Tuesday, May 24, 2016

Evaluasi Darurat Perdagangan Manusia

Sejak akhir tahun 2014, pemerintah Indonesia sudah menetapkan status darurat perdagangan manusia, salah satunya di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun sampai hari ini, tidak ada tindak lanjut yang signifikan atas penetapan status tersebut. Praktek perdagangan manusia masih saja sering terjadi, dan usaha-usaha pencegahan yang dilakukan terlihat tidak maksimal untuk mengatasi masalah ini.

Hal tersebut mendorong Kelompok Kerja Menentang Perdagangan Manusia (Pokja MPM) melakukan pertemuan dengan berbagai pihak, antara lain DPR, Kemenaker, dan lembaga-lembaga pemerhati TPPO di gedung Komnas Perempuan pada hari Senin, 25 April 2016, untuk melakukan diskusi dengan tema: Evaluasi Darurat Perdagangan Manusia di NTT. Pokja MPM sendiri merupakan jaringan yang terus mendorong untuk menghentikan perdagangan manusia. Hadir dalam acara tersebut antara lain Ibu Magdalena Sitorus dan Sri Nurherwati dari Komnas Perempuan, Wakil dari Kemenaker RI, Nurul Qoiriah dari IOM, wakil dari Komnas HAM, dan Bapak Farry Djemi Francis dari DPR RI.


Menurut IOM (IOM Counter-Trafficking database from 2005 to Desember 2015), situasi TPPO di NTT adalah sebagai berikut:
·    Mayoritas korban asal NTT adalah perempuan berumur kisaran 16 – 45 tahun
·    Bagi korban di bawah umur, dokumen perjalanan rata-rata diproses di kota besar.
·    Kebanyakan korban diming-imingi gaji sekitar IDR 750 ribu – IDR 2,5 Juta
·    Keluarga dibujuk rayu oleh perekrut dengan pemberian uang sirih pinang sebesar IDR 150 ribu – IDR 9 juta
·    Sebagian besar korban berasal dari Kabupaten Soe, Belu, Kupang, Manggarai Timur, Flores, Timur Tengah Selatan, Sabu Raijua, dan Maumere
·    Mayoritas korban perempuan dijanjikan bekerja di sektor domestik di negara tetangga serta di kota-kota besar. 
·    Dalam perjalanannya, mereka ditransitkan di daerah seperti Kupang, Ruteng, Labuan Bajo, Surabaya, Jakarta, dan Batam
·    Sementara untuk korban laki-laki dijanjikan dan dieksploitasi di industri perkebunan.


Sedangkan situasi eksploitasi yang dialami korban rinciannya adalah:
·    79,61% Korban tidak diberikan gaji yang dijanjikan
·    Dokumen perjalanan dan/atau dokumen identitas 76,77% korban ditahan oleh majikan atau agen
·    59,22% korban tidak diberikan makan dan air minum yang layak
·    39,54% di antara korban juga mengalami penjeratan hutang dan 37,6% dari mereka bekerja dalam waktu yang sangat panjang (12 – 22 jam)
·    24,82% dari korban juga sempat mengalami kekerasan fisik
·    7,6% mengalami kekerasan seksual
·    Dan bahkan 2,48% mereka mengalami pemerkosaan pada saat kerja


Profil perekrutnya adalah sebagai berikut:
·    60,46% korban direkrut oleh perekrut individual, calo ataupun tetangga
·    34,22% dari korban direkrut melalui PPTKIS
·    4,8 % direkrut oleh seseorang yang mereka kenal, seperti teman, anggota keluarga (orang tua / suami/ istri)
·    0,18% dari korban mengaku telah diculik dan dijerumuskan ke dalam situasi eksploitasi

Masih menurut IOM, tantangan dalam penanganan kasus TPPO di NTT adalah:
·    Terbatasnya anggaran untuk penanganan korban TPPO
·    Dalam penanganan kasus, kebanyakan aparat penegak hukum kurang sensitif dengan kondisi korban
·    Ketidakseriusan dalam proses penuntutan kasus-kasus TPPO
·    Terbatasnya unit layanan korban di tingkat pusat dan daerah
·    Kurangnya komitmen pemerintah dalam pencegahan dan penanganan TPPO
·    Kurang diprioritaskannya permasalahan TPPO oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/tidak berfungsinya GTPP TPPO Provinsi dan belum adanya GT di tingkat kabupaten
·    Kurangnya koordinasi antar-intansi, baik antar-pemerintah, pemerintah dengan non-pemerintah, serta antar-non-pemerintah


IOM sendiri mengapresiasi anggaran untuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang naik sampai 300%. Namun IOM juga mengkritisi, bahwa dana sebanyak itu selama ini sebagian besar hanya dipakai untuk seminar dan training. IOM berharap bahwa ke depannya dana tersebut akan banyak dialokasikan untuk kepentingan korban, terutama selain untuk menuntaskan kasus mereka, juga mengembalikan kehidupan sosialnya agar dapat menjalani hidup seperti semula

Masukan dari IOM, yang perlu dilakukan pemerintah adalah 
-     Persamaan penanganan kasus. Selama ini pemerintah terkesan tebang pilih. Kasus artis NM secara cepat dinyatakan sebagai TPPO, sedangkan kasus-kasus yang lain dengan korban yang jelas-jelas ada malah susah diproses.
-     Mendorong adanya gugus tugas di kota/kabupaten. Data yang ada saat ini, dari 555 kota/kabupaten, hanya 166 yang memiliki gugus tugas. Itu pun bisa berpotensi terjadi disfungsi, karena ada lembaga namun minim atau malah tanpa ada kegiatan sama sekali.  Jika masyarakat tidak memantau, maka fungsi itu tidak akan berjalan.

IOM juga mengatakan bahwa gugus tugas kalau masih dibawah KPPPA, maka akan memiliki fungsi yang terbatas.

Kasus perdagangan manusia yang masih segar dalam ingatan kita dan masih dalam penanganan sampai saat ini adalah kasus Dolfina Abuk.  Perempuan berusia 30 tahun asal Desa Kotafum Kecamatan Biboki Anlen Kab Timor Tengah Utara, NTT ini bekerja di Malaysia sejak akhir 2013, dan dipulangkan ke Kupang dalam keadaan tak bernyawa pada awal April 2016. Ia dinyatakan meninggal oleh pihak Rumah Sakit di Malaysia pada tanggal 7 April 2016. Padahal, sebulan sebelumnya, keluarganya mengatakan bahwa Dolfina menghubungi mereka dengan gembira untuk memberitahukan bahwa masa kontrak kerja telah selesai dan akan diantar ke agen. Kasus ini semakin misterius karena saat keluarga membuka peti jenazahnya, keadaannya sangat menyedihkan karena penuh jahitan. Tercatat jahitan ada di leher lingkar depan, lingkar kepala bagian atas, lingkar belakang kepala, serta jahitan panjang dari leher turun ke perut hingga pangkal kemaluan. Pada saat mulutnya dibuka, lidahnya juga tidak ada. Hidungnya berwarna biru belau, dan tubuhnya terlihat kempis seperti tidak ada isi dalam lagi. Menurut Kuasa Hukum Dolfina, Adrianus Magnus Kobesi SH dari Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Timor (PLBH Timor), Dolfina berangkat dengan dokumen palsu, karena menggunakan KTP dan paspor beralamat di Atambua, Belu. Padahal ia merupakan warga Biboki, Timor Tengah Utara. Ada beberapa fakta hukum lain yang dipegang oleh PLBH Timor untuk memproses lebih lanjut kasus ini. Pihak Pemerintah Daerah, Kepolisian dan Dinas terkait juga berkomitmen untuk menyelidiki kasus ini secara tuntas.

Menurut narasumber dari Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, walaupun aturan yang memberikan perlindungan kepada warga sudah cukup baik, namun praktik TPPO masih kerap terjadi di Indonesia dan NTT merupakan salah satu  kawasan yang rawan. Kasus-kasus serupa seringkali terus berulang karena lemahnya proses penegakan hukum. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2015, pengaduan kasus perdagangan orang yang diproses ke persidangan di pengadilan tidak mencapai 10%. Di ranah (yang menjadi tanggungjawab) negara, CATAHU 2016 mencatat adanya  6 kasus lainnya dilaporkan terjadi di NTT antara lain kasus trafficking yang menemui hambatan di kepolisian  dan  kasus  penganiayaan oleh oknum polisi. Ini menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan negara cenderung sedikit dilaporkan. Padahal data kualitatif negara sebagai pelaku langsung atau melalui pembiaran, muncul dengan berbagai bentuk. Sementara catatan Polda NTT, penanganan kasus masih di bawah 10% dan penanganan bagi korban belum tercatat

Komnas Perempuan kemudian memberikan 2 buah rekomendasi, yaitu 1) Perbaikan sistem migrasi tentang tata kelola bekerja ke luar negeri atau daerah yang aman dari kerentanan korban TPPO; 2) Penegakan hukum yang serius dalam perlindungan korban TPPO, perubahan sistem mekanisme penyidikan, penuntutan dan penghukuman yang memutus mata rantai impunitas pelaku dan pemenuhan hak pemulihan bagi korban.

Lebih lanjut, DPR seharusnya bisa mengatasi lemahnya penegakan hukum ini bersama-sama dengan pihak lainnya, misalnya bisa lebih mendesak kepolisian untuk melakukan reformasi di institusi.  Selama ini tindakan yang banyak dilakukan bukan pencegahan, tetapi pemulihan korban. Situasi yang membuat darurat adalah, pada saat proses penegakan hukumnya, yang diperhatikan hanyalah korban, bukan pelaku. Contoh yang nyata adalah kasus Wilfrida, yang selalu berulang dengan korban-korban lainnya. DPR wajib berdialog dengan semua pihak yang terkait, karena hukum untuk trafiking masih sangat mandul.

DPR sendiri dalam kesempatan tersebut mengatakan bahwa komitmen dalam menangani perdagangan orang di Indonesia dilakukan dalam dua cara:
-    Melalui Fungsi Legislasi (Produk Undang-Undang), dengan menjadikan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri sebagai RUU prioritas di tahun 2016 ini. Selain itu DPR juga telah menyusun UU tahun 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
-    Melalui Fungsi Pengawasan, dengan memberikan rekomendasi kepada Kementerian dan Lembaga terkait, antara lain: Kementerian Tenaga Kerja, BNP2TKI, Kementerian Luar Negeri, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kepolisian RI.


Menurut DPR, saat ini Komisi VIII telah berhasil meyakinkan pemerintah untuk menaikkan anggaran Kementerian PP dan PA. Dalam pengajuan anggaran yang disampaikan, tahun 2016 ini kementerian tersebut mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp 1,2 triliun.

Menutup pertemuan ini, Bapak Farry Djemi Francis dari DPR menyatakan komitmennya untuk siap memfasilitasi para pemerhati kasus TPPO ini jika ingin bertemu dengan pimpinan-pimpinan DPR untuk menyuarakan apa yang sedang mereka perjuangkan, karena untuk bertemu DPR secara formal ada 7 step yang harus dilalui. Sedangkan Bapak Gabriel dari Pokja MPM menyarankan untuk mendorong kembali usaha peningkatan pelayanan terhadap kasus-kasus TPPO dengan pintu masuk dari kasus Dolfina Abuk di NTT. Kasus ini harus dikawal penyelesaiannya agar jangan berhenti seperti yang banyak terjadi sebelumnya. Jika kasus ini terkawal dengan baik, maka bisa menjadi jalan untuk kasus-kasus lain agar bisa ditangani dengan maksimal.