Sahabat Insan kembali mengunjungi pekerja migran Indonesia yang mengalami depresi di sebuah rumah
sakit di Jakarta,
Jumat (4/9). Kami bersyukur karena mereka menyambut kami dengan senyuman yang
menyiratkan kemajuan keadaan mereka.
Sad Eye by Paulina C. http://www.deviantart.com/print/24960822/?itemids=181 |
Mia, Ani, dan Yani ketiga pasien yang baru sekitar satu
minggu berada di rumah sakit sudah jauh lebih baik daripada minggu lalu saat
kami menjumpai mereka untuk pertama kali. Hari itu, kami berjumpa dengan
seorang ibu, sebut saja Ibu Susi, yang terhitung baru tiga hari berada di sana. Ketika kami
mengobrol dengannya. Kami terkejut karena dia mengaku sehat, tidak mengalami
depresi atau gangguan jiwa seperti yang lainnya. Dia pun sudah berusaha
mengatakan hal tersebut kepada dokter dan suster. Dia sungguh bingung kenapa
dia bisa dibawa dari bandara ke rumah sakit, padahal dia begitu ingin pulang
bertemu keluarga yang dirindukan, setelah 2 tahun bekerja di Arab Saudi. Ibu
Susi tidak dapat melakukan apa pun karena dia tidak memiliki nomor kontak
keluarga atau teman-temannya. Kami hanya dapat mendukungnya dan memberi saran
agar dia mengatakan kepada suster bahwa dia tidak sakit dan diperbolehkan untuk
segera pulang.
Sebelumnya, ketika Jumat minggu lalu (27/9) Sahabat Insan juga
telah berkunjung ke sana.
Kami mendapati jumlah pasien berkurang
karena ruangan lebih sepi daripada biasanya. Seorang ibu yang biasa menyambut
kami dan membawakan tempat duduk pun sudah tidak ada di sana. Kami gembira
karenanya. Namun, juga sedih ketika menjumpai tiga orang pasien baru. Jadi,
total pasien yang berada di sana ada 18 orang.
Salah satu dari
mereka bertiga, masih begitu muda kira-kira berusia 20-an, sebut saya Mia. Dia
duduk di pojokan ruangan bersama dengan Ani yang juga baru datang ke rumah
sakit. Satu per satu dari mereka
kami salami, tak lupa kami memperkenalkan diri kepada mereka. Kami menanyakan keadaan
mereka di sana. Beberapa menjawab baik, beberapa lagi hanya tersenyum kecil.
Sementara Mia yang masih duduk di pojokan mulai kami sapa perlahan dan kami
tanyakan namanya. Dengan suara kecil dia menjawab pertanyaan kami. Kemudian,
ketika kami bertanya mengenai pekerjaan dan keluarganya, Mia pun mengunci
rapat-rapat mulutnya. Kami berusaha memahami, walaupun tak tahu seberapa besar
penderitaan yang dialaminya, sehingga dia begitu terlihat memiliki trauma dan
tidak mau banyak bicara. Kami tak memaksakan dia untuk menjawab.
Dengan pakaian
lusuh, rambut yang sedikit berantakan, matanya tampak kosong dan tak menatap
pada kami. Hanya dengan melihat mereka seperti itu, kami tahu bahwa mereka
telah mengalami kejadian yang begitu menyakitkan. Kami semakin sedih dan ingin
menangis ketika Ani menangis. Dia berbicara sendiri dengan kata-kata yang sulit
dimengerti. Dia mengutuk majikannya,dan terus-menerus mempertanyakan mengapa majikannya
di Saudi begitu jahat. Sembari
menangis dengan suara yang kecil, dia bahkan sampai beberapa kali menjedotkan
kepalanya ke tembok. Kami berusaha membuatnya tenang, namun dia sama sekali
tidak mempedulikan keberadaan kami. Sampai akhirnya dia tenang sendiri, namun
air mata terus jatuh di pipinya. Mungkin, karena dia belum lama datang dan belum diberikan
obat oleh psikiater di sana.
Suster Shanti
berusaha membujuk Ani dengan mengajaknya berbicara. Dia masih terus menangis,
sampai akhirnya tangisannya reda dan dia mulai memegang begitu erat tangan
Suster Shanti. Sementara Yani, pasien lainnya yang belum lama datang, mendekati
Suster Shanti lalu, pelan-pelan menangis. Ketika ditanya kenapa dia menangis,
Yani menjawab karena dia teringat orangtunya di kampung. Kerinduannya yang
sangat itu seolah terobati dengan kehadiran Suster Shanti. Yani kemudian
mengaku gembira karena dikunjungi oleh kami.
Kami bersyukur ketika
kami melihat keadaan mereka lebih baik, daripada sebelumnya. Setelah waktu
berkunjung telah habis, kami meninggalkan mereka dengan harapan besar mereka
akan segera pulang dan dapat berkumpul bersama keluarga. Semoga kunjungan kami
mengobati sedikit kerinduan mereka untuk pulang ke rumah.