Tuesday, March 12, 2019

Kunjungan Suster Laurentina Ke Kantor SI

Senin, 11 Maret 2019, Sr Laurentina PI mengunjungi kantor Sahabat Insan di Pasar Baru, Jakarta Pusat. Sudah seminggu ini suster ke Jakarta untuk mengikuti kegiatan Workshop Pengembangan SOP Pengelolaan Shelter Bagi Korban TTPO dan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yang diselenggarakan oleh CWTC Di Wisma Guadalupe, Duren Sawit, Jakarta Timur. Dalam kunjungannya tersebut, Suster menceritakan perkembangan pelayanan terhadap korban perdagangan manusia di Nusa Tenggara Timur serta tak lupa juga menceritakan tentang perjalanannya ke Bangladesh 2 minggu lalu, mengikuti seminar dengan tema "Migrants, Refugees, the Displaced and Human Trafficking and Renewable Energy Option in the Asian Context" yang diselenggarakan pada tanggal 11-17 Februari 2019 di Beach Way Hotel, Cox's Bazar, Chattogram, Bangladesh dan dilanjutkan dengan pertemuan jaringan APJPWN (Asia Pacific Justice and Peace Workers Network) tanggal 18-19 Februari 2019. 



Suster mengawali cerita tentang kunjungannya ke Bangladesh dengan menunjukkan foto2 yang tersimpan di laptopnya. Dalam foto tersebut terdapat kegiatan Suster saat mengikuti seminar dan juga saat berkunjung ke camp pengungsian Rohingnya. Suster menjelaskan, pada seminar tersebut hadir Fabio Baggio C.S dari Departemen Kepausan Vatikan, yang baru saja melucurkan buku Pastoral Orientations On Human Trafficking bersama Michael Czerny, SJ. Dalam kesempatan tersebut, Mr Fabio Baggio mennguraikan tentang isi buku tersebut berkaitan dengan implementasi Global Compact on Migrations (GCM) dan Global Compact on Refugees (GCR) yang baru saja diluncurkan bulan Desember 2018 yang lalu. Ia juga menegaskan bahwa Paus Fransiskus sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik sangat menganggap penting penderitaan jutaan laki-laki, perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan dan diperbudak. Mereka adalah  orang-orang  yang sangat dilecehkan  karena dianggap  bukan sebagai manusia dan dibuang  di dalam dunia modern ini  dan di seluruh dunia. Sebagai gereja, kita harus bisa memberikan tempat bagi para pengungsi, migran dan korban perdagangan manusia secara tulus. Selain Indonesia, hadir dalam pertemuan tersebut wakil dari Thailand, Malaysia, Phillipina, Cina, Hongkong, Jepang, India, Sri Lanka, dan tuan rumah Bangladesh. 



Saat paling menyentuh adalah ketika Suster memperlihatkan foto-foto kunjungannya ke camp pengungsi Rohingnya. Seperti kita ketahui sebelumnya, Cox's Bazar merupakan pesisir pantai di Bangladesh yang menjadi tempat pengungsian Rohingnya di sana. Mereka merasa aman tinggal di tempat itu, dan tidak ingin kembali kepada suasana teror yang terjadi di tempat asalnya. Sejak bulan Agustus 2017, para pengungsi Rohingnya berduyun-duyun melintasi perbatasan untuk menyelamatkan diri dari situasi konflik yang terjadi di negaranya. Tak kurang dari 600ribu - 1 juta jiwa baik orang tua maupun anak-anak yang terpaksa meninggalkan tanah airnya menuju tempat yang lebih aman. Mereka datang dalam dua gelombang, yaitu pada bulan Agustus dan September 2017.


Dalam kunjungannya, Suster mengunjungi pengungsi Rohingnya yang berada di camp Kutupalong, Ukhiya Bangladesh. Di situ Suster bergabung dalam kelompok pendampingan anak-anak.  Kelompok tersebut mengunjungi unit HOPE dampingan JRS Bangladesh dan Caritas Luxemburg. Jumlah dampingan di unit ini sebanyak kurang lebih 700 jiwa, lebih dari setengahnya adalah anak-anak berusia kurang dari 16 tahun. Suster sendiri mengunjungi unit Child Friendly Space yang merupakan pusat bermain dan belajar anak-anak, dengan dampingan dari lembaga-lembaga internasional seperti UNHCR, IOM, JRS dan Caritas Internasional. Banyak dari anak-anak ini yang mengalami trauma berat akibat konflik yang dialaminya. Pada kesempatan ini, anak-anak diajak untuk bermain, menari, bernyanyi, menggambar dan juga mewarnai.





Setelah kurang lebih 1,5 tahun sejak gelombang pertama masyarakat Rohingnya mengungsi di tempat ini, aktifitas sosial kemasyarakatan sudah mulai terbentuk.  Berbagai macam layanan sudah tersedia walaupun tentu saja belum terlalu memadai. Diantaranya adanya layanan konseling/trauma healing untuk para perempuan, terutama mereka yang pernah mengalami pelecehan seksual. Di sana juga sudah didirikan sekolah setingkat Madrasah walaupun masih harus ditingkatkan kualitasnya. Di tempat itu, gadis-gadis kecil belajar matematika dan bahasa. Mereka mengakui bahwa di tempat asalnya mereka malah tidak mendapatkan pendidikan dan hanya bekerja di perikanan. Pendidikan akan membantu mereka untuk memperluas wawasan dan meningkatkan kualitas mereka, sehingga diharapkan 15-20 tahun ke depan akan banyak pengungsi yang bisa menyuarakan kondisinya sendiri, seperti halnya yang sekarang banyak dilakukan oleh para pekerja migran. Sistem ekonomi juga sudah berjalan dengan adanya transaksi jual-beli untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dukungan lembaga-lembaga internasional yang telah diberikan semoga bisa membantu para pengungsi untuk sedapat mungkin hidup secara manusiawi di tempat mereka yang baru. Berbagai upaya masih terus akan dilakukan untuk membantu mereka agar tetap memiliki harapan akan masa depannya.