http://www.deviantart.com/art/Time-Imprisonment-170502363 |
Seorang mantan TKI di ruang jiwa itu, tiba-tiba bertanya,
“Sekarang tanggal berapa ya Mbak?”
”Tanggal 28
Februari Bu.”
Lalu, dia bangkit
dari tempat duduknya dan segera mengambil kalender yang tergantung tak jauh
dari tempat kami duduk berkumpul. Seluruh isi ruangan tertawa melihatnya, sebab kalender itu terbuka di bulan Mei 2014.
Ternyata, tentang tanggal berapa hari itu, mereka tidak tahu. Mereka baru benar-benar tahu ketika kami memberi tahu mereka. Mungkin, selama
mereka bekerja, atau saat berada di ruang jiwa, waktu bergulir lewat begitu
saja tanpa mereka sadari betul. Bukan berarti tak berharga. Hanya saja, mereka tak
punya pilihan lain sampai mereka tak menghiraukan tanggalan. Sampai seorang
pasien di sana menanyakannya.
Hanya dari hal
sepele tersebut, kami tahu bahwa para perawat di sana tak seberapa memperhatikan
mereka. Hal itu terbukti ketika perawat di ruang jiwa, yang menampung
mantan-mantan TKI yang dideteksi mengalami depresi, mendatangi kami. Suster
Ana, dia bercerita bahwa perawat-perawat di ruang jiwa tersebut baru. Maka, mereka tak tahu harus ”meminta” pada
siapa berbagai macam keperluan pasien-pasien di sana. Dia pun mengungkapkan
kepada kami, bahwa sudah berhari-hari pasien-pasien di sana tidak punya sabun,
shampo, untuk membersihkan badan, juga deterjen untuk mencuci pakaian.
Miris memang,
saat mendengar hal tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan akan sabun, shampo,
deterjen, mereka menggunakan uang pribadi yang tersisa. Dan mereka tak sungkan
berbagi milik mereka kepada kawan lainnya yang senasib.
Seorang mantan
TKI yang Sahabat Insan kunjungi pada Jumat yang lalu itu, menarik perhatian
kami. Berbeda dengan
teman-teman mantan TKI yang lainnya. Dari caranya melihat dengan tatapan mata
yang kosong, caranya berjalan perlahan,
dan kalimat-kalimat pendek yang dia ucap, kami tahu bahwa depresi yang
dialaminya teramat berat. Kendati demikian, ketika ditanya nama dan pernah
kerja di mana dia mau memberi kami jawab.
Kami yakin,
usianya masih belia, mungkin dua puluhan. Perempuan muda itu tampak cantik dengan kulit
putih dan rambut panjang yang terurai berantakan. Kata temannya, dia berasal dari Pontianak. Dia sebelumnya bekerja di
Malaysia, entah untuk waktu berapa lama. Kami belum bisa menanyakan lebih
banyak lagi tentang pengalamannya bekerja di negara tetangga itu. Kawan yang
bersamanya sempat bercerita kalau mereka bertemu di KBRI Malaysia, sebelum
akhirnya dipulangkan ke Indonesia. Kemudian, bersama-sama masuk ke ruang jiwa
tersebut. Dengan begitu baik, kawan seperjalanannya itu mengatakan kepada kami bahwa dia ingin menjaganya sampai
benar-benar sembuh.
Begitu banyak cerita di ruang jiwa kecil tersebut. Pasien-pasien mantan TKI di sana, ketika kami kunjungi tampak gembira melihat kami membawakan roti untuk mereka.
Satu per satu roti itu kami
bagikan kepada mereka. Mereka menyambut dengan sukacita. Sambil mengobrol,
mereka memakan roti tersebut. Seorang mantan TKI yang kami jumpai minggu lalu,
bernama Ipi, tidak tampak. Kata kawan-kawannya, dia telah pulang.
Minggu
sebelumnya, Ipi sempat meminta tolong kepada kami untuk menghubungi teman
lelakinya. Dia ingat nomor HP temannya tersebut, kemudian dia memberikan kepada Romo
Benny untuk dihubungi. Sayang tidak ada jawaban ketika kami mencoba
menghubunginya. Kendati demikian, kami bersyukur mendengar kabar bahwa Ipi telah dipulangkan.
Tidak ada yang
tahu apa yang kemudian mereka lakukan setelah kembali pulang ke kampung halaman. Pernah kami dengar dari perawat di sana, ada yang sampai dua kali kembali ke ruang jiwa
tersebut. Ya, bisa saja. Bisa jadi keinginan mereka bekerja ke luar
negeri masih membumbung tinggi, tak lama sampai rumah, mereka kemudian pergi lagi.