Tuesday, October 8, 2013

Tangis Rindu Pekerja Migran

Sahabat Insan kembali mengunjungi pekerja migran Indonesia yang mengalami depresi di sebuah rumah sakit di Jakarta, Jumat (4/9). Kami bersyukur karena mereka menyambut kami dengan senyuman yang menyiratkan kemajuan keadaan mereka.


Sad Eye by Paulina C.
http://www.deviantart.com/print/24960822/?itemids=181


Mia, Ani, dan Yani ketiga pasien yang baru sekitar satu minggu berada di rumah sakit sudah jauh lebih baik daripada minggu lalu saat kami menjumpai mereka untuk pertama kali. Hari itu, kami berjumpa dengan seorang ibu, sebut saja Ibu Susi, yang terhitung baru tiga hari berada di sana. Ketika kami mengobrol dengannya. Kami terkejut karena dia mengaku sehat, tidak mengalami depresi atau gangguan jiwa seperti yang lainnya. Dia pun sudah berusaha mengatakan hal tersebut kepada dokter dan suster. Dia sungguh bingung kenapa dia bisa dibawa dari bandara ke rumah sakit, padahal dia begitu ingin pulang bertemu keluarga yang dirindukan, setelah 2 tahun bekerja di Arab Saudi. Ibu Susi tidak dapat melakukan apa pun karena dia tidak memiliki nomor kontak keluarga atau teman-temannya. Kami hanya dapat mendukungnya dan memberi saran agar dia mengatakan kepada suster bahwa dia tidak sakit dan diperbolehkan untuk segera pulang.

Sebelumnya, ketika Jumat minggu lalu (27/9) Sahabat Insan juga telah berkunjung ke sana. Kami mendapati jumlah pasien berkurang karena ruangan lebih sepi daripada biasanya. Seorang ibu yang biasa menyambut kami dan membawakan tempat duduk pun sudah tidak ada di sana. Kami gembira karenanya. Namun, juga sedih ketika menjumpai tiga orang pasien baru. Jadi, total pasien yang berada di sana ada 18 orang.

Salah satu dari mereka bertiga, masih begitu muda kira-kira berusia 20-an, sebut saya Mia. Dia duduk di pojokan ruangan bersama dengan Ani yang juga baru datang ke rumah sakit. Satu per satu dari mereka kami salami, tak lupa kami memperkenalkan diri kepada mereka. Kami menanyakan keadaan mereka di sana. Beberapa menjawab baik, beberapa lagi hanya tersenyum kecil. Sementara Mia yang masih duduk di pojokan mulai kami sapa perlahan dan kami tanyakan namanya. Dengan suara kecil dia menjawab pertanyaan kami. Kemudian, ketika kami bertanya mengenai pekerjaan dan keluarganya, Mia pun mengunci rapat-rapat mulutnya. Kami berusaha memahami, walaupun tak tahu seberapa besar penderitaan yang dialaminya, sehingga dia begitu terlihat memiliki trauma dan tidak mau banyak bicara. Kami tak memaksakan dia untuk menjawab.

Dengan pakaian lusuh, rambut yang sedikit berantakan, matanya tampak kosong dan tak menatap pada kami. Hanya dengan melihat mereka seperti itu, kami tahu bahwa mereka telah mengalami kejadian yang begitu menyakitkan. Kami semakin sedih dan ingin menangis ketika Ani menangis. Dia berbicara sendiri dengan kata-kata yang sulit dimengerti. Dia mengutuk majikannya,dan terus-menerus mempertanyakan mengapa majikannya di Saudi begitu jahat. Sembari menangis dengan suara yang kecil, dia bahkan sampai beberapa kali menjedotkan kepalanya ke tembok. Kami berusaha membuatnya tenang, namun dia sama sekali tidak mempedulikan keberadaan kami. Sampai akhirnya dia tenang sendiri, namun air mata terus jatuh di pipinya. Mungkin, karena  dia belum lama datang dan belum diberikan obat oleh psikiater di sana.

Suster Shanti berusaha membujuk Ani dengan mengajaknya berbicara. Dia masih terus menangis, sampai akhirnya tangisannya reda dan dia mulai memegang begitu erat tangan Suster Shanti. Sementara Yani, pasien lainnya yang belum lama datang, mendekati Suster Shanti lalu, pelan-pelan menangis. Ketika ditanya kenapa dia menangis, Yani menjawab karena dia teringat orangtunya di kampung. Kerinduannya yang sangat itu seolah terobati dengan kehadiran Suster Shanti. Yani kemudian mengaku gembira karena dikunjungi oleh kami.

Kami bersyukur ketika kami melihat keadaan mereka lebih baik, daripada sebelumnya. Setelah waktu berkunjung telah habis, kami meninggalkan mereka dengan harapan besar mereka akan segera pulang dan dapat berkumpul bersama keluarga. Semoga kunjungan kami mengobati sedikit kerinduan mereka untuk pulang ke rumah.