#Kisah-Kisah dari Program Eksposure Belarasa 2019
Kematian adalah teki-teki yang sampai kapan pun tidak
akan pernah dipecahkan oleh manusia. Kematian akan meninggalkan rasa sedih,
kecewa, dan penyesalan bagi yang ditinggalkan. Lalu apa hubungan judul di atas
dengan kematian? NTT, lu kapan merdeka? Aku memakai logat Bahasa Kupang dalam
penulisannya, artinya NTT, kamu kapan merdeka. Mari, biar ku jelaskan, baca
pelan-pelan dan perhatikan setiap titik koma-nya.
Tinggal menghitung hari lagi, bahkan hari yang
tertinggal bisa dihitung dengan jari. Terserah kamu mau menghitungnya dengan
jari tangan kananmu atau tangan kirimu, atau kalau menghitung dengan jari
tangan mu terlalu mainstream kamu boleh menghitung dengan jari kaki mu. Tiga
hari dari hari ini (14/08/2019), bangsa Indonesia akan merayakan hari paling
bersejarah.
Dari kecil kamu mungkin salah satu dari setiap anak
yang menyanyikan lagu “17 Agustus,” dengan perasaan gembira yang membuncah.
Yey, Hari Kemerdekaan kita, bangsa Indonesia. 74 tahun sudah bangsa ini, bangsa
yang besar ini merayakan kemerdekaan. Lalu, apakah benar Indonesia ini sudah
merdeka?
Jika berbicara tentang Indonesia, maka berbicaralah
untuk semuanya, tidak hanya untuk mereka yang di sana atau mereka yang di sini. Nusa Tenggara Timur, siapa yang tidak tahu provinsi
ini? Provinsi ini mendapat berbagai macam julukan ada yang membanggakan ada
pula yang membuatku menepuk dahi sambil menggelengkan kepala. Nusa Tenggara
Timur sering disebut Indonesia Kecil, karena NTT ini memiliki banyak pulau,
meskipun pulau nya tidak sebesar Pulau Jawa. Sedangkan tahun lalu ia
mendapat julukan - yang sebagai anak NTT - membuatku miris, namun yang lebih
dominan adalah malu. Namun memang seperti itulah kenyataannya, dan memang harus
mengakui hal tersebut. Mau tahu julukannya? Provinsi Peti Mati. Biar ku
tekankan sekali lagi, Provinsi Peti Mati. Dan aku yakin julukan itu tetap akan
tersemat di tahun ini, mungkin juga di tahun-tahun yang akan datang. Memang
pantas NTT disebut Provinsi Peti Mati karena per hari ini (14/08/2019) saja
sudah ada 74 jenazah orang NTT yang meninggal di negara rantauan, beberapa di
antaranya ada yang dipulangkan, sedangkan yang lain dikubur di negeri orang.
Merasa familiar dengan 74, hah? Angka kematian PMI
asal NTT ini sudah sama dengan Indonesia merayakan kemerdekaannya. Lalu
benarkah Indonesia sudah benar-benar merdeka? Jika demikian mengapa NTT masih
menerima jenazah dari tanah seberang?
Dan hari ini, di siang bolong, yang mentarinya
bersinar cerah membakar kulit dan langit biru bersih tanpa noda, NTT menuai
tiga jenazah. Satu saja yang pulang mati-matian menahan air mata, bagaimana
jika tiga sekaligus. Hati siapa yang tidak hancur? Hati siapa yang tidak
kecewa? Hati siapa yang tidak sedih? Aku marah, namun pada siapa ku mengadu?
Jadi patutlah aku mempertanyakan hal ini: NTT, kapan lu merdeka? Rakyatmu masih
menjadi budak di negeri jauh, meninggalkan anak istri dan keluarga. Penjajah
tidak lagi datang ke sini namun kamu yang dibawa ke sana, untuk dijadikan
budak. Alasan klasiknya adalah demi sesuap nasi, dari sesuap nasi naik ke level
lebih tinggi yaitu uang sekolah, dari situ naik satu tingkat lagi yaitu tuntutan
gaya hidup. Manusia memang tidak pernah puas. Ingin aku salahkan semua, lalu
menyalahkan diri sendiri, namun aku tahu menyalahkan tidak akan menyelesaikan
masalah.
Tiga mobil jenazah menjemput jenazah PMI di Kargo Bandara El Tari Kupang pada 14 Agustus 2019 |
Mereka yang pulang dengan keadaan kaku itu kurang
lebih memiliki masa kecil yang sama denganku. Hidup di Kota Karang ini membuat
kami menjadi pribadi yang keras pula. Mereka adalah saudara dan saudariku.
Namun sayang, mereka menghembuskan napas terakhir tanpa ada orang tersayang di
sebelahnya, jauh dari keluarga. Beruntunglah mereka yang bertemu orang baik
sehingga dipulangkan ke tanah kelahirannya.
Ya, Indonesia memang merdeka dari penjajahan Belanda
dan Jepang, namun rakyat Indonesia mengalami perbudakaan modern. Lebih
khususnya, NTT. Dan akibat dari perbudakan modern itu, bumi pertiwi NTT
mendapat kiriman tiga jenazah dari Malaysia.
Tiga jenazah yang dipanen hari ini adalah atas nama
Dion Sendah, Marselina Klau dan Kornelis Wela. Ketiga jenazah itu tiba siang
hari ini di Terminal Kargo Bandara El-Tari Kupang pukul 13.22 WITA, diturunkan sekaligus dari bagasi yang sama: bagasi pesawat Garuda. Ini kali pertama bagiku melihat tiga mobil jenazah
terparkir berjejer.
Keluarga dari dua jenazah, yaitu keluarga almarhum Kornelis Wela dan Marselina Klau, datang berbondong ke kargo, sedangkan keluarga dari
almarhum Dion Sendah yang ada di Kupang entah ada di mana. Tidak ada yang bisa dihubungi. Kornelis Wela adalah seorang pria asal Desa Wiwipemo,
RT/RW 10/08, Kecamatan Wolojeta. Kabupaten Ende. Usianya sudah 63 tahun,
berangkat ke Malaysia saat anaknya yang pertama masih kelas 1 SD.
“Masih ingat muka ko sonde?” aku bertanya pada anak
pertama dari almarhum Kornelis Wela, namanya Martinus Herianto Wamapenga,
umurnya sudah 23 tahun. Ia duduk bersebelahan dengan suster Elisa PI. Memang
aku ke kargo bandara bersama suster Elisa PI, dan sekali lagi kami menjadi yang
pertama tiba di kargo dalam penjemputan jenazah siang ini. Kami menunggu dengan
sabar hingga akhirnya satu per satu datang.
“Aih, sonde le. Saya liat terakhir sa di foto su mati
yang kirim dari Malaysia.” Ia menggeleng pelan dengan senyuman getir di
wajahnya. Ia menyampaikan bahwa kontak terakhir dengan ayahnya adalah tiga hari
yang lalu, ayahnya pun memberitahukan kepadanya bahwa ia sudah sakit berat.
Tiga hari kemudian, berita duka terdengar di telinganya. Kehilangan seorang
ayah yang menjadi pahlawan menyisakan luka yang tak akan pernah sembuh.
Sekalipun selama ayahnya di Malaysia, tidak pernah pulang ke Indonesia. Entah,
apakah mungkin dulu ayahnya pernah mengajarkan padanya tentang bagaimana
seorang laki-laki sejatinya berperan dalam kehidupan.
Kornelis Wela semasa hidupnya bekerja sebagai buruh
bangunan, keringatnya yang jatuh di Tanah Malaysia mampu menguliahkan anaknya
yang pertama sampai ke jenjang perguruan tinggi. Selain anak laki-laki nya yang
pertama, almarhum meninggalkan seorang istri dan seorang anak perempuan. Anak
perempuannya berhasil menyelesaikan SMA tahun lalu, dan siap memasuki bangku
perkuliahan. Namun takdir berkata lain. Kehilangan seorang ayah akan memberikan
pelajaran berharga dalam hidup, menjadikannya seorang yang kuat yang berpijak
di bawah kaki sendiri.
Anak pertama dari almarhum Kornelis Wela tidak datang
sendiri dalam penjemputan jenazah, ada keluarga lainnya. Yang aku lihat bahwa
keluarganya cukup berada. Dilihat dari gaya mereka yang sangat kekinian,
berbeda dengan gaya dari anak pertama almarhum yang ranselnya sudah usang dan
ada beberapa bagian yang hampir robek. Ransel itu berisi pakaiannya karena ia akan
mengantar ayahnya sampai ke rumah di Sumba.
Jenazah yang kedua adalah atas nama Marselina Klau. Perempuan berusia 23 tahun ini berasal dari RT/RW 25/13, Dusun Wemantan, Desa
Haitimuk, Kecamatan Weliman, Kabupaten Belu. Almarhum Marselina Klau merantau
bersama suaminya ke Malaysia pada April tahun lalu dan baru satu tahun bekerja di
ladang kelapa sawit bersama suaminya. Pasangan yang belum menikah secara gereja
itu meninggalkan seorang putri yang akan berusia 4 tahun pada 27 Agustus nanti, yang selama ini dititipkan pada orangtua almarhum di kampung. Mereka bersama mengambil keputusan
untuk mencari uang di Negeri Jiran demi biaya sekolah anaknya. Namun sayang,
baru satu tahun bekerja, sang ibu sudah pergi, meninggalkan dunia untuk
selamanya. Septic Shock Secondary to Intraabdominal Sepsis atau
usus buntu adalah penyebab kematiannya.
Kepada suaminya, Nikolas Seran Nahak,
almarhum Marselina Klau mengeluhkan sakit di bagian kanan perutnya dan langsung
di bawa ke Rumah Sakit Raja Permaisuri Bainun. Empat malam ia menginap di rumah
sakit sebelum akhirnya pada Minggu (28/07/2019) menghembuskan nafas
terakhirnya. Sepanjang empat malam itu, almarhum ditemani oleh suaminya.
Semua yang bernyawa pasti kembali ke pangkuan Sang Pencipta, ada yang cepat dan ada yang lambat, semua hanya menunggu waktu. Entah muda atau tua, jika Tuhan sudah memanggilmu, mau tidak mau engkau akan menghadapnya. Namun, yang membuat hati teriris adalah saat tidak bisa melihat putri satu-satunya di detik terakhir hidupnya. Mereka bilang kehilangan sosok seorang ibu bagi seorang anak perempuan sama halnya dengan kehilangan sebagian dari dirinya. Entah apakah putri dari almarhum akan mengingat almarhum. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti arti kehilangan. Kasih sayang dan sentuhan dari ibunya pun hanya sedikit yang akan tersimpan di memorinya.
Suami dari almarhum Marselina Klau tiba lebih dahulu
di tanah air pada Kamis (08/08/2019) lalu. Ia datang ke kargo bandara bersama
dengan saudara-saudaranya yang tinggal di Kupang. Ia dan beberapa saudaranya
akan ikut mobil jenazah yang mengantar almarhum sampai ke kampung halaman.
Jenazah yang ketiga adalah atas nama Dion Sendah.
Pria yang lahir 40 tahun lalu ini meninggal karena Severe Head Injury
pada Kamis, 1 Agustus 2019. Tanggal pembuka di bulan kemerdekaan ini. Ia tiba
tanpa ada keluarga yang menjemput, dan pada saat seperti inilah, kami Tim
Jaringan Anti Human Trafficking siap menerima almarhum dan mendoakannya.
Almarhum Dion Sendah beralamat di RT/RW 006/004, Dusun Wolowia, Desa Mukureku,
Kecamatan Lepembusu Kelisoke, Kabupaten Ende.
Di area kedatangan kargo, satu per satu peti diangkat oleh para relawan untuk dipindahkan ke masing-masing mobil jenazah.
Siang hari ini kargo bandara ramai, karena selain jenazah PMI, ada jenazah lain
yang dikirim dari Bali. Keluarga dari jenazah dari Bali itu turut meramaikan
suasana.
Hari ini aku menyaksikan suatu peristiwa luar biasa, yaitu saat tiga jenazah didoakan sekaligus oleh suster Elisa PI di area parkir kargo. Dan yang meninggal itu adalah seorang ayah, seorang ibu, dan mungkin seorang anak. Mereka pergi dan meninggalkan keluarga bersama duka. Keluarga kedua jenazah berdiri di masing-masing ambulans, sedangkan di ambulans tempat peti jenazah almarhum Dion Sendah berdiri Tim Jaringan Anti Human Trafficking. Dengan meminta rahmat dan tuntunan Allah Yang Maha Kuasa, suster Elisa PI menutup doanya. Seorang ibu, keluarga dari Kornelis Wela kembali menangis begitu doa selesai. Dari awal peti jenazah dikeluarkan ibu itu sudah menangis. Jemarinya merajai peti berbalut kain putih yang di dalamnya terbaring kaku saudaranya.
Almarhum Kornelis Wela dan Dion Sendah akan langsung
diberangkatkan ke Ende dengan kapal Feri. Anak pertama almarhum Kornelis Wela
yang akan bertanggung jawab terhadap kedua peti jenazah. Sedangkan almarhum
Marselina Klau akan dibawa ke Belu bersama dengan suaminya dan beberapa orang
saudaranya. Delapan jam perjalanan akan ditempuh agar bisa sampai ke tangan
keluarga di Belu.
Anak pertama almarhum Kornelis Wela naik ke atas
mobil jenazah. Ia duduk dekat ujung peti. Telapak tangannya ia taruh di atas
peti, matanya memerah, alisnya menukik. Ah, tidak ada yang bisa menahan duka
karena kehilangan orang terkasih. Airmata akan selalu sedia jika rindu
memuncak, dan sebuah foto akan menjadi pengobat rindu.
Semua dilakukan dengan cepat. Bunyi sirine yang
memekakkan telinga bersahutan. Mobil jenazah dikemudikan dengan laju cepat.
Mereka beriringan keluar dari Terminal Kargo Bandara El-Tari Kupang dengan tujuan
masing-masing. Siang hari ini, Pak Siwa (Kepala BP3TKI Kupang) turut serta
hadir di kargo bandara El Tari Kupang. Ada juga Kakak Ardi IRGSC yang datang
bersama seorang teman relawan, lalu ada Suster Pauline dari Cammelian, Kakak
Aris dari GMIT, Kakak Decky dari Rumah Harapan, Pak Herman Seran dari J-RUK
bersama istri-anak, dan pihak media yaitu TVRI yang turut meliput penjemputan
tiga jenazah hari ini.
Demikianlah penjemputan tiga jenazah pada siang hari
ini. Baik pemerintah, para religius maupun pihak media turut serta mengulurkan
tangan membantu penjemputan jenazah sehingga boleh berjalan dengan baik. Di bawah langit biru ini, langit NTT, aku berdiri
membisikkan doa dalam hati, kiranya sampai di telinga Sang Penyelenggara
Kehidupan.
Untuk saudara dan saudariku yang tiba hari ini dan
juga untuk keluarga yang ditinggalkan, Allah Penyembuh yang akan mengobati
setiap luka. Hati memang terluka, namun Allah Yang Mahakuasa adalah lebih
besar dari perkara menyedihkan dalam hidup.
Untuk Nusa Tenggara Timur tercinta, di tanah inilah
kakiku berpijak, di karang inilah aku dibentuk, dengan panas mendidih aku
dikuatkan, debu dan asap yang terhirup menjadi makanan sehari-hari.
Merdeka-lah. Semua sudah tersedia disini. Orang NTT bekerja keraslah membangun
tanah sendiri, jangan menjadi budak di luar negeri jika di tanah sendiri bisa
menjadi tuan. Doaku selalu untukmu, NTT. Allah Yang Maha Pengasih dan
Penyayang, kami mohon berkat-Mu untuk kemerdekaan orang NTT dari segala
perbudakaan. Aku mohon lindungilah NTT dari segala marabahaya, biarlah Kasih
dan Karunia-Mu selalu melingkupi negeri ini.
Bae sonde bae, tanah Timor lebe bae.