Selama 3 hari, sejak tanggal 11 s/d 13 Juli 2013, Sahabat Insan diundang untuk mengikuti
Workshop Pembahasan dan Rekomendasi Atas Revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri (
PPTKILN). Acara ini diselenggarakan oleh Peduli Buruh Migran (PBM) bekerja sama dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Kegiatan yang diadakan di Hotel Morina, Malang – Jawa Timur ini juga diikuti oleh beberapa perwakilan Solidaritas Buruh Migran Indonesia (SBMI) dari Sumenep, Trenggalek, Kediri, Malang, Ponorogo, Tulungangung, serta IWORK, Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara, Infest, JKPS “Cahaya”, perwakilan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, dan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
Wacana untuk merevisi Undang-Undang ini sudah muncul sejak tahun 2009 yang lalu. Penyebabnya karena UU tersebut dipandang kurang mengakomodasi kepentingan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, membuka peluang untuk melakukan komersialisasi karena banyaknya proses yang harus dilalui (54 tahap) untuk menjadi TKI dan juga minimnya perlindungan hukum terhadap pekerja yang bermasalah. Selama tiga tahun, Komisi IX DPR membahas revisi terhadap UU Nomor 39/2004 ini sejak tahun 2010-2012, dan kemudian disetujui dalam sidang paripurna DPR tanggal 5 Juli 2012.
Namun ternyata hasil revisi tersebut jauh dari harapan masyarakat, terutama buruh migran dan keluarganya sebagai aktor utama dari UU ini. Menurut para pemerhati buruh migran, dalam revisi ini DPR hanya mengubah istilah tanpa mengubah substansi. Seperti TKI diubah menjadi Pekerja Indonesia Luar Negeri, Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), dan sebagainya.
Untuk menengahi hal ini, pada tanggal 2 Agustus 2012, Presiden SBY telah menandatangani Ampres No. R/57/Pres/08/2012 perihal penunjukan wakil pemerintah untuk pembahasan RUU revisi tentang TKI di DPR RI. Dalam Ampres tersebut, Presiden menugaskan enam kementrian untuk mewakili Pemerintah, yakni Kemenlu, Kemenakertrans, Kementrian PP&PA, Kemendagri, Kemenhukham dan Kemenpan. Dengan ditandatanganinya ampres tersebut maka DPR RI memulai lagi pembahasan tentang RUU ini pada masa sidang 15 Agustus 2012.
Proses pembahasan tentang draft RUU No 39/2004 yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI ini juga dikawal oleh sejumlah elemen seperti serikat buruh, serikat buruh migran, akademisi dan LSM yang telah merapatkan barisan dalam sebuah jaringan kerja advokasi guna mengawasi proses legislasi itu. Jaringan yang terbentuk sejak bulan Februari 2010 ini, kemudian disepakati bernama Jaringan Advokasi Revisi Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (JARI-PPTKILN).
Sampai saat ini, pembahasan RUU ini masih tetap berlangsung dengan segala pasang surutnya. Lily Pujiati, Direktur Peduli Buruh Migran (PBM) menyampaikan bahwa proses pengawalan dan pembahasan RUU PPILN penting untuk diketahui dan diikuti pegiat BMI di daerah. Selama ini PBM melihat kecenderungan bahwa informasi seputar RUU PPILN hanya beredar di pusat dan tidak sampai ke daerah. Oleh karena itulah PBM berinisiatif untuk mengadakan workshop ini, agar pegiat BMI di daerah mengetahui draft RUU versi Pemerintah dan DPR RI, kemudian mereka diajak untuk mendiskusikan draft tersebut, sehingga akhirnya bisa turut berperan dengan memberi masukan atas RUU ini.
Kegiatan diawali dengan pemaparan materi oleh Bapak Sushendratno (Kasubdit Pelindungan TKI Kemenakertrans) dan Ibu Dita Indah Sari (Staf Khusus Kemenakertrans). Dalam kesempatan tersebut dipaparkan delapan hal krusial yang selama ini masih menjadi perdebatan antara Pemerintah dan DPR RI, yaitu: 1) Judul RUU, 2) Kelembagaan, 3) Perwakilan Badan Nasional Penempatan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) di negara-negara tujuan pengiriman TKI, 4) Tugas dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, 5) Perlindungan Keluarga TKI, 6) Pelaksanaan Penempatan, 7) Pelatihan, dan 8) Sanksi.
Kemudian Ibu Nufus Mufida dari JARI – PPTKILN dan Bapak Yohanes Wibawa, direktur IWORK (Institute of Migrant Workers) turut menyampaikan pendapatnya tentang proses pembahasan RUU antara DPR dan Pemerintah yang tidak kunjung selesai, sementara masa jabatan DPR RI tahun 2014 akan segera habis. Dikhawatirkan jika masa tersebut telah terlewati, maka proses yang sudah berlangsung lama ini harus dimulai dari awal lagi karena Pemerintahan dan DPR yang baru. Lebih khusus, dalam pembahasan RUU ini JARI – PPTKILN menyoroti beberapa hal, yaitu tentang a) Perekrutan dan Penempatan, b) Pendidikan dan Pelatihan, c) Sistem Pembiayaan Penempatan Pekerja Migran, d) Sistem Penanganan Kasus dan Bantuah Hukum, e) Kelembagaan Pelayanan Migrasi, f) Sistem Pendataan dan Pengawasan, g) Peran Serta Masyarakat, h) Sistem & Pelayanan Pemulangan, i) Peran PJTKI dalam Penempatan dan j) Peran & Koordinasi 6 Kementrian. Sementara IWORK lebih dalam membahas tentang peran masing-masing lembaga dalam setiap proses migrasi, yaitu pra penempatan (perekrutan dan seleksi, pendaftaran dan pendataan, pendidikan dan pelatihan, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, penyelesaian dokumen, persiapan akhir pemberangkatan dan persiapan pemberangkatan), penempatan (pemberangkatan, verifikasi akhir terhadap kontrak kerja, tempat kerja dan pengguna sampai diterima oleh pengguna), dan pasca penempatan (proses pemulangan dari negara penerima sampai tiba di rumah daerah asal di Indonesia).
Workshop kemudian dilanjutkan dengan diskusi kelompok, untuk menampung masukan-masukan terhadap RUU ini dari para pegiat BMI di daerah. Diskusi dipandu oleh Bpk Yohanes Wibawa dari IWORK. Karena waktu yang sangat singkat sementara materi yang akan dibahas cukup banyak, akhirnya diputuskan untuk memusatkan bahasan diskusi pada persoalan kelembagaan. Peserta workshop kemudian dibagi menjadi menjadi empat kelompok, yang masing-masing mendiskusikan tentang kewenangan masing-masing lembaga di masa pra penempatan, penempatan dan pasca penempatan, serta sistem pengawasannya.
Diskusi tersebut menghasilkan beberapa masukan yang merefleksikan persoalan-persoalan yang sering dihadapi oleh BMI di daerah antara lain:
a. Pada proses pra penempatan:
Perlu ada lembaga yang dapat memberikan informasi yang benar tentang proses perekrutan pekerja migran, perlunya standarisasi pelatihan agar materi yang disampaikan benar-benar dapat dijadikan bekal untuk bekerja di luar negeri, lembaga yang menjamin keefektifan proses pemeriksaan kesehatan, dan perlunya lembaga uji kompetensi yang resmi agar pekerja yang dikirim benar-benar berkualitas. Dalam kesempatan ini disinggung juga tentang jaminan kesehatan untuk pekerja di luar negeri, serta perlunya dijalin kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan negara tujuan agar para pekerja mendapatkan perlindungan hukum saat menemui masalah di luar negeri
b. Pada proses penempatan:
Perlunya pembenahan fungsi-fungsi lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses ini, yaitu KBRI, agensi, pengguna jasa, polisi, rumah sakit, perusahaan asuransi, bandara, bank, lembaga penukaran uang, NGO, Disnaker, Pemerintah dan BNP2TKI.
c. Pada proses pasca penempatan:
Perlu adanya proses yang baku tentang pemulangan dari negara penerima sampai tiba di rumah daerah asal di Indonesia
d. Sistem pengawasan:
Perlu adanya lembaga pengawas independen yang mengawal setiap proses, masukan-masukan dari lembaga-lembaga sosial pegiat BMI.
Workshop kemudian dilanjutkan dengan refleksi bersama tentang perkembangan gerakan buruh migran di Indonesia, yang masih dipandu oleh Yohanes Wibawa. Direktur IWORK ini membuka obrolan dengan bercerita tentang sejarah pergerakan buruh migran dari tahun 2000 melalui inisiasi Federasi Organisasi Buruh Migran Indonesia (Fobmi) hingga berkembang menjadi Konfederasi Organisasi Buruh Migran Indonesia (Kobumi), hingga dinamika gerakan di tahun 2013. Lebih lanjut, Yohanes Wibawa mengatakan bahwa gerakan buruh migran memiliki potensi untuk menjadi kuat, karena setiap organisasi memiliki kekuatan dan fokus di bidangnya masing-masing. Ada kuat di soal pengorganisasian basis, pemberdayaan, pengembangan ekonomi mikro, kesehatan, penanganan kasus, media dan informasi, dan lain-lain. Ibarat puzzle, gerakan buruh migran tinggal dirangkai dan bisa saling terhubung antara kerja satu organisasi dengan organisasi lainnya. Namun, persoalan ketidakpercayaan antar pegiat buruh menjadi pekerjaan rumah untuk segera diselesaikan dengan cara saling terbuka dan lebih mengedepankan kolaborasi kerja antar organisasi.
Selanjutnya, jejaring organisasi buruh migran dari berbagai daerah saling berbagi kisah dan pengalaman dalam gerakan buruh migran di daerah masing-masing. Setiap wakil dari daerah mengemukakan hal-hal yang telah dilakukan dan masalah yang dihadapi. Sesi ini menutup keseluruhan acara Workshop Pembahasan dan Rekomendasi atas Revisi UU No. 39/2004 ini.