Dalam konferensi internasional tentang migrasi tenaga kerja ini, penyelenggara mengundang lebih dari 125 peserta, termasuk para mitra Solidarity Center dari
serikat pekerja, asosiasi pekerja migran dan LSM, akademisi, para expert lain, wakil
pemerintah, dan lembaga donor dari sekitar 25 negara. Dengan keberagaman kelompok partisipan, diharapkan akan mendorong sebuah teori perubahan yang memberdayakan pekerja migran dan
para pendukung mereka untuk mempromosikan hak-hak politik, sosial dan ekonomi
pekerja migran dimana semua pekerja diperlakukan sama tanpa memandang status
atau kewarganegaraan; dan menyediakan respon-respon alternatif dan inovatif dan
bukan paradigma pembangunan yg dominan sekarang yang mempromosikan remitansi
daripada hak-hak pekerja migran.
Workshop dalam kelompok dan sesi-sesi pleno difokuskan pada topik-topik seperti reformasi rekrutmen tenaga kerja,
pengorganisasian pekerja migran, tantangan pendekatan transnasional, akses pada
keadilan, partisipasi politik, dan penggunaan teknologi.Konferensi ini juga menyoroti tentang hal yang seringkali terabaikan, yaitu biaya ekonomi, sosial dan psikologi yang harus ditanggung pekerja migran akibat migrasi, termasuk eksploitasi dan pelanggaran hak asasi manusia.
Seperti dikutip dari www.repubika.co.id, Direktur Eksekutif Solidarity Center Shawna Bader-Blau dalam kesempatan ini mengatakan bahwa konferensi ini diharapkan
dapat menjadi forum berbagi ide untuk menjawab tantangan dan persoalan buruh
migran di seluruh dunia. Solidarity Center mencatat, terdapat lebih dari 247
juta buruh di seluruh dunia. Mereka bermigrasi ke negara lain untuk mencari
kesejahteraan.
Lebih lanjut, Shawna berkata bahwa para buruh migran itu rawan eksploitasi. Besar kemungkinan mereka mendapat perlakuan buruk dari majikan, mengalami ketidakadilan pemberian upah, penganiayaan, hingga ancaman kematian. Belum lagi besarnya biaya rekrutmen yang ditarifkan oleh agen tenaga kerja di tempat asal mereka. Seolah-olah, hasil jerih payah buruh migran digunakan untuk membayar hutang uang tersebut. "Ini sama saja dengan perbudakan," kata Shawna.
Hasil yang telah didapatkan dalam pertemuan ini antara lain adalah: mendesak negara pengirim, negara penerima, dan negara transit untuk melindungi hak-hak buruh migran, khususnya para pekerja domestik. Selain itu, negara harus memperbaiki akses keadilan dan meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang pekerja domestik (PRT) yang rentan pelanggaran HAM. Forum juga mendorong negara pengirim buruh migran untuk mereformasi sistem rekrutmen, yakni meniadakan biaya penempatan migran ke luar negeri.
Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care, mengatakan akan segera membawa hasil konferensi ke pemerintahan Jokowi untuk ditindaklanjuti.