Siang itu suasana di
salah satu rumah sakit kusta di daerah Tangerang cukup lengang. Hanya 1-2
perawat terlihat lalu lalang di lorong bangunan berwarna hijau tersebut. Jam
menunjukkan pukul 14.00 saat Sr. Vincentia HK, salah satu relawan Sahabat Insan
datang ke rumah sakit tersebut membawa seorang pasien kusta, sebut saja namanya
Amir.
Lima belas tahun lalu,
Amir tinggal di Bintuni, Manokwari bersama pamannya. Kedua orang tuanya sudah
meninggal dunia. Ia pernah menikah, namun istrinya meninggal dunia sebelum
memberinya keturunan. Tawaran dari seorang rekan membuatnya berangkat ke
Malaysia untuk mencari nafkah.
Amir berangkat ke
Malaysia naik kapal laut. Malang tak dapat ditolak. Di tengah perjalanan, dia
terjatuh dari kapal dan kakinya terantuk bagian bawah kapal tersebut. Walaupun
sakit, saat itu dia tidak menghiraukannya. Sesampai di Malaysia, Amir bekerja
serabutan sebagai pekerja di kebun sawit atau sebagai kuli bangunan dengan
imbalan seadanya. Setelah lima belas tahun berjuang hidup di
Malaysia dan
berkali kali masuk penjara karena urusan dokumen pribadi, dua
bulan lalu ia dipulangkan ke Indonesia dalam keadaan sakit. Sebulan kemudian baru diketahui bahwa
penyakit yang diderita Amir adalah kusta, setelah kakinya terasa semakin sakit dan
kedua tangannya tidak dapat digerakkan.
Sayangnya, tak ada keluarga yang dapat di hubungi. Paman yang katanya ada di Bintuni Manokwari pun
tak ditemukan lagi.
Dengan didampingi oleh
relawan Sahabat Insan dan salah satu staf rumah singgah mengurus berbagai macam
administrasi, akhirnya Amir pun dirawat di rumah sakit tersebut dengan jaminan biaya
perawatan dari Dinas Sosial. Sedangkan Sahabat Insan membantu biaya untuk
keperluan pribadinya, seperti baju, perlengkapan mandi, perlengkapan mencuci
dan serta alat-alat kebersihan.
Rencananya, Amir akan
melewati tahap demi tahap perawatan yang jumlahnya belum bisa ditentukan,
tergantung perkembangan keadaannya. Lama setiap tahap adalah 25 hari, dan
diantara tahap-tahap tersebut terdapat waktu tenggang 5-10 hari yang seharusnya
bisa dimanfaatkan oleh pasien untuk berkumpul dengan keluarganya. Namun karena
Amir sebatang kara, rumah sakit memperbolehkan untuk tinggal sementara di situ
namun tidak mendapatkan makanan sehingga harus mencari sendiri. Untuk mempercepat proses penyembuhannya, dokter
melarang Amir untuk berjalan agar syaraf kakinya tidak bergerak-gerak sehingga cepat
pulih. Sr. Vincentia HK kemudian mengusahakan pinjaman kursi roda agar
aktifitas Amir tidak terlalu terganggu. Akhirnya kursi roda pun berhasil
didapatkan atas kebaikan hati Seksi Sosial Paroki Santo Andreas, Kedoya.
Salah satu hal yang
menyentuh hati adalah, seluruh pasien kusta di situ saling memberi semangat, terutama kepada pasien baru. Pada awal kedatangannya, Amir terlihat stress dan agak murung.
Namun pasien-pasien disitu kemudian menghiburnya agar tekun menjalani
proses-proses juga terapi demi terapi yang diberikan oleh dokter dan perawat,
dan meyakinkannya bahwa ia dapat sembuh. Mereka juga saling membantu membersihkan
luka, atau sekedar menyuapi makan, atau menuntun kembali ke kamar setelah dari
ruang terapi, dan sebagainya. Semoga semangat persaudaraan yang terjalin dapat
memberikan sedikit kegembiraan di hati para pasien sehingga bisa menunjang
kesembuhan fisknya.