Pada kunjungan ke Vietnam dalam rangka pertemuan jaringan lembaga pemerhati buruh migran se-Asia Pasific (JCAP Migration Network Gathering), Ibu Astuti sebagai wakil dari Sahabat Insan berkesempatan untuk mengunjungi kedua restoran yang inspiratif, karena didirikan bukan hanya untuk kepentingan bisnis semata, namun juga sarat dengan misi sosial.
Restoran pertama adalah milik Mr. Francis. Beliau lahir dari sebuah keluarga miskin di Vietnam. Tak ingin kemiskinan terus membelenggunya, ia memutuskan untuk bermigrasi ke negara-negara di Eropa untuk meraih kehidupan yang lebih baik dan memperdalam ilmu dan pengalaman di bidang kuliner sebagai koki (chef). Usahanya tidak sia-sia. Di Eropa, ia menjadi seorang koki yang sukses dan pernah bekerja di berbagai hotel bintang lima di berbagai negara. Sebuah rumah di Jerman yang didiami bersama istri dan kedua anaknya juga berhasil ia miliki. Namun saat menginjak usia 50-an, ia merasa sudah cukup bekerja untuk dirinya sendiri dan memutuskan untuk kembali ke negara asalnya dan membaktikan dirinya untuk kepentingan mereka yang tidak mampu. Tentu saja melalui bidang yang telah dikuasainya, yaitu kuliner.
Mr. Francis kemudian memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak yang memiliki bakat, minat dan ingin menekuni profesi sebagai koki. Syaratnya, mereka harus bisa memberikan Surat Keterangan Miskin dari pemerintah setempat. Setiap tahun, Mr. Francis mendidik 30 anak di setiap semester, dan menanggung seluruh biayanya yang meliputi biaya pendidikan (termasuk buku,alat tulis, seragam), biaya hidup sehari-hari dan keperluan pribadi anak (tempat tinggal, makan minum dan kebutuhan harian). Pendidikannya sendiri berlangsung selama dua tahun, terdiri atas pendidikan memasak pada tahun pertama, dan dilanjutkan dengan Cara Penyajian dan Bahasa Inggris pada tahun kedua. Pendidikan ditutup dengan Kerja Praktek, dimana anak-anak didik tersebut dilatih bekerja di dunia nyata melalui magang di hotel-hotel bintang empat. dan dihadapkan langsung dengan atasan, majikan dan juga pelanggan. Setelah mereka lulus, Mr. Francis akan menyalurkan mereka ke hotel bintang 5 yang mulai tumbuh banyak di Vietnam
Mr. Francis mengakui, bahwa apa yang dilakukannya ini tidak mudah. “Memang bukan itu yang saya cari”, tegasnya. Memilih dan menentukan siapa yang patut dan pantas ditolong, itu sangat menyakitkan. “Di antara banyak anak muda yang berkeinginan dan tidak mampu itu, saya harus memilih 30 anak yang tepat, karena terbatasnya kemampuan yang saya miliki dan juga masalah tempat. Selain itu, saya harus mengatur waktu untuk mengajar mereka dan mencari tenaga-tenaga pengajar yang berkualitas agar mereka menjadi mahir dan teruji”. Untuk memenuhi kebutuhan itu, Mr. Francis telah menjalin kerjasama dengan sebuah institusi pendidikan memasak yang cukup terkenal di Jerman agar anak didiknya mendapatkan sertifikasi dari lembaga tersebut dan diakui dimanapun mereka nanti bekerja. .
Tidak hanya masalah tempat dan biaya yang dihadapi oleh Mr. Francis dari waktu ke waktu, namun juga masalah keluarga yang sering memaksa anak didiknya bekerja untuk membantu ekonomi keluarganya yang miskin, karena selama proses belajar, mereka tidak memberi kontribusi finansial kepada keluarga masing-masing. Untuk mengatasi masalah tersebut, Mr. Francis mencari donatur untuk sedikit membantu keluarga itu hingga anaknya lulus, bekerja dan mendapatkan penghasilan untuk keluarganya. Mr. Francis juga berurusan dengan pajak yang tidak sedikit, dan juga sering diperiksa oleh pihak berwenang karena banyaknya anak muda yang berkumpul di situ.
Mr. Francis menyadari bahwa program ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk itulah restoran tersebut didirikan, yaitu untuk menunjang biaya operasional kegiatan sosial ini. Selain itu, Mr. Francis juga mengharapkan bantuan dari mereka yang telah lulus dan bekerja untuk memberikan donasi selama 15 tahun terhitung sejak mereka mulai memiliki penghasilan. Namun ia tidak menentukan berapa sumbangan yang harus diberikan, karena sadar bahwa kepentingan keluarga harus tetap dinomorsatukan. Mr. Francis juga mengajak teman-temannya di Jerman yang sebagian besar sudah pensiun, untuk datang membantu mengajar di Vietnam selama tiga bulan. Jangka waktu tiga bulan ini dimaksudkan agar masing-masing temannya dapat membantu dengan nyaman, tanpa perlu disusahkan dengan berbagai perijinan untuk bekerja dan tinggal di Vietnam, dan hanya sebagai turis. Sekalipun berganti-ganti pengajar, namun dipastikan bahwa pelajaran yang diterima oleh anak didik tetap berkesinambungan sebab telah tersedia garis besar materi pengajaran yang harus diberikan.
Memberi harapan baru pada 30 keluarga setiap awal semester dan memberi hidup baru bagi 30 anak didik setiap akhir semester, adalah pencapaian dari perjuangan bersama Mr. Francis dan anak didiknya.
Pelajaran yang dapat diambil dari kisah Mr. Francis Ini adalah:
- perbuatan baik membutuhkan komitmen untuk keluar dari kenyamanan pribadi;
- perbuatan baik membutuhkan perencanaan dari hilir ke hulu tanpa menghilangkan atau meminimalkan kesulitan;
- perbuatan baik harus dilakukan bersama-sama dan
- perbuatan baik haruslah mengenai hal yang kita kuasai
Restoran lainnya, memiliki kisah yang tak kalah menarik. Ada dua keistimewaan restoran ini, yaitu mereka tidak hanya mempekerjakan pekerja yang ‘normal’ secara fisik, namun juga para penyandang tunarungu, serta menetapkan tarif yang murah untuk semua hidangan yang tersedia. Dibawah ini Ibu Astuti menceritakan kisahnya saat mengunjungi restoran tersebut.
Pagi itu kami memasuki ruangan yang harum, bersih dan asri. Kami disambut oleh beberapa pramusaji, yang tersenyum lebar dan mengangguk dengan sopan, mempersilahkan kami masuk dan mengambil tempat duduk. Suasana tenang dengan alunan musik dari tape, mengiringi perbincangan kami pagi itu diselingi suara sendok dan garpu yang menggesek piring. Tidak terlalu terburu-buru, para pramusaji dengan ramah menyerahkan daftar menu dan mendatangi kami satu-persatu, kemudian mencatat pesanan kami. Tidak ada yang aneh di restoran itu hingga saya mulai memperhatikan tidak seorang pun pramusaji di sana yang berbicara dengan temannya, bahkan untuk sekedar minta tolong sekali pun. Tertangkap mataku, di sudut ruangan, dua di antara mereka berbicara dengan membuka mulut dan bersuara pelan sambil menggerak-gerakkan tangannya. Luar biasa...!!! Saya baru menyadari bahwa mereka adalah para penyandang tunarungu. Saat ada beberapa dari kami yang menanyakan jenis hidangan yang tertera pada buku menu yang diberikan, pramusaji tersebut memanggil rekannya yang mampu berbicara untuk membantu menjelaskan. Kami cepat terlayani dan merasa puas dengan makanan dan kopi yang nikmat serta layanan yang ramah.
Saat kami menanyakan, mengapa banyak tunarungu yang diperkerjakan di sini, kami mendapatkan jawaban yang mengagumkan. “Mengapa tidak? Mereka sangat berkualitas, dapat melayani dengan baik.” jelas salah satu pegawai restoran tersebut. Memang ada kesengajaan untuk menerima mereka bekerja di tempat itu, karena mereka kurang mendapat perhatian dan menjadi laskar tak berguna sehingga perlu pertolongan agar mereka mendapat hak yang sama seperti yang warga lainnya; dan pertolongan itu menyangkut banyak hal.
Setelah kenyang dan nyaman, kami dibawa ke toko yang menjual berbagai jenis makanan/buah kering yang tidak jauh dari restoran dan kami mendapati bahwa pemilik toko sekaligus produser makanan itu adalah pemilik restoran tadi. Kami tidak menemukan pekerja tunarungu di toko ini walau tetap disambut dengan tidak kalah ramahnya. Karena kami mendapat bocoran bahwa keuntungan usaha makanan/buah kering ini selalu disisihkan untuk usaha restoran itu, maka kami berbelanja sebagai wujud dukungan dan penghargaan kami.
Setelah dari resto itu, beberapa dari kami pergi ke sebuah sekolah tuna rungu. Murid yang belajar di situ mulai dari tingkat play group sampai SMA. Gedung sekolah tersebut merupakan gedung tua, dengan semua bagian yang serba tua. Ternyata hal itu disebabkan karena mereka tidak mendapat perhatian pemerintah dan menjadi 'terbuang & tidak berguna'. Murid-murid belajar di sekolah sejak jam 06.30 sampai jam 17.00. Banyak yang harus diajarkan kepada mereka, terutama untuk meningkatkan kesadaran bahwa mereka berharga dan harus mampu mandiri. Murid-murid juga belajar menanam di pot untuk menyaksikan sendiri bahwa Tuhan mencinta dan menumbuhkan, serta memberi masa depan asal mereka berusaha keras. Makan siang disediakan di sekolah walau pun sangat sederhana & relatif sedikit. Dalam kesempatan tersebut, Sang Ketua Kelas mengucapkan terima kasih akan kedatangan kami dan mendoakan kebahagiaan, kesehatan dan kesuksesan. Sangat mengharukan dan merasakan sungguh Tuhan sangat baik.
Entah mengapa, kami mengakhiri kegiatan hari itu dengan mendatangi restoran yang sama, sekedar menikmati makan malam dalam keramahan mereka. Tidak terlalu banyak tamu yang menikmati makan malam disana, lebih banyak yang menikmati kopi sambil bercakap-cakap.
Perlakuan yang sama kami peroleh, pandangan ramah dan senyuman, pelayanan yang cepat dan makanan yang nikmat. Puas dengan makan malam, kami meminta bon dan terkejut melihat angka yang tertera, Dalam hati kami bertanya, apakah tidak salah? Harga itu kurang dari setengah harga yang kami dapati di restoran lain. Ini juga merupakan keistimewaan dari restoran ini, yang tidak hanya mengejar keuntungan semata. Akhirnya kami menyerahkan pembayarannya yang disambut senyum lebar sang pramusaji.
Malam semakin larut dan kami meninggalkan tempat itu dengan melalui meja dimana mereka berkumpul, bercengkerama dan bercakap-cakap dalam keheningan. Sungguh suatu malam yang ceria dalam temaram cahaya bulan purnama.
Kesimpulan/garis merahnya :
Menanggapi kedua kisah di atas, Romo Ismartono mengatakan bahwa dengan contoh-contoh nyata yang kita temui, kita semakin melihat bahwa:- Perbuatan baik berjalan sejajar dengan usaha dalam kehidupan.
- Perbuatan baik akan berhasil dengan persetujuan dan kerelaan dari orang-orang yang mendapat perbuatan baik itu.
- Tidak perlu malu melakukan perbuatan baik.
- Kegiatan cinta kasih untuk mereka yang kurang/tidak beruntung menjadi ungkapan iman.
- Kata-kata Yesus dalam Yoh 12:8, mengundang kita untuk cermat dan teliti karena mungkin kita melihat orang miskin, tetapi tidak melihat Yesus yang tersembunyi di dalamnya, maka
- Mt 25: 31-46 merupakan penegasan bahwa Yesus menyamakan diri dengan bersembunyi di dalam mereka.