Siang itu, mereka terlihat begitu gembira. Wajah-wajah berseri penuh tawa
terlukis. Para muda-mudi dengan penuh semangat
berusaha keras membangun rumah dari sedotan berwarna kuning dengan bekal
selotip.
Beberapa perempuan paruh baya yang ditandai dengan
kerutan-kerutan di wajah, duduk di teras rumah menonton mereka. Kompleks itu memang telah disewa khusus bagi para pengungsi. Pemiliknya adalah
seorang bapak baik hati, penduduk asli di
wilayah itu.
Rumah yang mereka bangun dari sedotan plastik dengan
penuh perjuangan itu adalah mimpi mereka. Mereka bermimpi untuk menemukan tanah,
memiliki tempat tinggal, dan memperoleh hidup yang aman, nyaman, dan layak. Mereka
memiliki mimpi tentang kehidupan yang lebih beradab, lebih manusiawi, dan bahagia.
Mari kita coba bayangkan. Bagaimanakah rasanya
apabila kita hidup dalam situasi mencekam, penuh ketakutan, kemudian terlunta-lunta
karena tidak memiliki tempat tinggal, dan jauh dari rasa aman dan nyaman, serta
tidak memiliki status kewarganegaraan? Bagaimanakah rasanya bila kita terpisah dari
keluarga, saudara, kerabat yang kita cintai dan berada di tempat asing yang berbeda bahasa
dan adat istiadatnya?
Itulah yang
dialami saudara-saudari kita para pengungsi. Hari itu, kami disambut ramah oleh seorang Bapak asal Sudan . Berulang kali dia
mengucap,”Alhamdulillah”. Kami pun merasakan ucapan syukurnya kepada Sang
Pencipta atas kehidupan yang boleh dia kecap kini. Kendati bahasa Inggris-nya terbatas, kami tetap
dapat memahaminya.
Bapak asal Sudan itu sebatang kara. Dia meninggalkan
tempat asalnya karena di tanah kelahirannya terjadi konflik yang tak kunjung
usai antara para pendatang dan penduduk asli. Para pendatang merasa penduduk
asli lebih rendah dari mereka. Konflik pun tak terhindarkan, sehingga ia
terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya untuk mencari suaka, tempat tinggal
yang lebih aman di negara ketiga. Proses tersebut membutuhkan waktu yang
panjang. Sudah 2 tahun ia tinggal di Indonesia.
Selain lomba membangun rumah dari sedotan untuk
muda-mudi, JRS juga mengadakan lomba-lomba lain seperti mewarnai untuk
anak-anak, futsal, rebut bangku, dan membagikan kenang-kenangan untuk mereka. Semua
yang datang terlihat begitu gembira. Kebanyakan pengungsi berasal dari
Afganistan. Ada juga yang berasal dari Pakistan , Sri
Lanka , dan Sudan . Negara-negara tersebut
merupakan tempat yang rawan konflik atau tengah dilanda perang, sehingga banyak
orang terpaksa meninggalkannya untuk mencari suaka di negeri lain.
JRS dan Perjalanan Panjang menjadi Refugee
Sebelum sampai ke Indonesia, para pengungsi itu telah
pergi dari tanah kelahirannya beribu-ribu mil jauhnya. Setelah menjual segala harta
milik, mereka menjumpai agen yang dapat membantu mereka sampai ke negara
ketiga. Banyak dari mereka ditipu dengan iming-iming bahwa mereka akan secara
mudah mendapatkan status Pengungsi dari UNHCR (United
Nations High Commissioner for Refugees) di Indonesia.
Karena belum menandatangani Konvensi Jenewa 1951
dan Protokol 1967 tentang status
refugee, Indonesia tidak dapat memberikan
perlindungan internasional kepada refugee. Sebagai dampaknya, apabila tertangkap
karena melanggar aturan imigrasi Indonesia, mereka akan dimasukkan ke dalam Rumah Detensi
Imigrasi (Rudenim). Rudenim berada di bawah Direktorat Jenderal Imigrasi.
Tempat itu tak ubahnya seperti penjara yang mengurung para pencari suaka dan pengungsi, termasuk perempuan dan anak-anak. Di sana mereka
kehilangan kebebasan dan terancam hak asasinya.
Mereka yang beruntung yang kami jumpai adalah pencari suaka dan pengungsi yang tengah ditemani oleh JRS. Sejak 2012, JRS Indonesia menemani para
pencari suaka dan refugee di Yogyakarta, Pasuruan, Medan, dan Jawa
Barat. Di Yogyakarta
misalnya, JRS mendampingi para pengungsi selama mereka menunggu proses
penempatan ke negara ketiga (resettlement) melalui pelatihan bahasa
Inggris, komputer, dan berbagai kegiatan rekreasi dan budaya.
JRS berperan membantu para pengungsi selama menjalankan proses Refugee Status Determination (RSD) atau Penentuan Status Pengungsi dari UNHCR. Untuk menjalani proses tersebut, mereka membutuhkan
waktu berbulan-bulan, bahkan
dapat lebih dari 1 tahun. Status itu mereka butuhkan supaya
mereka mendapatkan perlindungan internasional dari UNHCR Indonesia dan dapat ditempatkan di negara ketiga yang mau menerima mereka. Apabila sudah mendapatkan status
tersebut, mereka bisa mendapatkan bantuan biaya hidup dari
UNHCR atau IOM (International Organization for Migration). Selama mereka belum mendapatkan status
tersebut, banyak dari mereka yang bertahan hidup dengan bersandar pada bantuan pengungsi lain yang masih punya cukup bekal atau telantar di
jalan-jalan tanpa makan-minum dan rumah.
JRS menggunakan definisi “pengungsi de facto” yang mencakup semua pengungsi lintas batas negara yang
terpaksa meninggalkan negaranya karena “ketakutan yang mendasar
akan penganiayaan karena alasan ras, kebangsaan, agama, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik tertentu” dan “menjadi korban konflik bersenjata,
kebijakan ekonomi yang keliru, atau korban bencana
alam.” Termasuk juga dalam definisi ini adalah mereka
yang disebut pengungsi internal (Internally Displaced Persons), yakni warganegara yang “terpaksa
meninggalkan kampung halamannya karena alasan kekerasan yang sama yang dihadapi oleh pengungsi pada umumnya, tetapi mereka tidak melintasi batas-batas negara”.
Menurut data UNHCR Indonesia, pada akhir Januari
2014, terdapat 10.466 pencari suaka dan refugee
yang ada di Indonesiaa. Sekitar
1.878 orang ditahan di 14 rumah detensi imigrasi yang tersebar dari Medan sampai Jayapura. Kurang lebih 4.000 orang di antaranya berada di Jawa Barat dan
1.500 di Jakarta. JRS pada tahun 2013 telah menemani, melayani, dan membela hak
800 pencari suaka dan refugee yang
ada di Indonesia.
“Di Indonesia saja masih banyak orang susah,
tetapi malah membantu orang di negara lain,” cerita salah satu kawan dari JRS
kepada kami perihal anggapan masyarakat terhadap pekerjaan mereka. Kata-kata
itu tak akan telontar seandainya banyak orang mau tahu dan belajar berempati.
Kendati demikian, masih banyak masyarakat Indonesia yang menunjukkan keramahtamahan kepada
para pengungsi dan pencari suaka. Solidaritas yang dibangun telah melampaui
batas negara, suku, agama, ras, dan pandangan hidup. Semua berdasarkan rasa
kemanusiaan yang ada dalam hati. Tindakan ini tentu memberikan harapan kepada
para pengungsi.
Maka, memperingati Hari Pengungsi Sedunia, 20 Juni 2014 yang lalu, Sahabat
Insan turut mendukung dan berdoa untuk para pengungsi tersebut. Paus Fransiskus
mendorong supaya terjadi perubahan sikap dari setiap pribadi terhadap kaum
migran dan pengungsi. Perubahan dari sikap defensif dan takut, dari
ketidakpedulian dan marjinalisasi, yang merupakan segala tipikal budaya
membuang atau menyingkirkan, menjadi sikap yang didasari oleh budaya
perjumpaan, sebagai satu-satunya budaya yang mampu membangun dunia yang lebih
baik, lebih adil, dan lebih bersahabat.
Untuk bacaan lebih lanjut: