Wednesday, April 26, 2017

“Buy Our Bodies and Our Land That We May Live” Story of the faceless migrant laborers.

Sebuah tulisan singkat dari makalah M.P Joseph (School of Theology Chang Jung Christian University Tainan, Taiwan)

Seri Catatan dari “The International Seminar On Service – Learning Among Migrant Laborers”, UKDW – Yogyakarta, 27 Februari  - 02 Maret 2017

Cerita tentang Joseph di Sekolah Minggu, sering menyembunyikan 2 (dua) hal. Pertama, tanggung jawab Yusuf dalam perbudakan dan orang Mesir dikondisikan dalam penciptaan perbudakan. Dua, orang Mesir yang pertama kali diperbudak sebagaimana ikon Ibrani kebijaksanaan Joseph. Suku Ibrani datang mencari makanan ke tanah Mesir untuk mengatasi kelaparan, tetapi mereka berakhir sebagai budak.
Akar krisis buruh migran saat ini tidak berbeda dari cerita Yusuf dalam Kejadian 43 - 47. Yusuf belum menggunakan kebijaksanaannya untuk membantu orang-orang di Mesir dalam mengatasi kelaparan. Sebaliknya ia menggunakan bencana alam sebagai sarana untuk memperbudak orang-orang, proses dipekerjakan oleh monopoli kapitalisme pada saat itu, yang digambarkan Naomi Klein sebagai “Kapitalisme Bencana”.
Joseph melakukan empat inisiatif ekonomi :
1.      Membuat langka bahan pokok. Selama tujuh tahun dari panen yang melimpah, Joseph mengisi lumbung negara dengan gandum dan mengosongkan lumbung penduduk, lumbung komunal mereka dan rumah. Kelangkaan dalam hal ekonomi tidak untuk menunjukkan kekurangan pasokan sumber daya, tetapi juga tidak cukup berarti bagi orang untuk mendapatkannya. Kelimpahan dan kelangkaan adalah istilah relatif. Dengan tindakan penimbunan gandum, Joseph menciptakan kelangkaan.
2.      De-monitzation masyarakat. Selama tahun-tahun kelangkaan (kelaparan), Joseph tidak memberikan makanan gratis kepada orang-orang yang dalam kesusahan, tapi dia menjual gabah sampai “mengumpulkan semua uang” (Kejadian 47: 13 - 14) dan kemudian membawa semua itu “ke dalam rumah Firaun”. Logika ekonomi yang Joseph gunakan adalah menarik semua mata uang (pada saat itu: perak dan syikal) dari peredaran yang dengan demikian mencabut kemampuan beli rakyat. Tindakan ini memperburuk kelaparan dan mendorong perekonomian Mesir menuju depresi ekonomi. Jika mata uang tidak beredar untuk membeli makanan dari tempat-tempat lain termasuk Kanaan, rakyat harus berupaya mengatasi kelaparan. Ketika Yakub menyuruh anak-anaknya membeli makanan, ia mengisi tas mereka dengan kacang yang baik, buah-buahan dan bahan makanan lainnya. Kenyataan tidak memiliki makanan dan tidak ada uang (daya beli), ekonomi runtuh dan akhirnya terjebak dalam lingkar kelaparan, kemiskinan dan menjadi benar-benar tergantung pada penguasa yang menimbun modal dan sumber daya.
3.      Ketiga, Joseph menghilangkan subjektivitas ekonomi. Setelah memegang kontrol atas uang (ekonomi tunai), Joseph mengalihkan perhatiannya untuk mengambil infrastruktur. Joseph menjebak orang melakukan barter atas ternak mereka untuk mendapatkan makanan. Selama hampir satu tahun, Joseph mengumpulkan kuda, domba, kambing, sapi, keledai dan semua suplemen yang diperlukan rakyat untuk menjalankan pertanian.
4.      Peruntukan lahan, sumber daya dan “tubuh”. Tahap akhir dari perbudakan adalah konsekuensi alami. Setelah tidak memiliki uang dan tidak dapat berproduksi karena tidak memiliki alat, suku Mesir menjadi takut mati kelaparan, lalu menjual tanah mereka dan “tubuh mereka” kepada penguasa.
Logika ekonomi yang Joseph gunakan, sering terjadi dalam sejarah manusia. Cerita ini diulang beberapa kali dengan berbagai variasi. Fenomena tenaga kerja migran juga demikian.
Menurut perkiraan ILO tahun 2013, ada 150.300.000 pekerja migran di dunia dari jumlah perkiraan 232.000.000 pekerja migran. Dari jumlah 150.300.000 pekerja migrant, 44,3% adalah perempuan dan 55,7% adalah laki-laki. Dari negara-negara tertentu, keseimbangan antara laki – laki dan perempuan berbeda. Misalnya pada tahun 2015, 186.243 orang laki-laki Indonesia bermigrasi ke negara-negara lain dan jumlah perempuan di tahun yang sama dari Indonesia adalah 243.629 orang. Dalam kasus Filipina, dari 2.400.000 pekerja Filipina migran, 1.250.000 orang adalah perempuan. Perempuan telah direnggut dari keluarga mereka, dirampas sehingga keluarga kehilangan lingkungan yang sehat, cinta dan pengasuhan serta keluarga menuju masa depan yang suram.
Pertumbuhan fenomenal ini bertambah dengan adanya agenda neo-liberal “perdagangan bebas”, “pasar bebas”, dan kebijakan liberal untuk gerakan investasi dan modal.
Argumen berikut didasarkan pada tiga asumsi :
1.    Migrasi tenaga kerja tidak keluar dari kehendak pribadi dari pekerja (dipaksa) untuk bermigrasi, tetapi kebutuhan untuk Pemodal. Migran awal dari Indonesia yakni Rezim kolonial Belanda yang mengirim ribuan orang Jawa ke Suriname di Amerika Latin sebagai tenaga kerja murah, bekerja sebagai kuli di perkebunan. Mereka mengungsi dari zona ekonomi relatif nyaman dan dikonversi sebagai modal manusia yang murah. Selain itu, migrasi tidak ditujukan untuk menguntungkan tenaga kerja, tetapi untuk memenuhi dogma “menumpuk dan menumpuk lebih banyak dan lebih”.
Belajar dari masa lampau, penciptaan banyaknya (cadangan) tenaga kerja membantu “pemodal” untuk menjaga biaya produksi turun dan membuat margin keuntungan yang relatif tinggi. Dan penciptaan kelebihan tenaga kerja membutuhkan kondisi yang menjaga pekerja dalam posisi jinak.
2.      Akhir – akhir ini pekerja migran dijadikan “alat politik” oleh pemerintah untuk keuntungan “komoditas ekspor”. Dalam kasus Indonesia, Kementerian aktif mempromosikan dan memfasilitasi ekspor pekerja. Pada tahun 1983, ekspor manusia sebagai komoditas diprivatisasi dengan memberikan lisensi kepada badan-badan swasta untuk merekrut pekerja migran yang menyebabkan pertumbuhan migran yang luar biasa. Pendapatan yang dihasilkan melalui ekspor tubuh manusia mendorong kepemimpinan politik untuk mendirikan Pusat Overseas Employment di Kementerian Tenaga Kerja pada tahun 1984 [diganti sebagai Direktorat Jasa Tenaga Kerja Luar Negeri pada tahun 1994] dengan mandat untuk meningkatkan jumlah ekspor tenaga kerja setiap tahun, baik dengan negosiasi negara penerima dan memberikan pelatihan khusus bagi calon pekerja migran. Kisah ini berulang di hampir semua "negara pengirim".
3.      Konsekuensi pekerja migran adalah ketidak stabilan hubungan keluarga dan masyarakat. Hal ini tidak membantu pembangunan masyarakat manusia yang sehat di mana nilai-nilai kemanusiaan dibayang - bayangi kepentingan pemodal. Kenyataannya, masyarakat kemudian akan diatur oleh para Pemodal.
Gerakan buruh muncul pertama oleh budak dan kuli kontrak di seluruh dunia. Gerakan buruh ini dipicu sebuah teori sederhana: bahwa buruh pengungsi lebih produktif, jinak dan akan tetap tergantung pada majikannya. Oleh karena itu bukan fenomena aneh bila tenaga kerja migran didahului dengan meminggirkan penduduk asli.
Karena hampir 90% dari ruang tanah di dunia berada di bawah kolonialisme Eropa, gerakan buruh juga diasumsikan lintas universal. Pengamatan Arundhati Roy yang telah mejadi umum bahwa negara-negara yang telah berkembang [AS, Eropa, Australia] memiliki masa lalu dalam tanda kutip - masa lalu dengan peminggiran penduduk asli, perbudakan dan penyamarataan. Ini menginformasikan jika negara hendak menuju masa depan yang makmur, “masa lalu tertentu” perlu dilakukan.
Berkaitan kisah Joseph di Mesir, kegiatan ekonomi difokuskan pada akumulasi modal utama; emas, perak dan barang berharga lainnya di Eropa. Enrique Dussel, seorang sejarawan gereja dari Meksiko melaporkan bahwa dalam jangka waktu sepuluh tahun, 1551-1561, jumlah emas dan perak ditransfer dari pulau-pulau Karibia dan Amerika Selatan ke Spanyol sebanyak tiga kali lebih banyak dari akumulasi emas dan perak dari seluruh kawasan Eropa. Hal tersebut terulang dari Asia dan Afrika.
Sejak itu, Pembangunan ekonomi dunia diarahkan oleh kekuatan besar ekonomi Eropa yang diperoleh melalui pengendalian sumber daya. Tidak tercatatnya pekerja migran menyebabkan mereka menjadi pion dalam segala bentuk migrasi. Seperti orang-orang di Mesir meminta kepada Joseph, orang-orang di koloni Eropa juga memohon: "belilah tubuh kami", sehingga kami bisa hidup. Seperti potongan-potongan di papan catur, orang-orang tercerabut dari domisili mereka dan bergerak di seluruh dunia. Tidak ada usaha yang dibuat untuk menciptakan peluang kerja bagi masyarakat di negara masing-masing guna mencegah migrasi skala besar.
Pembatasan impor, ekspor dan pergerakan modal muncul sebagai Negara ketiga untuk menjamin perlindungan industri dan ekonomi masyarakat. Salah satu tujuan adalah penciptaan kesempatan kerja di Negara ketiga dan untuk melengkapi buruh dengan keterampilan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagian besar negara-negara ini memperkuat sistem kesejahteraan mereka seperti juga sistem pendidikan publik sebagai investasi pada kehidupan masyarakat. Inisiatif Negara yang baru merdeka beresonansi dengan pengamatan Amartya Sen bahwa 'kemiskinan' adalah konsekuensi dari kekurangan kemampuan menjalani kehidupan yang baik, kemampuan keterampilan masyarakat, maka tujuan utama adalah ekonomi yang terencana.
Perubahan di Negara ketiga mengakibatkan lambatnya pertumbuhan kapitalisme secara global. Terutama tekad membangun kemampuan dan ekonomi Negara ketiga mengakibatkan stagnasi pertumbuhan ekonomi di negara-negara kaya. Kurang berjalannya investasi baru dan tidak adanya pasar tenaga kerja global mulai menekan upah buruh di negara-negara Barat, dan kelebihan modal terakumulasi sehingga terancam terjadi stagnasi. Untuk mencegah stagnasi dan untuk memperkuat pertumbuhan, pemodal memiliki kebutuhan mendesak untuk menemukan cara-cara ekspansi baru bagi usaha dan kontrol tenaga kerja.
Terlepas dari kontrol atas sumber primer dan akses terbatas kepada pasar, pertumbuhan kapitalis secara struktural tergantung pada penciptaan kondisi yang menjamin kelebihan pasokan tenaga kerja. Massa besar orang harus masuk dan meninggalkan pasar tenaga kerja sesuai kebutuhan modal. Surplus 'tenaga kerja tidak identik dengan surplus orang. Kelebihan Buruh terjadi ketika ekonomi diatur oleh keuntungan yang menciptakan kelebihan pasokan buatan sebagai aturan untuk akumulasi demi akumulasi.
Metode yang lebih kohesif digunakan oleh kapitalis untuk membangun kembali otonomi modal lebih dari hubungan produksi yang mendorong pertumbuhan pengangguran serta realitas migrasi. Dua kekuatan yang mengancaman otonomi pemodal adalah pemerintah nasional dan pekerja serikat. Kebijakan IMP diawasi dan dibatasi secara efektif, atau untuk menghilangkan kekuasaan negara mengatur variabel ekonomi. Selanjutnya IMF dan struktur ekonomi global yang dibuat oleh kapitalis mengancam tingkat kesejahteraan. Akibatnya, individu tanpa modal berharga menawarkan tubuh mereka untuk dibeli sebagai komoditas untuk mempertahankan hidup.
Untuk memastikan kontrol kapital atas semua hubungan produksi sebagai sarana guna mempercepat akumulasi, kapitalisme global memiliki dua strategi: (i) menciptakan kondisi internasional yang menjamin mobilitas modal dari segala penjuru dunia; dan (ii) dengan mempromosikan (non unionizable) alien berduyun-duyun ke pasar tenaga kerja nasional. Ketika kolam tenaga kerja besar, harga tenaga kerja tetap sangat murah dan sebagai hasilnya tingkat akumulasi akan mencapai kisaran tertinggi. Proses yang dikenal sebagai globalisasi, pasar bebas dan semua suku kata lain dengan istilah “bebas” adalah tipuan yang digunakan oleh kapitalis global untuk membuat kolam tenaga kerja yang cukup besar guna menjamin pertumbuhan modal. Ekonomi Barat dengan bantuan Multi-Nasional Corporations, secara sistematis menghancurkan struktur ekonomi Negara ketiga dan mempromosikan proses ekspor tenaga kerja. Mereka memindahkan modal dan tenaga kerja ke satu tempat untuk mempercepat produksi, tetapi di bawah kontrol yang ketat dari pemodal. Langkah-langkah ini juga melemahkan kekuatan serikat pekerja dan otonomi diberikan kepada pemodal atas proses ekonomi keseluruhan. Cerita dari kekalahan perjuangan buruh, menggema dari Detroit ke Seoul, dan dari Bombay ke Sao Paulo menegaskan fakta ini.
Gerakan buruh migran yang dipromosikan; mereka murah, tetapi yang lebih penting, status mereka sebagai alien atau kurangnya kedekatan dengan warga menghalangi mereka untuk mengklaim otonomi dan hak-hak dasar. Sejak kewarganegaraan sejalan dengan hak istimewa tertentu dalam sistem politik modern, potensi bahaya yang melekat. Jika terorganisir, gerakan rakyat dan serikat pekerja bisa mengklaim otonomi atas modal. Revolusi sosialis adalah salah satu contoh dari potensi itu. Dengan mempromosikan migrasi tenaga kerja, modal menang dan menggagalkan setiap potensi bahaya yang mungkin timbul dari serikat pekerja.
Dari sejarah perbudakan, kapitalis belajar bahwa bila kerentanan tenaga kerja meningkat, kekuatan dan otonomi modal juga meningkat. Meskipun tenaga kerja lokal yang tersedia lebih dari cukup untuk mempertahankan hubungan produksi yang kompetitif, logika impor tenaga kerja dari negara lain berguna untuk mengacaukan tenaga kerja lokal dan untuk mendorong pemodal membangun otonominya. Pada saat ini, tidak adanya kerangka hukum yang melindungi para migran, membantu kapitalis menciptakan dan mempertahankan ketergantungan pekerja migran pada mereka; dengan asumsi hidup pekerja migran bergantung pada niat baik dan kemurahan hati majikan. Aturan dalam permainan bertahan hidup membuat mereka bersaing satu dengan yang lain guna mengekspresikan loyalitas total dan gigih demi mengambil hati majikan mereka.
Pada kenyataannya dan sayangnya, tenaga kerja migran telah menjadi tentara bayaran pemodal untuk mengalahkan semangat serikat pekerja di kalangan para pekerja. Meskipun tidak disengaja, untuk kelangsungan hidupnya, pekerja migran menerima peran menjadi tentara bayaran. Kurangnya solidaritas antara pekerja migran dan pekerja lokal adalah hasil alam dari reaksi atas kehadiran para migran.
Tujuan keuntungan dan akumulasi modal akan menjaga tenaga kerja tetap sebagai komoditas pakai. Namun, tindakan produksi harus menjadi tindakan kebebasan; mengalir dalam waktu dan ruang. Perjanjian kebebasan yang dibuat antara Allah dan manusia pertama seperti yang digambarkan dalam Kitab Kejadian mengulangi kekhawatiran pokok kebebasan yakni merealisasikan kemampuan saya, kebenaran saya, nilai dan keindahan dalam hal-hal dan alam untuk memenuhi kebutuhan sosial orang lain. Dengan demikian, produksi menjadi perpanjangan dari diri saya dalam ruang dan waktu; sebuah proses yang memungkinkan subjektivitas saya terungkap; untuk membantu diri sendiri dan orang lain menemukan identitas saya yang sebenarnya. Produksi memperkuat subjektivitas dan tetap sebagai tindakan memanusiakan karena melalui produksi, saya dapat mengidentifikasi diri dan komunitas sosial saya dan rasa saya ada didalam komunitas.. Dalam arti sebenarnya, saya ada karena saya menghasilkan.
Bekerja adalah ibadah. Ketika pekerjaan merupakan bagian dari proses menurunkan derajat manusia, ibadah menjadi setan, tindakan mengundang kejahatan. 

R. Astuti Sitanggang