Pada tanggal 22 Maret 2017, dua orang relawan Sahabat Insan yang sedang magang di Migrant Care: Angguni dan Marsia, diajak untuk melakukan follow-up ke Kemenaker atas kasus buruh migran Indonesia (BMI) di Malaysia.
Kasus tersebut diadukan oleh seorang BMI yang mewakili 20 orang temannya yang mengalami ketidakadilan selama bekerja di Malaysia. Saat di Indonesia, oleh penyalur mereka dijanjikan akan diberangkatkan ke negeri jiran tersebut untuk bekerja di sebuah pabrik kosmetik. Namun pada kenyataannya, pekerjaan yang dilakukan di sana adalah mencabuti bulu burung walet. Setiap hari mereka diberi target, dan jika target tersebut tidak dipenuhi, maka upah mereka akan dipotong. Karena ada target pekerjaan, seringkali mereka lembur hingga pukul 3 pagi demi mencapai target. Lembur ini tidak dibayar.
Selain itu, gaji yang mereka terima tidak sesuai dengan yang dijanjikan sebelum mereka berangkat, yaitu sekitar 900RM atau setara dengan 2,9 juta rupiah (lebih rendah dari UMR Jakarta). Tapi pada kenyataannya ada potongan2 yang tidak sesuai sehingga mereka hanya menerima 300RM atau setara dengan 950 ribu rupiah. Majikan/penyalur juga tidak pernah memberikan slip gaji, Mereka juga tinggal di sebuah mess yang tidak layak, dimana satu kamar yang tidak terlalu lebar diisi oleh 14 orang, disertai dengan sarapan pagi yang seadanya, kadang2 malah hanya dengan kerupuk. Di mess tersebut, mereka wajib membayar uang listrik 50RM per bulan. Semua perlakuan tidak adil ini masih harus ditambah lagi dengan tekanan psikis dari boss yang memperlakukan mereka dengan semena-mena dan merendahkan martabat manusia.
Migrant Care sendiri sudah berusaha melaporkan kasus ini ke BNP2TKI sejak Februari 2017 dan kemudian melanjutkan laporannya ke Kemenaker. Kemenaker kemudian memanggil agen penyalur untuk melakukan klarifikasi, namun sang agen, seperti yang sudah diduga, melakukan pembelaan dan terkesan menutup-nutupi. Semoga kasus ini segera menemukan jalan keluarnya agar hak-hak para pekerja tersebut dapat terpenuhi.