Sejak
akhir tahun 2014, pemerintah Indonesia sudah
menetapkan status darurat perdagangan manusia, salah satunya di wilayah Nusa Tenggara Timur
(NTT). Namun sampai hari ini,
tidak ada tindak lanjut yang signifikan atas penetapan status tersebut. Praktek
perdagangan manusia masih saja sering terjadi, dan usaha-usaha pencegahan yang
dilakukan terlihat tidak maksimal untuk mengatasi masalah ini.
Hal tersebut mendorong Kelompok Kerja Menentang Perdagangan
Manusia (Pokja MPM) melakukan pertemuan dengan berbagai pihak, antara
lain DPR, Kemenaker, dan lembaga-lembaga pemerhati TPPO di gedung Komnas Perempuan pada hari Senin, 25
April 2016, untuk melakukan diskusi dengan tema: Evaluasi Darurat Perdagangan Manusia di NTT.
Pokja MPM sendiri merupakan jaringan
yang terus mendorong untuk menghentikan perdagangan manusia. Hadir dalam
acara tersebut antara lain Ibu Magdalena Sitorus dan Sri Nurherwati dari Komnas
Perempuan, Wakil dari Kemenaker RI, Nurul Qoiriah dari IOM, wakil dari Komnas
HAM, dan Bapak Farry Djemi Francis dari DPR RI.
Menurut IOM (IOM
Counter-Trafficking database from 2005 to Desember 2015), situasi TPPO
di NTT adalah sebagai berikut:
· Mayoritas korban asal NTT adalah perempuan
berumur kisaran 16 – 45 tahun
· Bagi korban di bawah umur, dokumen perjalanan rata-rata
diproses di kota besar.
· Kebanyakan korban diming-imingi gaji sekitar IDR
750 ribu – IDR 2,5 Juta
· Keluarga dibujuk rayu oleh perekrut dengan
pemberian uang sirih pinang sebesar IDR 150 ribu – IDR 9 juta
· Sebagian besar korban berasal dari Kabupaten
Soe, Belu, Kupang, Manggarai Timur, Flores, Timur Tengah Selatan, Sabu Raijua,
dan Maumere
· Mayoritas korban perempuan dijanjikan bekerja di
sektor domestik di negara tetangga serta di kota-kota
besar.
· Dalam perjalanannya, mereka ditransitkan di
daerah seperti Kupang, Ruteng, Labuan Bajo, Surabaya, Jakarta, dan Batam
· Sementara untuk korban laki-laki dijanjikan dan
dieksploitasi di industri perkebunan.
Sedangkan situasi eksploitasi yang dialami korban rinciannya adalah:
· 79,61% Korban
tidak diberikan gaji yang dijanjikan
· Dokumen perjalanan
dan/atau dokumen identitas 76,77% korban ditahan oleh majikan atau agen
· 59,22% korban
tidak diberikan makan dan air minum yang layak
· 39,54% di antara
korban juga mengalami penjeratan hutang dan 37,6% dari mereka bekerja dalam
waktu yang sangat panjang (12 – 22 jam)
· 24,82% dari korban
juga sempat mengalami kekerasan fisik
· 7,6% mengalami
kekerasan seksual
· Dan bahkan 2,48%
mereka mengalami pemerkosaan pada saat kerja
Profil perekrutnya adalah sebagai berikut:
· 60,46% korban
direkrut oleh perekrut individual, calo ataupun tetangga
· 34,22% dari korban
direkrut melalui PPTKIS
· 4,8 % direkrut
oleh seseorang yang mereka kenal, seperti teman, anggota keluarga (orang tua /
suami/ istri)
· 0,18% dari korban
mengaku telah diculik dan dijerumuskan ke dalam situasi eksploitasi
Masih menurut IOM, tantangan dalam penanganan kasus TPPO di NTT adalah:
· Terbatasnya anggaran
untuk penanganan korban TPPO
· Dalam penanganan
kasus, kebanyakan aparat penegak hukum kurang sensitif dengan kondisi korban
· Ketidakseriusan
dalam proses penuntutan kasus-kasus TPPO
· Terbatasnya unit
layanan korban di tingkat pusat dan daerah
· Kurangnya komitmen
pemerintah dalam pencegahan dan penanganan TPPO
· Kurang
diprioritaskannya permasalahan TPPO oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/tidak
berfungsinya GTPP TPPO Provinsi dan belum adanya GT di tingkat kabupaten
· Kurangnya
koordinasi antar-intansi, baik antar-pemerintah, pemerintah dengan
non-pemerintah, serta antar-non-pemerintah
IOM sendiri mengapresiasi anggaran untuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPPPA) yang naik sampai 300%. Namun IOM juga mengkritisi, bahwa dana
sebanyak itu selama
ini sebagian besar hanya dipakai untuk seminar
dan training. IOM berharap bahwa ke
depannya dana tersebut akan banyak dialokasikan untuk kepentingan korban,
terutama selain untuk menuntaskan kasus mereka, juga mengembalikan kehidupan
sosialnya agar dapat menjalani hidup seperti semula
Masukan dari IOM, yang
perlu dilakukan pemerintah adalah
- Persamaan penanganan kasus.
Selama ini pemerintah terkesan tebang pilih. Kasus artis NM secara cepat dinyatakan sebagai TPPO, sedangkan kasus-kasus yang lain dengan korban yang jelas-jelas ada malah susah diproses.
- Mendorong adanya gugus tugas di kota/kabupaten. Data yang ada saat ini, dari 555 kota/kabupaten, hanya
166 yang memiliki gugus tugas. Itu pun
bisa berpotensi terjadi disfungsi, karena ada lembaga namun minim atau malah tanpa
ada kegiatan sama sekali. Jika masyarakat tidak memantau, maka fungsi itu tidak akan berjalan.
IOM juga mengatakan bahwa gugus tugas kalau masih dibawah
KPPPA, maka akan memiliki fungsi
yang terbatas.
Kasus perdagangan manusia yang masih segar dalam ingatan
kita dan masih dalam penanganan sampai saat ini adalah kasus Dolfina Abuk. Perempuan berusia 30 tahun asal Desa Kotafum Kecamatan Biboki Anlen Kab
Timor Tengah Utara, NTT ini bekerja di Malaysia
sejak akhir 2013, dan dipulangkan ke Kupang dalam keadaan tak bernyawa pada
awal April 2016. Ia dinyatakan meninggal oleh pihak Rumah Sakit di Malaysia
pada tanggal 7 April 2016. Padahal, sebulan sebelumnya, keluarganya mengatakan
bahwa Dolfina menghubungi mereka dengan gembira untuk memberitahukan bahwa masa
kontrak kerja telah selesai dan akan diantar ke agen. Kasus ini semakin misterius
karena saat keluarga membuka peti jenazahnya, keadaannya sangat menyedihkan
karena penuh jahitan. Tercatat jahitan ada di leher lingkar depan, lingkar
kepala bagian atas, lingkar belakang kepala,
serta jahitan panjang dari leher turun
ke perut hingga pangkal kemaluan.
Pada saat mulutnya dibuka, lidahnya juga tidak ada. Hidungnya berwarna biru belau, dan tubuhnya terlihat kempis seperti tidak ada isi dalam lagi. Menurut
Kuasa Hukum Dolfina, Adrianus Magnus
Kobesi SH dari Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Timor (PLBH Timor), Dolfina
berangkat dengan dokumen palsu, karena menggunakan KTP dan paspor beralamat di Atambua, Belu. Padahal ia
merupakan warga Biboki, Timor Tengah Utara. Ada beberapa fakta hukum lain yang
dipegang oleh PLBH Timor untuk memproses lebih lanjut kasus ini. Pihak
Pemerintah Daerah, Kepolisian dan Dinas terkait juga berkomitmen untuk
menyelidiki kasus ini secara tuntas.
Menurut narasumber
dari Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, walaupun aturan
yang memberikan perlindungan kepada warga sudah cukup baik, namun praktik TPPO masih kerap terjadi di Indonesia dan
NTT merupakan salah satu kawasan yang rawan. Kasus-kasus serupa
seringkali terus berulang karena lemahnya proses penegakan hukum. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas
Perempuan 2015, pengaduan kasus perdagangan orang yang diproses ke persidangan
di pengadilan tidak mencapai 10%. Di ranah (yang menjadi tanggungjawab) negara, CATAHU 2016
mencatat adanya 6
kasus lainnya dilaporkan terjadi di NTT antara lain kasus trafficking yang
menemui hambatan di kepolisian dan kasus penganiayaan oleh oknum polisi.
Ini menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan negara cenderung sedikit
dilaporkan. Padahal data kualitatif negara sebagai pelaku langsung atau melalui
pembiaran, muncul dengan berbagai bentuk. Sementara catatan Polda NTT, penanganan kasus masih di bawah 10% dan penanganan bagi korban
belum tercatat
Komnas Perempuan kemudian
memberikan 2 buah rekomendasi, yaitu 1) Perbaikan sistem migrasi tentang tata kelola bekerja ke luar negeri atau
daerah yang aman dari kerentanan korban TPPO; 2) Penegakan hukum yang serius dalam perlindungan
korban TPPO, perubahan sistem mekanisme penyidikan, penuntutan dan penghukuman
yang memutus mata rantai impunitas pelaku dan pemenuhan hak pemulihan bagi
korban.
Lebih lanjut, DPR seharusnya bisa mengatasi lemahnya penegakan hukum ini bersama-sama dengan pihak
lainnya, misalnya bisa lebih mendesak kepolisian
untuk melakukan reformasi di institusi. Selama ini tindakan yang banyak dilakukan bukan pencegahan, tetapi
pemulihan korban. Situasi yang membuat darurat adalah, pada saat proses penegakan hukumnya, yang diperhatikan hanyalah korban, bukan pelaku. Contoh yang nyata adalah kasus Wilfrida, yang selalu berulang dengan korban-korban lainnya. DPR wajib berdialog dengan semua pihak yang terkait, karena hukum untuk trafiking masih sangat mandul.
DPR sendiri dalam kesempatan
tersebut mengatakan bahwa komitmen dalam menangani perdagangan orang di
Indonesia dilakukan dalam dua cara:
- Melalui Fungsi Legislasi
(Produk Undang-Undang), dengan menjadikan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di
Luar Negeri sebagai RUU prioritas di tahun 2016 ini. Selain itu DPR juga telah
menyusun UU tahun 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang.
- Melalui Fungsi Pengawasan,
dengan memberikan rekomendasi kepada Kementerian dan Lembaga terkait, antara
lain: Kementerian Tenaga Kerja, BNP2TKI, Kementerian Luar Negeri, Badan
Nasional Pengelola Perbatasan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kepolisian RI.
Menurut DPR, saat ini Komisi VIII telah
berhasil meyakinkan pemerintah untuk menaikkan
anggaran Kementerian PP dan PA. Dalam pengajuan anggaran yang disampaikan,
tahun 2016 ini kementerian tersebut mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp 1,2
triliun.
Menutup pertemuan ini, Bapak Farry Djemi Francis dari DPR
menyatakan komitmennya untuk siap
memfasilitasi para pemerhati kasus TPPO
ini jika ingin bertemu
dengan pimpinan-pimpinan DPR untuk menyuarakan apa
yang sedang mereka perjuangkan, karena untuk bertemu DPR
secara formal ada 7 step yang harus dilalui. Sedangkan Bapak Gabriel dari Pokja MPM menyarankan untuk mendorong kembali usaha
peningkatan pelayanan terhadap kasus-kasus TPPO dengan pintu masuk dari kasus Dolfina Abuk di NTT. Kasus ini harus dikawal
penyelesaiannya agar jangan berhenti seperti yang banyak terjadi sebelumnya. Jika
kasus ini terkawal dengan baik, maka bisa menjadi jalan untuk kasus-kasus lain
agar bisa ditangani dengan maksimal.