Monday, October 1, 2012

Tentang Lima Perempuan di Rumah Singgah Sahabat Insan

Tidak seperti minggu lalu, Rumah Singgah Sahabat Insan minggu ini, Jumat (28/9), penuh dengan buruh migran dan seorang keluarga korban. Tepatnya, enam orang perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga di negara tetangga dan seorang suami korban yang masih berusaha menuntut keadilan dari agen yang membawa istrinya bekerja. Lima di antara mereka berbagi kisah duka mereka saat bekerja. 

Beberapa kali Ilis memijat-mijat kakinya. Usianya kira-kira 30 tahun, asal Jawa Barat, dia bercerita kepada kami sampai matanya berkaca-kaca dan suaranya parau. Dia telah ditipu agen sampai dibawa ke Yordania. Padahal, jelas bahwa ada peraturan tidak boleh mengirim tenaga kerja ke sana karena perang. Ilis adalah salah satu korban trafiking yang beruntung karena dia dapat kembali ke tanah air, walaupun kaki kirinya masih sakit. 


Ketika Ilis bekerja di Yordan, dia terjatuh saat mengelap kaca jendela. Kaki kirinya patah, dia dibawa ke Rumah Sakit dan dioperasi. Ilis bahkan masih mengingat betul ketika dia dioperasi yang tidak dibius total, hanya setengah badan. Dia merasa Allah betul-betul menolongnya. Berminggu-minggu setelahnya, dia berusaha memulihkan keadaannya sendiri dengan mencoba latihan terus menggerakkan kakinya. Dia pun dapat kembali berjalan, walau agak pincang. Setelah kejadian tersebut, dia dipulangkan ke tanah air, kemudian dibawa ke RS. Polri karena kakinya masih sering nyeri. Agaknya operasi kaki kirinya di Jordan tidak begitu berhasil. Ilis merasa pen yang dipasang di kakinya tidak beres. Di rumah sakit, karena tidak ada surat rujukan dari rumah sakit sebelumnya, maka Ilis tidak dapat dioperasi.

Ilis pun tak henti bersyukur karena telah pulang ke tanah air. Ilis bekerja menjadi pembantu rumah tangga di negara orang karena kebutuhan ekonomi yang begitu mendesak. Ilis bercerai dengan suami pertamanya dan anaknya dibawa oleh mertuanya. Dia menikah lagi, malang, suami keduanya seringkali minum-minuman keras dan berjudi. Tidak lama ketika Ilis berada di Yordan, dia mendapat kabar suaminya meninggal. Anaknya yang masih usia 14 tahun menjadi telantar, maka Ilis meminta ibunya untuk merawat anaknya. ”Yah, nasib,” begitu ucapan lirih Ilis di sela-sela ceritanya. Meskipun getir kehidupannya, dia masih semangat menjalani hidup.

         
Sambil duduk di lantai, Ani yang berusia sekitar 40 tahun, asal Jawa Tengah, ikut bercerita dengan ditemani suaminya yang datang dari kampung. Ani baru tiga bulanan bekerja di Taiwan, gajinya pun dipotong sebagai ganti kepada agen yang telah memasukkannya bekerja. Kira-kira dia hanya menerima Rp600.000,00, itu pun habis untuk keperluan pribadinya. Di rumah majikannya, dia bekerja dari pagi benar sampai malam. Dia mengerjakan banyak hal. Setiap hari dia berkebun, kemudian mengurus nenek yang lumpuh: membawanya jalan-jalan, memandikan, menyuapi makan, dia juga melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya seperti memasak, mencuci, mengepel. 

”Gak ada waktu untuk istirahat, bahkan tidur pun tidak nyenyak, sekali-sekali bangun dan terjaga,” ungkapnya penuh duka. Selain itu, majikannya pun tidak memperbolehkannya makan yang enak-enak dan banyak. Setiap hari Ani hanya diberikan sedikit nasi dengan lauk ceker dan kepala ayam yang dimasak dengan direbus. Kata majikannya, jika dia makan terlalu banyak itu akan membuatnya gendut dan malas bekerja. Karena itu, tekanan darah Ani pun menjadi rendah. Untuk mengisi perutnya yang kelaparan Ani mencuri waktu untuk pergi ke toko dan membeli roti.

Pada suatu hari, Ani terjatuh dari kamar mandi yang menyebabkannya sulit untuk bekerja dan duduk. Dia pun meminta pulang ke tanah air pada majikan dan agen-nya. Awalnya agen dan majikannya tidak ingin memulangkannya, karena Ani terus-menerus memaksa, maka permohonannya dikabulkan, namun agen tersebut meminta bayaran. Ani kemudian sampai ke RS. Polri untuk diobati, namun sampai sekarang pinggangnya masih sering nyeri dan sakit ketika jalan atau duduk. Beruntung, suaminya sudah berada di rumah singgah menemaninya dan masih berusaha mencari keadilan dari agen yang memasukkannya. Mereka pun menyadari bahwa pada awal keberangkatannya dokumen Ani telah dipalsukan oleh agen. Niat awal mencari kehidupan lebih baik, ternyata tidak sesuai dengan harapannya, bahkan Ani tidak membawa uang sepeser pun ketika kembali ke tanah air. Sambil mengeluarkan air mata, Ani pun berkata bijak, ”Yang penting sudah sampai di negeri sendiri, bisa makan, daripada negara orang.”

Perempuan lainnya, yang juga ditampung di rumah singgah, bernama Suhada yang berusia 40 tahun asal NTB, belum lama dibiayai untuk dioperasi. Dia dideportasi karena  menderita kanker leher. Syukur dia dapat berada di rumah singgah untuk mendapat pengobatan dan pemulihan. 

Seorang perempuan yang juga kami jumpai adalah Ibu Suyati, sekitar 40 tahun, asal Jepara. Dia masih depresi akibat kekerasan yang dialaminya ketika bekerja di Arab Saudi. Dia berada di kamar menyendiri, membaca buku doa, dia tidak mau berkumpul bersama dengan yang lainnya untuk bercerita, juga tidak mau difoto. Sebelum ditampung di rumah singgah, dia sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Grogol.


Hasnah, perempuan asal Bau-bau, Sulawesi, yang berusia sekitar 20-an, paling malang. Dia masih muda dan sudah berkeluarga. Karena kebutuhan ekonomi, dia pergi meninggalkan keluarganya, bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi. Suatu hari, minumannya diberi obat oleh majikannya. Dia diperkosa kemudian dia pun hamil. Ketika usia kandungannya 7 bulan, dia menelepon temannya dan menceritakan perlakuan majikannya. Sayangnya, ketahuan majikannya. Karena kesal, majikannya langsung memarahinya, menyiramnya dengan minyak tanah dan membakar tubuhnya. Dia dilarikan ke rumah sakit. Majikannya mengancamnya agar ia tidak menceritakan kepada pihak rumah sakit dan beralasan bahwa ia terluka karena kompor meledak. Karena curiga, pihak rumah sakit pun meminta pengakuan dari Hasnah, dia pun mengakui bahwa dirinya dibakar oleh majikannya. Beberapa waktu kemudian KBRI memulangkannya. Kondisinya begitu memprihatinkan. Sampai detik ini, dia masih belum berani mengabari keluarganya di Bau-bau. Meskipun demikian, dia masih memiliki semangat untuk tetap hidup. Dia menjaga kandungannya untuk kelak diadopsi oleh orang lain. 


Mereka pergi membawa harapan untuk kehidupan ekonomi yang lebih baik. Bukan hanya untuk diri mereka sendiri, melainkan juga untuk keluarga mereka di kampung. Namun, ternyata, banyak pihak yang justru menggunakan kesempatan itu untuk mengeruk keuntungan. Kelima perempuan tersebut merupakan korban trafiking. Di tengah cobaan hidup yang luar biasa hebat yang dialami mereka, masih tampak harapan di wajah-wajah mereka untuk hari depan yang lebih baik. Sementara itu, pemerintah entah di mana.