Monday, July 7, 2014

Fun With Refugee



Siang itu, mereka terlihat begitu gembira. Wajah-wajah berseri penuh tawa terlukis. Para muda-mudi dengan penuh semangat berusaha keras membangun rumah dari sedotan berwarna kuning dengan bekal selotip. 

Beberapa perempuan paruh baya yang ditandai dengan kerutan-kerutan di wajah, duduk di teras rumah menonton mereka. Kompleks itu memang telah disewa khusus bagi para pengungsi. Pemiliknya adalah seorang bapak baik hati, penduduk asli di wilayah itu.

Rumah yang mereka bangun dari sedotan plastik dengan penuh perjuangan itu adalah mimpi mereka. Mereka bermimpi untuk menemukan tanah, memiliki tempat tinggal, dan memperoleh hidup yang aman, nyaman, dan layak. Mereka memiliki mimpi tentang kehidupan yang lebih beradab, lebih manusiawi, dan bahagia.

Jumat, 20 Juni 2014, merupakan hari yang istimewa sebab kita memperingati World Refugee Day. Bersama dengan kawan-kawan JRS (Jesuit Refugee Service), Sahabat Insan berjumpa dengan para pencari suaka dan pengungsi untuk merayakan World Refugee Day.

Mari kita coba bayangkan. Bagaimanakah rasanya apabila kita hidup dalam situasi mencekam, penuh ketakutan, kemudian terlunta-lunta karena tidak memiliki tempat tinggal, dan jauh dari rasa aman dan nyaman, serta tidak memiliki status kewarganegaraan? Bagaimanakah rasanya bila kita terpisah dari keluarga, saudara, kerabat yang kita cintai dan berada di tempat asing yang berbeda bahasa dan adat istiadatnya?

Itulah yang dialami saudara-saudari kita para pengungsi. Hari itu, kami disambut ramah oleh seorang Bapak asal Sudan. Berulang kali dia mengucap,”Alhamdulillah”. Kami pun merasakan ucapan syukurnya kepada Sang Pencipta atas kehidupan yang boleh dia kecap kini. Kendati bahasa Inggris-nya terbatas, kami tetap dapat memahaminya.

Bapak asal Sudan itu sebatang kara. Dia meninggalkan tempat asalnya karena di tanah kelahirannya terjadi konflik yang tak kunjung usai antara para pendatang dan penduduk asli. Para pendatang merasa penduduk asli lebih rendah dari mereka. Konflik pun tak terhindarkan, sehingga ia terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya untuk mencari suaka, tempat tinggal yang lebih aman di negara ketiga. Proses tersebut membutuhkan waktu yang panjang. Sudah 2 tahun ia tinggal di Indonesia.

Selain lomba membangun rumah dari sedotan untuk muda-mudi, JRS juga mengadakan lomba-lomba lain seperti mewarnai untuk anak-anak, futsal, rebut bangku, dan membagikan kenang-kenangan untuk mereka. Semua yang datang terlihat begitu gembira. Kebanyakan pengungsi berasal dari Afganistan. Ada juga yang berasal dari Pakistan, Sri Lanka, dan Sudan. Negara-negara tersebut merupakan tempat yang rawan konflik atau tengah dilanda perang, sehingga banyak orang terpaksa meninggalkannya untuk mencari suaka di negeri lain.

Anak-anak sedang lomba mewarnai


JRS dan Perjalanan Panjang menjadi Refugee

Sebelum sampai ke Indonesia, para pengungsi itu telah pergi dari tanah kelahirannya beribu-ribu mil jauhnya. Setelah menjual segala harta milik, mereka menjumpai agen yang dapat membantu mereka sampai ke negara ketiga. Banyak dari mereka ditipu dengan iming-iming bahwa mereka akan secara mudah mendapatkan status Pengungsi dari UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) di Indonesia.

Karena belum menandatangani Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol 1967 tentang status refugee, Indonesia tidak dapat memberikan perlindungan internasional kepada refugee. Sebagai dampaknya, apabila tertangkap karena melanggar aturan imigrasi Indonesia, mereka akan dimasukkan ke dalam Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim). Rudenim berada di bawah Direktorat Jenderal Imigrasi. Tempat itu tak ubahnya seperti penjara yang mengurung para pencari suaka dan pengungsi, termasuk perempuan dan anak-anak. Di sana mereka kehilangan kebebasan dan terancam hak asasinya.

Mereka yang beruntung yang kami jumpai adalah pencari suaka dan pengungsi yang tengah ditemani oleh JRS. Sejak 2012, JRS Indonesia menemani para pencari suaka dan refugee di Yogyakarta, Pasuruan, Medan, dan Jawa Barat. Di Yogyakarta misalnya, JRS mendampingi para pengungsi selama mereka menunggu proses penempatan ke negara ketiga (resettlement) melalui pelatihan bahasa Inggris, komputer, dan berbagai kegiatan rekreasi dan budaya.

JRS berperan membantu para pengungsi selama menjalankan proses Refugee Status Determination (RSD) atau Penentuan Status Pengungsi dari UNHCR. Untuk menjalani proses tersebut, mereka membutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan dapat lebih dari 1 tahun. Status itu mereka butuhkan supaya mereka mendapatkan perlindungan internasional dari UNHCR Indonesia dan dapat ditempatkan di negara ketiga yang mau menerima mereka. Apabila sudah mendapatkan status tersebut, mereka bisa mendapatkan bantuan biaya hidup dari UNHCR atau IOM (International Organization for Migration). Selama mereka belum mendapatkan status tersebut, banyak dari mereka yang bertahan hidup dengan bersandar pada bantuan pengungsi lain yang masih punya cukup bekal atau  telantar di jalan-jalan tanpa makan-minum dan rumah.

JRS menggunakan definisi “pengungsi de facto” yang mencakup semua pengungsi lintas batas negara yang terpaksa meninggalkan negaranya karena ketakutan yang mendasar akan penganiayaan karena alasan ras, kebangsaan, agama, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik tertentu” dan “menjadi korban konflik bersenjata, kebijakan ekonomi yang keliru, atau korban bencana alam.” Termasuk juga dalam definisi ini adalah mereka yang disebut pengungsi internal (Internally Displaced Persons), yakni warganegara yang “terpaksa meninggalkan kampung halamannya karena alasan kekerasan yang sama yang dihadapi oleh pengungsi pada umumnya, tetapi mereka tidak melintasi batas-batas negara”.

Menurut data UNHCR Indonesia, pada akhir Januari 2014, terdapat 10.466 pencari suaka dan refugee yang ada di Indonesiaa. Sekitar 1.878 orang ditahan di 14 rumah detensi imigrasi yang tersebar dari Medan sampai Jayapura. Kurang lebih 4.000 orang di antaranya berada di Jawa Barat dan 1.500 di Jakarta. JRS pada tahun 2013 telah menemani, melayani, dan membela hak 800 pencari suaka dan refugee yang ada di Indonesia.

“Di Indonesia saja masih banyak orang susah, tetapi malah membantu orang di negara lain,” cerita salah satu kawan dari JRS kepada kami perihal anggapan masyarakat terhadap pekerjaan mereka. Kata-kata itu tak akan telontar seandainya banyak orang mau tahu dan belajar berempati. Kendati demikian, masih banyak masyarakat Indonesia yang menunjukkan keramahtamahan kepada para pengungsi dan pencari suaka. Solidaritas yang dibangun telah melampaui batas negara, suku, agama, ras, dan pandangan hidup. Semua berdasarkan rasa kemanusiaan yang ada dalam hati. Tindakan ini tentu memberikan harapan kepada para pengungsi.

Maka, memperingati Hari Pengungsi Sedunia, 20 Juni 2014 yang lalu, Sahabat Insan turut mendukung dan berdoa untuk para pengungsi tersebut. Paus Fransiskus mendorong supaya terjadi perubahan sikap dari setiap pribadi terhadap kaum migran dan pengungsi. Perubahan dari sikap defensif dan takut, dari ketidakpedulian dan marjinalisasi, yang merupakan segala tipikal budaya membuang atau menyingkirkan, menjadi sikap yang didasari oleh budaya perjumpaan, sebagai satu-satunya budaya yang mampu membangun dunia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih bersahabat.

Gambar anak-anak di dinding, banyak dari mereka yang menggambar rumah.


Untuk bacaan lebih lanjut: