Entahlah. Apakah kehilangan ingatan atau menderita amnesia
merupakan suatu berkah atau justru malapetaka. Apabila masa lalu kita penuh
dengan penderitaan atau berbagai kejadian kelam, bukankah amnesia menjadi suatu
berkah? Namun, apabila kita juga tidak ingat pada orang-orang yang kita
sayangi, sehingga tidak dapat lagi berjumpa dengan mereka, bukankah itu hal
yang sangat menyedihkan?
Ketika Sahabat Insan berkunjung ke Shelter Sahabat Insan, Jumat, 4 Juli
2014 yang lalu, selain Riki dan ibunya, kami juga berjumpa dengan Sri dan
Yanti. Kami kenal baik dengan Yanti karena sebelumnya Sahabat Insan pernah
menjenguknya beberapa kali di rumah sakit.
Selama kurang lebih setengah tahun, Yanti mendekam di salah satu ruang dalam rumah sakit milik Pemerintah karena dianggap mengalami gangguan kejiwaan. Yanti, mantan buruh migran tersebut, tidak ingat sama sekali tempat tinggalnya,
keluarganya, di mana ia bekerja dan lain sebagainya. Dia tidak ingat sama sekali masa
lalunya.
Sahabat Insan berusaha menampungnya di shelter karena pihak
rumah sakit kebingungan mencari tempat penampungan untuknya. Perawat di sana mengatakan bahwa panti-panti yang mereka carikan
tidak ada yang mau menampung Yanti.
Sebelum kami
membawa Yanti ke shelter, pihak rumah sakit mengatakan Yanti telah mencuri uang
sejumlah 400 riyal. Bagaimana mungkin seseorang yang menderita amnesia dapat
mencuri uang berjumlah 400 riyal? Padahal semua barang-barang milik
pasien dititipkan kepada perawat di sana .
Laporan yang diadukan perawat tersebut terdengar mustahil di telinga kami.
Sementara Yanti, merasa bahwa uangnya sejumlah 400 riyal itu
adalah miliknya yang tertinggal di rumah sakit. Pada hari Minggu, 22 Juni 2014, saat Yanti
meninggalkan rumah sakit, kepala perawat yang ia titipi uang tersebut tidak
masuk. Dengan alasan tersebut, maka Yanti tidak dapat memperoleh uangnya itu.
Ketika Yanti bertemu dengan kami di shelter, wajahnya tersungging senyum. "Kok bisa ke sini Mbak? Kan yang biasa datang ke rumah sakit," celetuknya riang. Dia masih ingat kami satu per satu. Yanti memang tak punya banyak cerita seperti Sri. Tetapi, dia mengungkapkan kepada kami bahwa dia lebih senang berada di Shelter Sahabat Insan
karena lebih bebas, daripada di rumah sakit yang hanya mengurungnya.
Sri dan Yanti
keduanya saling menghibur satu sama lain. Mereka membersihkan shelter, menonton
televisi, sesekali membantu memasak, atau menghibur diri dengan berfoto melalui ponsel yang dimiliki Sri. Kondisi
Sri memang jauh lebih baik, ketimbang Yanti.
Sri, anak tunggal asal Bima tersebut masih ingat perjalanan
panjang sampai akhirnya dapat kembali ke tanah air. Sri sebelumnya bekerja selama
1 tahun 3 bulan di Oman .
Dia melarikan diri dari rumah majikannya ke KBRI dibantu temannya. Seperti
kebanyakan buruh migran lainnya, dia tidak betah di rumah majikan karena
majikan perempuannya sangat galak, sedangkan majikannya yang laki-laki seringkali
mengganggunya. Akan tetapi, haknya berupa gaji tetap dibayar oleh majikan.
Itu adalah kali
kedua Sri bekerja. Sebelumnya, dia bekerja di Qatar selama 3 tahun. Waktu itu, Sri meninggalkan
anak perempuan satu-satunya di usianya yang baru 3 tahun. Kini, anaknya dirawat
oleh ayahnya. Usai bekerja di Qatar 3 tahun, Sri sempat pulang ke kampung halaman. Sri bercerita
bahwa tak lama sesampainya di rumah, dia dicerai oleh suaminya. Setelah urusan perceraian selesai, tak sampai 2 minggu berada di kampung halaman, Sri bermigrasi kembali untuk bekerja di Oman.
Cerita macam ini bukan pertama kali Sahabat Insan dengar. Banyak suami yang menceraikan para pekerja migran ketika mereka pulang. Bahkan ada dari suami mereka yang ternyata sudah menikah lagi. Salah satu alasan yang kerap dilontarkan karena mereka tidak mendapat kabar dari istrinya.
Cerita macam ini bukan pertama kali Sahabat Insan dengar. Banyak suami yang menceraikan para pekerja migran ketika mereka pulang. Bahkan ada dari suami mereka yang ternyata sudah menikah lagi. Salah satu alasan yang kerap dilontarkan karena mereka tidak mendapat kabar dari istrinya.
Sebelum sampai ke
Shelter Sahabat Insan, Sri sempat dirawat di rumah sakit yang sama seperti
Yanti. Sri mengaku sakit batuk pilek. Namun, jika hanya batuk pilek, tak
mungkin dia dirawat sampai 3 minggu. Menurut Mbak lili, Peduli Buruh Migran,
Sri dirawat karena sakit paru-paru.
Saat Sri bercerita,
ada beberapa kisah yang dia katakan terasa janggal. Beberapa kisah masih suka
berubah-ubah. Kami dapat memaklumi mengingat tekanan dan beratnya pekerjaan yang dulu dia alami, bekerja tanpa hari libur, perlakuan semena-mena majikan, jauh dari sanak keluarga dan kerabat. Setidaknya sekarang, kesehatannya sudah membaik. Melalui ceritanya
yang begitu bersemangat, lucu, dan tawanya, kami tahu bahwa perlahan-lahan Sri
berusaha untuk memulihkan dirinya sendiri.
Di akhir perjumpaan kami, Sri mengatakan bahwa dia tak ingin
lagi bekerja ke luar negeri, “Capek Mbak,” keluh Sri. Dia berharap di
kampungnya dia bisa mencari nafkah. Walaupun masih belum tahu pekerjaan apa yang dilakoninya nanti.