International Organization for Migration (IOM) Indonesia bersama Nexus
Institute, dengan dukungan dari Kedutaan Amerika di Indonesia
menyelenggarakan Peluncuran Bersama “Buku Panduan” dan
“Direktori” tentang layanan bagi saksi dan/atau korban Tindak Pindana
Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia. Peluncuran kedua buku ini dilakukan hari Jumat 29 April 2016 di @america Pacific Place, Jakarta Selatan.
Buku "Panduan Mekanisme Pelayanan Saksi Dan/Atau Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang di Indonesia", diterbitkan oleh IOM bekerja sama
dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia (KPPPA) selaku Sekretariat Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan
TPPO Pusat. Buku ini berisi:
- Dasar Hukum
Perlindungan Korban TPPO,
- Cara
Mendampingi Saksi dan/atau Korban TPPO, dan
- Data-data lembaga penyedia layanan bagi saksi dan/atau korban TPPO yang ada di Indonesia maupun luar negeri.
Sedangkan buku 'Direktori
Layanan untuk Korban Perdagangan Orang dan Pekerja Migran Indonesia Yang
Mengalami Eksploitasi" diterbitkan oleh Nexus Institute bekerja sama
dengan Kementerian Sosial dan KPPPA. Nexus Institute merupakan lembaga
yang berfokus pada studi HAM dan kebijakan, yang berfokus di Washington. Namun
beberapa tahun terakhir mereka memperoleh bantuan dari Kedutaan Amerika untuk
melaksanakan program yang ada di Indonesia. Selain direktori yang memuat
layanan-layanan terkait TPPO, dalam buku ini juga ditambahkan daftar layanan
yang bisa dihubungi untuk pekerja migran dan orang miskin dan kelompok
rentan.
Kedua perangkat bantu tersebut disusun dan diterbitkan dengan harapan agar masyarakat terutama korban dan pendamping, termasuk organisasi masyarakat sipil mendapatkan informasi lebih lengkap tentang ketersediaan unit-unit layanan yang dapat memberikan bantuan bagi korban dan bagaimana mengakses layanan tersebut.
Pada peluncuran bersama ini, juga diselenggarakan “Diskusi Publik” dengan tema “Komitmen Bersama Dalam Mewujudkan Pemberian Layanan Kepada Korban Secara Sinergis.” Pada kesempatan ini dibahas tentang bagaimana mewujudkan komitmen dan sinergi antar lembaga, baik pemerintah ataupun non-pemerintah agar layanan dapat diakses secara maksimal.
Mengawali acara
tersebut, Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Bryan
McFeeters, dalam sambutannya mengatakan bahwa bagi Amerika, trafiking
merupakan salah satu isu pelanggaran hak asasi manusia yang paling mendesak
dewasa ini. Perdagangan orang adalah masalah yang memerlukan niat politik yang
sungguh-sungguh, untuk memastikan bahwa hukum telah ditegakkan bagi masyarakat
yang lemah dan rentan, selain juga memerlukan kerangka hukum untuk melindungi
para korban dan mengadili para pelakunya. Dari segi hukum memang harus ada
penegakan hukum yang kuat, tapi hari ini dibahas dari segi lain, yaitu harus
ada informasi untuk publik dan pejabat.
Bryan McFeeters kemudian mengutip apa yang dikatakan oleh Menteri Luar Negeri USA John Kerry, keadilan bagi korban perdagangan orang bukan hanya sekedar memiliki hukum yang tertulis, tetapi juga harus didukung dengan sumber daya, strategi dan aksi sehingga bisa memberikan hasil yang tepat. Dan acara ini penting karena membicarakan aksi yang tepat untuk membantu korban trafiking. Ini adalah satu upaya untuk menjembatani antara penyedia layanan dan korban. Pemerintah US sangat berkenan untuk mendukung program ini dan berharap usaha ini bisa membantu warga negara Indonesia di mana pun mereka berada, khususnya untuk mendapatkan manfaat dari beragam pilihan bantuan yang tersedia untuk mereka.
Sementara ibu Ida
Mae dari IOM mengatakan, TPPO memberikan sebuah ancaman yang sangat besar
bagi WNI dan juga bagi pekerja asing yang ada di Indonesia. IOM Indonesia
sendiri telah memberikan bantuan kepada 8515 korban perdagangan orang baik WNI
maupun WNA yang memang diperdagangkan di Indonesia. Selain bantuan berupa
kebutuhan dasar, IOM juga memberikan bantuan reintegrasi.
IOM Indonesia telah
bekerjasama dengan berbagai mitra, baik mitra pemerintah dan non pemerintah,
dalam mengimplementasikan strategi 5P yg terdiri dari pencegahan, kebijakan,
penuntutan, perlindungan korban dan kemitraan. Upaya dan komitmen dari
pemerintah Indonesia sudah luar biasa, dengan mengesahkan UU untuk
pemberantasan TPPO, pendirian dan penggerakan gugus tugas perdagangan orang
secara nasional, dan dengan disusunnya rencana aksi nasional untuk TPPO.
Mekanisme perlindungan bagi TPPO sebenarnya sudah tersedia. Namun dengan adanya
kerjasama erat yang diusung oleh berbagai pihak, diharapkan
ketersediaan layanan tersebut bisa diakses secara maksimal oleh korban TPPO.
Hal tersebut adalah spirit utama yang digaungkan di acara peluncuran buku
panduan ini, yang ditargetkan terutama untuk digunakan oleh penyedia
layanan dalam mengakses bantuan untuk saksi dan korban TPPO. Buku ini
merupakan alat yang praktis untuk digunakan bagi para target pembaca, dalam
memperoleh pengertian dan informasi terkait lingkup perlindungan berdasarkan UU
dan peraturan yang telah diatur oleh pemerintah Indonesia. Bagian terakhir
dalam buku ini menyajikan direktori untuk siapa saja dan layanan apa saja yang
dapat diberikan oleh institusi-institusi untuk dapat memudahkan akses terhadap
layanan tersebut. Dengan penyusunan dan akan didistribusikannya 500 buku
panduan ini, terutama di area Jakarta dan Jawa Barat, diharapkan dapat
mendorong peningkatan pelayanan kepada korban TPPO dan diharapkan juga dapat
digunakan dalam skala nasional. IOM pada kesempatan tersebut berterima kasih
kepada Ibu Sri Danti Anwar (Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak) beserta para staf yang terlibat atas kontribusi dan
masukannya dalam penyusunan buku ini.
Selanjutnya, Rebbeca
Surtees, program manager dan senior officer Nexus Institute
mengatakan bahwa kedua buku ini sangat komplementer satu sama lain.
Melalui buku ini, Nexus telah mendorong proses reintegrasi, karena di
dalamnya ada banyak sekali informasi tentang layanan yang bisa dimanfaatkan
baik oleh korban trafiking, pekerja migran, serta masyarakat sosial yang
mengalami kekurangan. Selama ini, walau sudah banyak layanan yang disediakan
oleh Pemerintah RI, namun banyak korban yang tidak tahu bagaimana cara
mengaksesnya jika mereka membutuhkannya. Buku ini akan membantu mereka memenuhi
kebutuhan tersebut, bukan hanya terbatas pada korban, namun juga
lembaga-lembaga pendamping mereka.
Menutup rangkaian
sambutan pada acara tersebut, Dr. Sudjatmiko, M.A, Deputi Bidang Koordinasi
Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan, mengatakan bahwa kasus perdagangan orang sudah
menjadi masalah yang besar. Masalah ini sudah memiliki derajat yang sama
bahayanya dengan kejahatan lintas negara lainnya, yaitu korupsi, terorisme, dan
narkoba. Ini sudah menjadi bahaya bagi dunia dan bagi Indonesia. Kalau dulu
Indonesia hanya sebagai negara transit, maka sekarang sudah menjadi negara
sumber dan tujuan. Sebenarnya Indonesia sudah memiliki perangkat
perundang-undangan yang lengkap, namun kasus malah semakin meningkat,
karena mafia makin banyak dan metode makin bervariasi, sehingga
Pemerintah berharap bisa mengatasi masalah ini sebaik-baiknya dengan menjalin
kerjasama dengan berbagai pihak. Kedua buku ini diharapkan bisa memenuhi hal
tersebut. Pemerintah sendiri sudah memiliki wacana untuk membentuk
sebuah badan khusus tentang perlindungan dan pencegahan TPPO seperti halnya
BNPT, KPK, dan BNN.
Dr. Sujatmiko kemudian secara resmi meluncurkan kedua buku panduan tersebut dan secara simbolik menyerahkannya kepada Sr. Katarina, FSGM dan Ketua Umum SBMI, Hariyanto.
Acara kemudian
dilanjutkan dengan diskusi publik dengan pembicara Bapak Fajar Nuradi
(Kasubdit Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesa, Direktorat Perlindungan
WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri
RI); Bapak Ahmad Sahidin (Staf Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna
Sosial dan Korban Perdagangan Orang Kementerian Sosial RI); Bapak Budi
Prabowo (Asisten Deputi TPPO Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak);
dan AKBP Julianto Sirait (Kepala Satgas Unit Trafiking Direktorat Tindak
Pidana Umum Bareskrim Kepolisian RI).
Secara umum, semua
pemateri mengakui bahwa hukum di Indonesia sudah sangat lengkap dalam
melindungi warganya agar tidak menjadi korban perdagangan manusia. Pemerintah
sudah menangani kasus TPPO ini secara serius dengan meratifikasi UU Palermo dan
diterbitkannya UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang. Namun program yang sudah dijalankan belum mampu mencegah,
dan kebanyakan hanya menangani korban yang sudah berjatuhan.
Pihak Kepolisian
sendiri, selalu bertindak dengan respon yang berbasis HAM dan
mendahulukan kepentingan korban. Menurut catatan Kepolisian, selama tahun 2005-2009
sebanyak 3339 orang telah teridentifikasi sbg korban trafiking.
Dalam melaksanakan penyidikan TPPO, ada hak-hak yang harus dihormati dan
dijunjung tinggi, misalnya hak mendapatkan pendampingan di sidang, mendapatkan
informasi sampai sejauh mana kasus-kasus yg melibatkan orang-orang tersebut
ditangani, tidak pernah menempatkan tersangka dan korban dalam ruang yang sama,
kepentingan terbaik untuk anak (jika korbannya adalah anak), kerahasiaan,
sampai perlindungan saksi dan korban.
Sedangkan Kemenlu menyatakan bahwa semua perwakilan RI di luar negeri terutama yang memiliki kasus TPPO yang tinggi sudah diberikan panduan untuk memberikan perlindungan sesuai protokol Palermo. Dari berbagai kasus, penyelesaiannya berada dalam kisaran 50% karena terkendala sistem yang diberlakukan di negeri tersebut. Namun, Kemenlu secara aktif mencoba untuk membuat MoU ke berbagai negara, terutama dengan negara-negara yang memiliki kasus TPPO terbesar. Saat ini Indonesia sudah memiliki MoU dengan Uni Emirat Arab sebagai negara dengan jumlah kasus terbesar, karena Pemerintah mereka sangat mendukung untuk berkomitmen dalam hal ini. Selanjutnya Kemenlu akan melakukan penjajagan dengan Malaysia dan Bahrain.
Menanggapi pemaparan
tersebut, Hariyanto dari SBMI mengatakan bahwa kenyataan di lapangan,
Kepolisian tidak memiliki kesamaan perspektif terhadap TPPO. Penanganan
kasus di Jakarta berbeda dengan yang di daerah. Ini yang menjadi persoalan
utama dalam kebijakan soal TPPO. Sedangkan Suster Katarina FSGM mengatakan
bahwa kenyataannya di kabupaten/kota ketika mereka ingin memulai kerjasama
dengan pemerintah, termasuk gugus tugas, mereka sama sekali belum tersentuh.
Bahkan saat para biarawati ingin mengkampanyekan Stop Trafiking dan
Migrasi Aman, mereka sama sekali tidak tahu apa itu yang sedang
diperjuangkan. Semua hal bagus yang didengar pada sore hari ini, di lapangan
masih jauh dari selayaknya.
Atas keluhan tersebut, para pembicara menyatakan bahwa memang pelaksanaan program yang telah mereka rancang masih sarat dengan kekurangan di sana sini. Namun mereka berjanji untuk terus memperbaikinya sehingga kulaitas pelayanan pemerintah akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Ini menjadi PR bagi pemerintah dan mereka mohon dukungan dari semua pihak agar semua yang sudah disusun dapat diwujudkan dengan baik. Khusus dari Kepolisian, mereka berpesan agar semua korban dan pendamping pemerhati TPPO untuk tidak segan-segan memberikan informasi-informasi penting kepada polisi. “Jangan takut, kami bukan penjahat, justru kami melawan kejahatan", begitu pesan AKBP Julianto Sirait menutup acara sore itu.