
Suster mengawali cerita tentang kunjungannya ke Bangladesh dengan menunjukkan foto2 yang tersimpan di laptopnya. Dalam foto tersebut terdapat kegiatan Suster saat mengikuti seminar dan juga saat berkunjung ke camp pengungsian Rohingnya. Suster menjelaskan, pada seminar tersebut hadir Fabio Baggio C.S dari Departemen Kepausan Vatikan, yang baru saja melucurkan buku Pastoral Orientations On Human Trafficking bersama Michael Czerny, SJ. Dalam kesempatan tersebut, Mr Fabio Baggio mennguraikan tentang isi buku tersebut berkaitan dengan implementasi Global Compact on Migrations (GCM) dan Global Compact on Refugees (GCR) yang baru saja diluncurkan bulan Desember 2018 yang lalu. Ia juga menegaskan bahwa Paus Fransiskus sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik sangat menganggap penting penderitaan jutaan laki-laki, perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan dan diperbudak. Mereka adalah orang-orang yang sangat dilecehkan karena dianggap bukan sebagai manusia dan dibuang di dalam dunia modern ini dan di seluruh dunia. Sebagai gereja, kita harus bisa memberikan tempat bagi para pengungsi, migran dan korban perdagangan manusia secara tulus. Selain Indonesia, hadir dalam pertemuan tersebut wakil dari Thailand, Malaysia, Phillipina, Cina, Hongkong, Jepang, India, Sri Lanka, dan tuan rumah Bangladesh.
Saat paling menyentuh adalah ketika Suster memperlihatkan foto-foto kunjungannya ke camp pengungsi Rohingnya. Seperti kita ketahui sebelumnya, Cox's Bazar merupakan pesisir pantai di Bangladesh yang menjadi tempat pengungsian Rohingnya di sana. Mereka merasa aman tinggal di tempat itu, dan tidak ingin kembali kepada suasana teror yang terjadi di tempat asalnya. Sejak bulan Agustus 2017, para pengungsi Rohingnya berduyun-duyun melintasi perbatasan untuk menyelamatkan diri dari situasi konflik yang terjadi di negaranya. Tak kurang dari 600ribu - 1 juta jiwa baik orang tua maupun anak-anak yang terpaksa meninggalkan tanah airnya menuju tempat yang lebih aman. Mereka datang dalam dua gelombang, yaitu pada bulan Agustus dan September 2017.

Setelah kurang lebih 1,5 tahun sejak gelombang pertama masyarakat Rohingnya mengungsi di tempat ini, aktifitas sosial kemasyarakatan sudah mulai terbentuk. Berbagai macam layanan sudah tersedia walaupun tentu saja belum terlalu memadai. Diantaranya adanya layanan konseling/trauma healing untuk para perempuan, terutama mereka yang pernah mengalami pelecehan seksual. Di sana juga sudah didirikan sekolah setingkat Madrasah walaupun masih harus ditingkatkan kualitasnya. Di tempat itu, gadis-gadis kecil belajar matematika dan bahasa. Mereka mengakui bahwa di tempat asalnya mereka malah tidak mendapatkan pendidikan dan hanya bekerja di perikanan. Pendidikan akan membantu mereka untuk memperluas wawasan dan meningkatkan kualitas mereka, sehingga diharapkan 15-20 tahun ke depan akan banyak pengungsi yang bisa menyuarakan kondisinya sendiri, seperti halnya yang sekarang banyak dilakukan oleh para pekerja migran. Sistem ekonomi juga sudah berjalan dengan adanya transaksi jual-beli untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dukungan lembaga-lembaga internasional yang telah diberikan semoga bisa membantu para pengungsi untuk sedapat mungkin hidup secara manusiawi di tempat mereka yang baru. Berbagai upaya masih terus akan dilakukan untuk membantu mereka agar tetap memiliki harapan akan masa depannya.