sejarah
perbudakan adalah sebagai berikut: a) Masa kerajaan: sistem kekuasaan raja tidak terbatas dengan
banyak selir baik atas nama kesetiaan maupun dijual oleh keluarga raja; b) Tahun
1811: Pembangunan jalan dari
Anyer sampai Panarukan, pembangunan jalan dan stasiun kereta api oleh Deandles;
c) Tahun 1870: Privatisasi
perkebunan dan kulturstelsel. Bentuk perdagangan orang lebih terorganisir dan
berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda: perbudakan tradisional dan
perseliran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Eropa, kerja rodi menjual anak
perempuan untuk mendapatkan imbalan materi dan kawin kontrak; d) Tahun
1929: Pembahasan Perdagangan
Perempuan dan anak tentang beberapa anak dari desa pringsurat di Mageleng yang
diculik pada saat darmawisata ke Semarang dengan membawa anak dibawa ke
Singapura. Kasus ini mendorong terbentuknya Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan
Perempuan dan anak (P4A). Lembaga ini cikal bakal terbentuknya pemberantasan
perdagangan perempuan dan anak (BPPPA) yang merupakan hasil konggres Perikatan
Perkumpulan Istri Indonesia Surabaya ( 13-18 Desember 1930); e) Tahun
1900-an: Kasus paling
banyak pembayaran utang (keluarga
terlilit utang pada rentenir kemudian menyerahkan anak atau istrinya sebagai
alat pembayar utang. Penjajahan Jepang kerja rodi dan komersial seks
terus berkembang. Perempuan pribumi menjadi pelacur tetapi juga Jepang membawa
banyak perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia, Hongkong untuk melayanai
perwira penting Jepang.
Ibu Rumi juga
menjelaskan cara perekrutan
dalam perdagangan orang di masa kependudukan Jepang khususnya perempuan adalah melalui saluran-saluran
resmi yang digagas Jepang dimana perempuan diperas tenaganya dalam pekerjaan
masal menjadi pembantu rumah tangga, pemain sandiwara atau pelayan restoran, dan
melalui jalur resmi aparat pemerintahan seperti carik, bayan, dan iuran untuk mengumpulkan
perempuan desa adalah dengan cara kekeluargaan sehingga dalam proses pemberangkatan mereka dijanjian untuk mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan
uang. Tetapi sampai di lokasi ternyata mereka dieksploitasi. ‘Era globalisasi perbudakan marak kembali
dalam wujudnya yang legal maupun ilegal dan terselubung, berupaya memperdagangkan orang melalui ancaman, bujukan, penipuan dan rayuan untuk direkrut dan
diperjualbelikan dan dipekerjakan di luar kemauannya, sehingga menjadi pekerja seks,
pekerja paksa dan eksploitasi lainnya.’
Pandangan agama
terhadap perbudakan (empat agama yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan
Buddha) adalah membebaskan manusia dari perbudakan terhadap makhluk ciptaan. Satu
fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah pengaruh power dan inconviction
melanggengkan perbudakan yaitu dimana proses TPPO ini, di setiap lininya kekuasaaan bersifat terstruktur misalnya
dilakukan oleh negara yang mencakup kebijakan atau tindakan atau mekanisme peraturan
dan kontrol maupun sosialisasi/internalisasi.
TPPO merupakan bentuk
kejahatan yang paling tidak disadari oleh korban karena modusnya bersembunyi dibalik kesulitan
ekonomi dan finansial. Perdagangan
manusia jalur migrasi internasional
merupakan kejahatan transnasional dengan tujuan pasar industri seks dan
pasar tenaga kerja murah. Nilai transaksi kejahatan TPPO merupakan
sumber pemasukan ketiga terbesar dari aktivitas kejahatan transnasional.
Kerentanan Perempuan
sebagai korban perdagangan orang yaitu viktimisasi perempuan (mengkriminalkan Pekerja Migran Indonesia khususnya perempuan);
migrasi prosedur illegal (pemalsuan usia dan status dll) dan migrasi legal
namun diselundupkan dan diperdagangkan; praktek sosial budaya
yang diskriminatif terhadap korban. Mitos kawin muda/kawin paksa menjadikan perempuan terbatas dalam memanfaatkan
kesempatan ekonomis dan pendidikan. Usia muda mereka dihabiskan dengan
pekerjaan domestik. Adanya persepsi
di daerah/negara tujuan bahwa perempuan adalah komoditi yang dapat dipertukarkan
dan diperjual belikan. Dampak kapitalisme global mengantarkan maraknya
industri hiburan dan seks dengan mempekerjakan perempuan sebagai model, bintang
film, penghibur di bar maupun restoran. Filosofi Laisezz Fair dan Neoliberalisasi yang dikandung oleh
globalisasi menghasilkan logika bahwa segala hal dapat dikomersialisasikan dan
dikomoditikan termasuk perempuan. Jenis
pekerjaan menekankan penggunaan feminitas dan seksualitas untuk meraup
keuntungan.
Persoalan norma sosial dan stigma yang dihadapi oleh korban TPPO dalam
proses migrasi maupun paska migrasi, khususnya dalam mengakses layanan yang
tersedia, berkontribusi pada kerentanan individu terhadap perdagangan orang,
menghambat akses korban terhadap layanan pasca kepulangan, merusak kesetaraan
gender; dan melemahkan proses-proses migrasi. Kelemahan dalam kerangka
pemerintahan di tata kelola migrasi yang ada antara lain adalah normalisasi
atas kekerasan, dan stigmatisasi pekerja migran atas kegagalan dalam migrasi
mereka.
Di hari kedua, peserta belajar tentang pentingnya pembuatan platform media digital dalam pencegahan perdagangan manusia oleh Imam Ahmad Ihsanudin. Sebelumnya ada review tentang materi hari kemarin yaitu tentang perdagangan manusia. TPPO berkaitan erat dengan relasi kuasa, kemiskinan, pendidikan rendah, gaya hidup (ketidaktepatan penggunaan teknologi dan informasi yang berisi konten seksual, game, aplikasi percakapan). Sedangkan untuk relasi kuasa adalah pemerintah/oknum (kebijakan masih belum diakomodir, perlindungan minim), tokoh agama (penafsiran yang keliru), tokoh masyarakat (adat/budaya), keluarga (suami, orangtua, paman, dll), pacar/teman. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat menyebabkan TPPO semakin marak terjadi. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh anak muda? Mas Ihsan selaku narasumber memberikan jawabannya dengan memaparkan materi tentang media sosial dan anak muda.
Mas Ihsan memulai dengan sebuah pertanyaan, “Siapkah kalian mengubah dunia melalui media sosial?” Ingin mengontrol atau dikontrol? Sebelum mengubah dunia, ada beberapa hal yang terlebih dulu diubah yaitu mengubah diri dan mengubah orang lain. Perubahan bisa dimulai dengan perubahan kecil. Jika biasanya setiap bangun pagi yang dicari adalah handphone bisa diubah dengan berolahraga atau bermeditasi atau merapikan tempat tidur. Hal sederhana yang sebenarnya merupakan suatu kebiasaan yang baik. Mas Ihsan menceritakan pengalamannya untuk bisa lepas dari ketergantungan telepon genggam. Fakta menunjukkan bahwa rata-rata setiap harinya pria menghabiskan waktu 5,4 jam untuk membuka sekitar 47 aplikasi/alamat website sedangkan perempuan 5,6 jam membuka 54 aplikasi atau domain. Bill Gates, Steve Jobs, Mark Zuckerberg sudah tahu dampak negatif dari barang yang mereka buat sehingga melarang anak mereka untuk menggunakan handphone sebelum cukup umur.
Algoritma yang dibangun oleh aplikasi seperti Tik Tok dan Instagram melihat dari apa yang disukai oleh penggunanya. Yang terjadilah adalah banjir informasi dimana-mana, kebebasan berdemokrasi terjadi di sini. Ada dampak positif dan negative dari penggunaan gadget. Dampak positif yang bisa dilihat adalah korban pelecehan yang tidak mendapatkan keadilan membagikan kisahnya di media sosial dan mendapatkan simpati dari netizen dan keadilan itu ia dapatkan. Dampak negatif yang paling sering dilakukan adalah saat orangtua memberikan anak kecil atau bahkan masih bayi gadget agar tidak rewel. Gadget menjadi budaya manusia. Hal yang seharusnya mempercepat manusia untuk bekerja malah menjadi penghambat. Media sosial yang memberikan hiburan itu membangkitkan hormon dopamine dalam tubuh manusia. Banyak konten yang merusak generasi kita dan itu adalah tugas dari kami semua untuk melawan itu. Saat dunia banjir informasi yang tidak relevan kejernihan berpikir adalah kekuatan (compotional thinking).” Empat hal yang ada dalam compotional thinking adalah analisis konten, pola pikir, masa lalu, development. Dari situ akan muncul critical thinking. Untuk bisa berpikir dengan jernih perlu dilakukan yang namanya digital minimalism (filosofi penggunaan teknologi dimana seseorang memusatkan waktu onlinenya hanya pada segelintir aktifitas yang telah ia pilih dengan cermat dan membawa manfaat optimal bagi dirinya). Seorang digital minimalism dengan senang hati mengabaikan semua aktivitas online yang tidak memberikan nilai tambah bagi hidupnya. Seleksi aplikasi yang berguna untuk hidup anda. Sehingga penggunaan aplikasi akan menjadi jelas dan spesifik.
Mas Ihsan mengajak kita untuk lebih memperhatikan dalam penggunaan aplikasi karena, apa yang dilihat dan didengar dalam keseharian sangat berpengaruh pada kualitas hidup yang kita miliki. Pengunaan sosial media yang sembrono, membuat pemikiran penggunanya menjadi keruh, sulit fokus. Gadget menjadi salah satu penyebab kecemasan hingga depresi pada masyarakat di era pandemik.
Lalu apakah media sosial bisa digunakan untuk memerangi TPPO? Sangat bisa dilakukan yaitu dengan cara membangun konten yang baik dengan memperhatikan penggunaan bahasa, menghargai orang lain, kontrol pada konten, overposting, preferensi bukan plagiasi. Hal berikut yang dilakukan adalah dengan merancang konten dengan memperhatikan isu harian, isu mingguan, isu bulanan, isu tahunan. Cermati juga target, tonton ulang, dampak positif juga negative, # (hashtag), dan upload. Saran selanjutnya adalah rutin upload dan terjadwal akan diutamakan sering muncul di laman media sosial. Artinya perlu konsisten dalam mengupload.
Usai materi dari narasumber ketiga selesai, peserta diminta oleh panitia untuk membuat video berdurasi singkat berkaitan dengan kampanye TPPO juga kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak dengan waktu selama 30 menit. Jeni memilih untuk membuat video tulisan berisi puisi dari Kakak Yuli Benu dengan judul Perempuan-Perempuan Pinggiran, sedangkan peserta yang lain paling banyak membuat tentang video TPPO dari materi yang sudah didapatkan oleh narasumber. Video yang sudah dibuat ditonton bersama-sama di ruang pertemuan.
Selanjutnya untuk rencana tindak lanjut, peserta dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari lima orang peserta dari berbagai daerah dengan kemampuan bermedia sosial yang berbeda. Setiap kelompok diminta untuk membuat project dalam bentuk audiovisiual (vlog/video) dan tulisan (berisi analisa tentang human trafficking versi kelompok dan sebagai anak muda, yang akan dilakukan untuk mencegah human trafficking) dengan tujuan untuk mendorong pelibatan anak muda dalam anti human trafficking melalui kampanye dan berjejaring.
Kegiatan ditutup dengan pemberian kesan dan pesan oleh peserta, penandatanganan berita acara oleh masing-masing peserta dan diakhiri dengan foto bersama. Peserta diminta untuk mengurus administrasi. Pelatihan Jurnalistik Youth Task Force ditutup secara resmi.