Saturday, August 23, 2014

Seminar Pendampingan Korban Trafiking

Pada hari Sabtu, 16 Agustus 2014, Sahabat Insan menghadiri seminar Pendampingan Korban Trafiking yang diselenggarakan oleh Jaringan Peduli Migran Keuskupan Agung Jakarta (JPM KAJ). Seminar yang dihadiri oleh sekitar 35 orang biarawati dan awam ini dilaksanakan di Gedung Karya Pastoral KAJ.  Tercatat hadir beberapa konggregasi seperti OP, Hati Kudus, ADM, Puteri Kasih, RGS, CB, SPM, JMJ, FMM, beberapa komunitas seperti ALMA, JPIC (Justice, Peace, and Integrity of Creation) MSC, dan JPIC OFM serta lembaga sosial seperti IOM (International Organization for Migration), dan Sahabat Insan.



Mengawali pertemuan, Suster Lia, RGS menjelaskan tentang sejarah singkat JPM KAJ. Suster Lia bertutur bahwa adanya komunitas ini diawali dengan diadakannya seminar pada tahun 2009 di Puncak yang dilanjutkan di Pondok Labu. Dari dua kali seminar, mereka sepakat untuk membentuk suatu jaringan untuk memperhatikan teman-teman migran yang berdatangan di berbagai konggregasi dan berasal dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri. Pada tahun 2010, dibentuklah Jaringan Peduli Kemanusiaan. Pada tahun 2012, saat KAJ mengundang semua Komisi Justice and Peace dari semua konggregasi yang ada di Jakarta untuk berkumpul, jaringan ini diubah menjadi Jaringan Peduli Migran.

Dalam kesempatan ini, Romo Andang, SJ selaku vikep KAJ ikut memberikan sambutannya. Beliau cukup surprised karena ternyata peserta seminar yang hadir melebihi kapasitas kursi yang disediakan. Namun, Romo berharap bahwa bukan jumlah yang membuat komunitas ini lebih bersemangat, tetapi lebih jauh karena keinginan untuk bahu membahu dan saling membantu. KAJ sebenarnya sudah memulai kegiatan ini sejak beberapa tahun yang lalu, dan para provinsial se-keuskupan juga sudah mendorong untuk meningkatkan pelayanan kepada kaum migran. Oleh sebab itu, KAJ tidak menambah komisi baru, namun hanya meningkatkan apa yang sudah dilakukan oleh para suster, dengan harapan akan terjadi peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan. Tujuan lainnya adalah terjadinya peningkatan jumlah mereka yang mau terlibat, sehingga selain konggregasi, kaum awam yang berminat diharapkan bisa ikut serta dalam pelayanan ini. Namun, beliau juga menekankan bahwa pelayanan yang dimaksud adalah khas KAJ, yang menitikberatkan untuk melayani di wilayah keuskupan ini saja. 

Setelah Romo Andang memimpin doa pembukaan, acara kemudian dilanjutkan dengan penyajian materi dari tiga orang pembicara yaitu: Nurul Qoiriyah dari Kantor Trafficking and Labour Migration IOM, Caecilia Widyaningtyas, S.Psi, seorang psikolog yang sering terlibat membantu dalam kegiatan-kegiatan sosial KAJ, dan Ibu Atik dari Kementerian Sosial, Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Bambu Apus. Acara dimoderatori oleh Wempy dari JPIC MSC.



Mengenal Trafiking, Kondisinya di Indonesia dan Cara Penanganannya 
oleh Nurul Qoiriyah (IOM)

Materi diawali dengan memperkenalkan secara singkat profil IOM, yang berdiri sejak tahun 1951 dan mulai berkarya di Indonesia sejak tahun 1979, dan sampai saat ini sudah melayani lebih dari 6000 pengungsi. 

Secara singkat, definisi perdagangan orang menurut Protokol Palermo (yang sudah diadopsi dalam hukum nasional Indonesia, yaitu UU TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang No. 21 tahun 2007) adalah kegiatan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan manusia, yang terdiri dari tiga komponen yang paling penting, yaitu:
  1. Kegiatan/proses/mobilisasi: di mana orang itu direkrut, ditampung, dipindahkan, ditransportasikan, dan lain sebagainya.
  2. Cara: melalui ancaman, penggunaan kekerasan, atau bentuk lain pemaksaan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan (lurah atas warganya, ibu ke anak, pejabat ke anak buah dll), posisi rentan, pemberian atau penerimaan pembayaran/manfaat.
  3. Tujuan: untuk mengeksploitasi, yang terbagi menjadi 3 jenis eksploitasi yaitu, tenaga, seksual, dan transplantasi penggunaan organ tubuh.  
Ketiga komponen di atas dijadikan dasar untuk menganalisa apakah suatu kasus yang didampingi adalah kasus trafiking atau bukan. Untuk dewasa, analisa harus meliputi tiga faktor di atas, sedangkan untuk kasus anak-anak, cukup dua hal, yaitu proses dan tujuan. Analisa ini diperlukan agar pelaku dapat dijerat dengan Undang-undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) sehingga hukumannya lebih berat, daripada UU Perlindungan Anak, UU Ketenagakerjaan atau UU No. 39/2004 tentang TKI, dan diwajibkan untuk memberikan kompensasi kepada korban. IOM kemudian menjabarkan kondisi trafiking di Indonesia dan juga seluruh dunia. Indonesia sendiri bukan hanya negara sumber, namun juga menjadi negara transit dan tujuan trafiking. Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang bebas dari kasus trafiking. IOM juga menjabarkan strategi untuk penanganan trafiking yaitu 5P (Prevention, Protection, Prosecution, Policy, dan Partnership).    


Pertolongan Pertama Secara Psikologis  – Psychological First Aid 
oleh Caecilia Widyaningtyas, S.Psi,  Relawan KAJ

Pada sesi ini dijelaskan tentang pentingnya pemberian bantuan awal secara psikologis untuk korban yang mengalami trauma (penyintas) dan panduan untuk para relawan menghadapi penyintas. Ibu Caecilia menekankan bahwa semua orang (tidak hanya psikolog) bisa memberikan penguatan dan dorongan secara psikologis kepada orang yang membutuhkannya. Diharapkan dengan memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu yang sederhana, relawan/pendamping dapat mengurangi dampak negatif dari pengalaman traumatis korban,  membuat keadaan diri penyintas menjadi lebih baik, dan mencegah terjadinya masalah psikologis serius. 

Bagaimana melakukan pertolongan pertama secara psikologis?
  1. Jalin komunikasi: mulai dengan sopan, dengarkan mereka, dan biarkan cerita mengalir sendiri dan tidak memaksa penyintas untuk bercerita. Hindari “Bisa bapak/ibu ceritakan papa yang terjadi?”, “Bagaimana perasaan Bapak/Ibu?”
  2. Berikan perlindungan: jauhkan dari bahaya/lokasi bencana/pemandangan yang traumatis. Sediakan tempat yang aman. Temani jika ia cenderung ingin melukai dirinya sendiri.
  3. Menenangkan: penyintas mungkin panik, kehilangan arah atau sulit mengendalikan emosi. Dengarkan dan berikan respon dengan kalimat menenangkan seperti: “Wajar kalau Bapak/Ibu marah”. “Kamu bisa menangis jika membuat kamu lebih tenang”. Kita juga bisa meminta penyintas untuk mengatur nafas, relaksasi atau mengajaknya beribadah.
  4. Penuhi kebutuhan praktisnya: berikan air minum/makanan, obati jika ia sakit/terluka, sediakan pakaian dan tempat untuk istirahat.
  5. Hubungkan dengan sumber dukungan sosialnya: jaga agar penyintas berada dalam keluarga/orang yang dapat ia percaya. Pertemukan kembali penyintas yang terpisah dengan keluarganya.
  6. Berikan informasi:  berikan informasi yang akurat mengenai hal yang ditakutkan. Katakan bahwa rasa sedih, marah, dan sebagainya setelah peristiwa yang dialaminya adalah wajar.
  7. Hubungkan dengan penyedia layanan, tentu kita tidak bisa memenuhi semua kebutuhan penyintas sendiri tetapi kita bisa memberikan informasi lembaga/penyedia layanan yang bisa memenuhi kebutuhan mereka akan makan/minum, pakaian, obat-obatan, tempat aman/istirahat atau lembaga rujukan masalah psikologis. 
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan:
  1. Berasumsi tentang pengalaman dan penghayatan penyintas.
  2. Berasumsi bahwa setiap penyintas akan mengalami trauma.
  3. "Patologisasi".
  4. Fokus pada ketidakberdayaan, kelemahan, kesalahan, ketidakmampuan penyintas.
  5. Berasumsi bahwa setiap penyintas ingin berbicara.
  6. Bertanya detil apa yang terjadi.
  7. Spekulatif atau memberikan informasi yang keliru. 
Pada akhirnya ditekankan juga bahwa proses penyembuhan trauma merupakan proses yang panjang, lama dan sulit sehingga dalam mendampingi penyintas, pendamping harus memahami dan siap terhadap berbagai macam reaksi penyintas, terutama reaksi negatif terhadap pendamping.


Pelayanan Pemerintah/Kementerian Sosial Untuk Korban Trafiking 
oleh Ibu Atik (RPTC Bambu Apus )

RPTC merupakan salah satu bentuk pelayanan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Sosial untuk orang-orang yang  benar-benar membutuhkan rumah perlindungan (misalnya untuk orang yang tidak diterima oleh lingkungannya, yang dalam kondisi tidak aman, yang sedang dalam proses mencari keadilan, dan kasus-kasus lainnya). Orang-orang yang membutuhkan perlindungan ini disebut klien. RPTC memiliki standar urutan pelayanan sebagai berikut:
  1. Menerima klien: dilakukan proses registrasi dengan rujukan dari Pemerintah, lembaga-lembaga atau pihak-pihak lain yang lokasinya dapat dijangkau.
  2. Pemenuhan kebutuhan dasar, seperti makan, minum, tempat tidur dan pakaian.
  3. Assessment, menentukan kondisi klien yang dirujuk sehingga dapat memberikan bantuan yang tepat sesuai dengan yang dibutuhkan.
  4. Bimbingan sosial baik secara individu/kelompok  dan bimbingan rohani.
  5. Pengisian waktu luang, misalnya dengan karaoke, pelatihan ketrampilan, dll.
  6. Pendampingan misalnya pendampingan kesehatan dan pendampingan hukum (biasanya bekerja sama dengan LBH, Polda, IOM, Migrant Care dll).
  7. Pemulangan ke tempat asal.
  8. Monitoring dan Evaluasi.
Ibu Atik menekankan bahwa pada dasarnya semua orang dalam kondisi apa pun yang membutuhkan rumah perlindungan, baik WNI, maupun orang asing dapat dirujuk ke RPTC. Begitu pula semua lembaga, baik pemerintah mau pun non-pemerintah dapat merujuk korban yang sedang didampinginya untuk tinggal sementara di RPTC. Tidak ada persyaratan khusus klien yang dapat dibantu di tempat ini. Hanya saja, klien tersebut harus dapat menyesuaikan diri dengan pelayanan yang diberikan oleh RPTC dan juga menjaga ketertiban dengan klien lain, sehingga tempat tersebut menjadi rumah yang nyaman ditinggali oleh korban yang sudah memiliki masalahnya sendiri-sendiri.


Implementasi Untuk JPM KAJ

Berdasarkan pemaparan materi oleh ketiga narasumber di atas, para peserta mulai mendiskusikan apa yang akan dibuat oleh JPM KAJ untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanannya sebagai tujuan mereka dibentuk.

Suster Anna, RGS mengawali diskusi ini dengan menyebutkan pelayanan yang selama ini sudah dilakukan oleh JPM, yaitu: menyediakan rumah singgah/ shelter Roxy yang saat ini dikelola oleh Sr. Magda, FMM, kunjungan ke ruang rawat jiwa RS Polri bersama Sahabat Insan, serta bimbingan rohani dan peningkatan ketrampilan untuk klien-klien beragama Kristen yang sedang tinggal di RPTC.

Untuk meningkatkan pelayanannya, perlu dipikirkan untuk melakukan hal lain yang lebih luas lagi agar nasib buruh migran di wilayah KAJ akan lebih baik dan diperhatikan. 
Moderator kemudian membantu untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang selama ini perlu diperbaiki, yaitu:
  1. Saat bertemu dengan korban yang membutuhkan pertolongan, pendamping tidak tahu rumah singgah/shelter mana yang bisa menampung atau siapa pihak yang bisa memberikan pertolongan yang tepat sesuai dengan kondisi korban.
  2. Pertolongan kepada korban sudah diberikan, tetapi belum ada upaya yang dilakukan agar korban tidak jadi korban lagi.  
  3. Belum adanya bekal ketrampilan dasar yang diberikan kepada para pendamping  untuk melayani korban.
  4. Perlunya mengubah gerakan ini bukan hanya sebatas gerakan kepedulian tetapi juga gerakan advokasi.
  5. Upaya untuk mencarikan lapangan kerja/menyalurkan para korban yang ingin mendapatkan pekerjaan setelah mereka pulih atau selesai kasusnya.
  6. Perlunya mematangkan materi pengetahuan tentang trafiking untuk Sekolah-sekolah Katolik di Jakarta.
Atas masalah-masalah tersebut, beberapa alternatif solusi yang muncul adalah:
  1. Mengaktifkan milis yang telah dibuat oleh Romo Benny Juliawan agar dapat berkomunikasi secara aktif di mana pun dan kapan pun tanpa harus bertatap muka, sehingga pembahasan suatu masalah akan lebih efektif.
  2. Membuka kemungkinan untuk bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang berkaitan dengan buruh migran seperti PJTKI, BNP2TKI, dan LSM lainnya.
  3. Tidak perlu terlalu definitif/kaku dalam membantu buruh migran. Yang dibantu tidak harus melulu soal korban trafiking/penyintas, tapi juga kasus-kasus buruh migran lain seperti penyelundupan, kekerasan, eksploitasi dan lain-lain walaupun itu bukan kasus trafiking.
  4. Menyelenggarakan  Training for Trainers, sehingga ilmu yang didapatkan bisa diturunkan secara terus menerus dan pendamping mendapatkan bekal dasar ketrampilan untuk mendampingi korban.
  5. Sosialisasi Trafiking dengan Komunitas Pengusaha Katolik (PUKAT) atau dengan tokoh-tokoh  antar agama dan dalam hal ini IOM bersedia menjembatani.
Akhirnya semua sepakat untuk membentuk tim kecil yang dapat lebih fokus membahas hal-hal ini agar rencana-rencana di atas dapat segera diimplementasikan.