Wajah Pak Suroto
mengguratkan senyuman ketika Sahabat Insan menjenguknya pada Jumat 11 Juli yang
lalu. Di bangsal paling pojok
ruang mahoni, Pak Suroto terbaring tak berdaya. Sudah 40 hari dia dirawat di salah
satu rumah sakit milik Pemerintah tersebut. Meskipun dokter mengatakan bahwa ia sudah diperkenankan pulang, dengan keras hati Pak Suroto menolak.
Pak Suroto
sebelumnya adalah buruh migran yang bekerja di Arab Saudi. Di sana, ia bekerja
sebagai supir. Sudah 6 tahun Pak Suroto mengais rezeki. Malang, suatu hari ketika hendak menyeberang, ada mobil yang
dengan sengaja menabraknya. Padahal, posisi Pak Suroto waktu itu masih berdiri
di pinggir jalan dan belum menyeberang jalan.
Majikan
Pak Suroto ini tergolong baik karena dia mau bertanggung jawab dan membawanya
ke rumah sakit di Jeddah. Di rumah sakit, dia sempat koma selama satu minggu. Kemudian Pak Suroto harus menjalani perawatan termasuk operasi selama satu setengah bulan. Pihak
rumah sakit membebankan biaya yang luar biasa besar yakni 332.000 real, jika di
rupiahkan, sekitar 1 miliar lebih. Sementara majikannya hanya mampu membayar
uang muka rumah sakit yakni sebesar 25.000 real. Karena
majikan tak dapat membiayai penuh pengobatan, Pak Suroto pun keluar dari
rumah sakit. Padahal besi berupa pen, penahan tulang, belum dilepas. Pen
tersebut sempat mengalami penundaan
dilepas sampai 4 bulan dari jadwal yang seharusnya karena kendala biaya.
Pada saat pemulangan Pak Suroto dibantu oleh Mas Ali dan Mas Eko dari Buruh Migran Indonesia Saudi Arabia (BMISA)
perwakilan Jakarta. Keduanya merupakan mantan TKI yang pernah bekerja di Saudi.
Karena dibantu teman-teman BMISA juga rekan-rekan media, BNP2TKI berjanji
menanggung pengobatan Pak Suroto sampai sembuh. Maka pengobatan pun
dilanjutkan di Jakarta, di salah satu rumah sakit milik pemerintah.
Di rumah sakit, dokter mengatakan
Pak Suroto baru boleh menapakkan kaki setelah 6 bulan. Kendati sudah boleh pulang, dia bersikeras ingin
diterapi agar bisa berjalan kembali. Namun, selama di rumah sakit, terapi hanya
dilakukan 2 kali seminggu. Itu pun hanya sebentar karena banyak pasien lainnya juga. Kami melihat Pak Suroto sudah frustrasi karena merasa tidak ada kemajuan
pada kakinya. Dia secara tidak langsung memohon bantuan pengobatan terapi untuk
kakinya, sehingga dapat kembali berjalan seperti sedia kala.
Sahabat Insan juga sempat berjumpa dengan istri Pak Suroto. Selama di rumah sakit, istrinyalah yang menjaga
Pak Suroto setiap waktu. Padahal, tidak ada tempat yang memadai
untuk istirahat. Pak Suroto juga sempat bercerita bahwa istrinya tengah sakit karena kelelahan.
Walaupun BNP2TKI menanggung biaya rumah
sakit, tetapi untuk biaya akomodasi bagi istrinya, atau pekerjaan selanjutnya
bagi Pak Suroto tidaklah ditanggung. Sementara mereka memiliki anak yang masih
usia sekolah. Mas Ali dan Mas Eko menyampaikan kepada kami, barangkali Sahabat
Insan dapat membantu Pak Suroto dan keluarga untuk memberikan keterampilan atau
mencarikan pekerjaan ketika dia sudah keluar dari rumah sakit.
Ketika Sahabat Insan menanyakan keadaan Pak Suroto, ternyata pada tanggal 15 Juli lalu, ia sudah pulang ke kampung halaman istrinya di Rengasdengklok. Mas Ali dan Mas Eko mengatakan bahwa mereka kini tengah memikirkan cara untuk membantu Pak Suroto sembari mengumpulkan donasi. Dengan terbuka, Sahabat Insan pun berusaha menjawab harapan mereka.
Bacaan Terkait: