Saturday, August 17, 2019

74 Jenazah di HUT RI Ke-74


Segenap rakyat Indonesia memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-74 pada Sabtu (17/8/2019). Tema yang diangkat “Menuju Indonesia Unggul” yang direvisi oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Praktikno menjadi “SDM Unggul Indonesia Maju”. Tema yang terinspirasi dari visi pemerintahan Presiden Joko Widodo periode 2019-20124 ini (tampaknya) tak sekedar mengingatkan rakyat bahwa negara ini sudah merdeka dari para penjajah selama 74 tahun, melainkan (ingin) menyadarkan seluruh komponen bahwa negara ini sedang bergerak dari kondisi yang sudah baik menuju ke arah yang lebih baik. 

Bendera Merah Putih dalam HUT RI Ke-74

Jika diamati, seantero Indonesia tengah disibukkan dengan suasana ingar-bingar perayaan HUT-RI ke-74. Di setiap-tiap pemerintahan pusat, provinsi, hingga daerah menghimbau segenap elemen masyarakat untuk memasang sang saka merah putih di puncak tertinggi tiang instansi, rumah bahkan tempat-tempat umum lainnya sejak permulaan Agustus 2019. Berbagai perlombaan diikuti semua jenis usia seperti sebuah kewajiban tanpa peduli berapa jumlah dana yang dikeluarkan untuk menghibur, sekedar pemuas seremonial atau memang sebagai ungkapan syukur yang murni. Acara kedaerahan seperti tirakatan di sebagian besar Pulau Jawa, lomba sampan layar di Batam, lari obor estafet di Semarang, pawai jampana di Bandung, pacu kude di Aceh, pacu kapal di Riau, peresean di NTB, barikan di Malang, festival telok abang di Palembang dan masih banyak acara lainnya rutin di gelar setiap tahunnya.

Ada juga yang mengusahakan berbagai macam cara untuk meraih penghargaan rekor Muri atau menciptakan berbagai sensasi baru agar tampak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya seperti menciptakan rekor muri bendera terpanjang di Bali, tarik tambang terpanjang dan pacu kelereng pejabat tinggi negara oleh Kemendagri dan BNPP, tarian bersama petugas Pemasyarakatan dan Warga Binaan seluruh Indonesia dan lain sebagainya.   

Kemeriahan kemerdekaan yang kita rasakan di zaman reformasi ini, mungkin membuat kita sedikit enggan membayangkan kegetiran hidup dan penderitaan para pendahulu yang hidup di zaman kerasnya rodi romusha, dimana tulang dan otot akan remuk begitu saja, fisik dan psikis tersiksa, selalu dirundung perasaan was-was bak seekor nyamuk yang dengan sekali tepukan, tamat riwayatnya.

Syukur(lah) kita tidak hidup di zaman feodal yang tidak ada perlombaan makan kerupuk, lari karung, panjat pinang, tari balon dan lain sebagainya. Pada zaman itu, bisa jadi kita hanya akan menjadi “tulang-tulang” berserakan diliputi debu seperti petikan puisi “Kerawang-Bekasi” karya Chairil Anwar. Si penyair memang piawai menyulap derita dalam prosa sehingga fakta pada zaman itu tetap abadi di dalam sebuah sastra hingga bisa kita nikmati. Seperti yang diungkapkan Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya yang berjudul “Iblis Tidak Pernah Mati” bahwa bagaimanapun fakta diberangus, sastra tetap harus berbicara.

Pesan dalam syair kuno itu bukan “sekedar” berbicara demi menggugah simpati kita sebagai bagian dari bangsa, melainkan ada pesan khusus yang harus dijalankan sebagai tugas bersama. Sepemikiran dengan gagasan komunitas-komunitas terbayang yang dituliskan dalam “Imagined Community” karya Benedict Anderson, Chairil tampaknya dengan “kesadaran” telah jauh membayangkan kemerdekaan melalui “harapan”. Harapan itu harus terus dibangun dan dihidupkan sekalipun sudah melenyapkan 3 hingga 4 ribu nyawa bahkan lebih dalam perwujudannya.

Kami sekarang mayat. Berikan kami arti. Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian”. Dengan diksi “mayat” Chairil ingin menegaskan bahwa sudah terlalu banyak duka di negeri ini, banyak “korban” dari para penjajah rakus, serakah, radikal dan tidak manusiawi, maka semangat persatuan dan kesatuan dalam mewujudkan mimpi Indonesia yang merdeka sesuai impian terbayang Chairil semoga tetap terjaga.

Namun apakah setelah 74 tahun merdeka, negeri ini memang sudah benar-benar lepas bebas dan merdeka dari “mayat” dan “tulang-tulang” berserakan?

Ternyata sekalipun tidak lagi terjajah oleh bangsa asing, kata “mayat” masih tidak asing di negeri ini. Mayat-mayat yang dahulu adalah korban dari kekerasan para penjajah, kini masih berserakan sebagai korban perdagangan manusia (human trafficking) oleh sesama bangsanya sendiri. Bahkan dari 34 provinsi di Indonesia, ada satu provinsi yang terkenal dengan julukan “Provinsi Jenazah” karena rutin menerima kiriman jenazah Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari luar negeri yakni NTT.

74 tahun Indonesia merdeka, 74 jua jumlah jenazah PMI yang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dalam kurun waktu Januari hingga Agustus 2019 sesuai data dari tim Pelayanan Kargo Kupang di lapangan. Jumlah ini selalu mengalami kenaikan, dimana pada tahun 2017 sejumlah 64 jenazah PMI dan pada tahun 2018 sejumlah 104 jenazah. Lalu berapakah totalnya pada akhir tahun 2019? Masih menghitung.

Jenazah PMI asal Malaysia tiba di Kargo Bandara El Tari Kupang

Sebagian besar PMI asal NTT yang bekerja ke luar negeri berangkat melalui jalur ilegal karena termakan iming-iming para calo dan sponsor. Mereka dijual bak barang dalam nominal tertentu, diberangkatkan dari jalur ilegal dan ironisnya yang bertindak sebagai calo di lapangan adalah saudara sendiri yang satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Mereka rela menjual bangsanya sendiri hanya demi memperkaya diri dan golongannya. Sadis bukan? 

Maka benarlah pemikiran James T. Siegel dalam bukunya “Penjahat Gaya Orde Baru” yang mengungkapkan bahwa penjahat dan penjahat pada akhirnya punya hubungan dengan perkembangan nasionalisme Indonesia dan dalam hal ini seorang kriminal selalu berada di tepian masyarakat Indonesia dan tidak pernah berada di luarnya. Demikian juga pelaku kriminal perdagangan orang sama sekali bukan orang asing, melainkan berasal dari dalam masyarakat itu sendiri.

Sebagai korban human trafficking, PMI dieksploitasi habis-habisan hingga kehilangan nyawa di tangan majikan tak berbelas. Bahkan sudah mayatpun, mereka masih diperdagangkan oleh agen mayat dengan menguras keluarga korban  sebagai persyaratan pemulangan jasadnya ke tanah air.

Lantas bagaimana peran negara dalam menuntaskan permasalahan human trafficking yang “katanya” sudah merdeka selama 74 tahun ini? Apakah negara justu masih sibuk dengan perayaan-perayaan seremonial kedaerahan yang sudah kita bahas sebelumnya?

Ironisnya, upaya dalam meminimalisir tindakan kriminal ini masih setengah-setengah. Negara masih belum mampu mencari solusi dalam menuntaskan akar permasalahan perdagangan orang dan mengusut tuntas para pelaku perdagangan orang. Rakyat golongan  bawah yang kesulitan secara ekonomi masih tetap menjadi korban perdagangan orang. Mereka tidak punya pilihan pekerjaan alternatif yang mampu menghidupi jika mereka bertahan di daerah asalnya.

Sebaiknya pemerintah bisa sungguh-sungguh menggunakan mata, hati dan telinga dalam mendengarkan suara rakyat dan memberi jawaban solusi dari berbagai penderitaan korban, sebab suara korban adalah suara Tuhan (Vox Victimae, Vox Dei). Pemerintah wajib melakukan perbaikan dari semua sektor yang lebih berpihak pada rakyat mulai dari sektor ekonomi, pendidikan, sosial, budaya dan perlindungan hukum yang menjamin terpenuhinya hak-hak rakyat termasuk PMI yang bekerja di luar negeri. Rakyat membutuhkan lapangan pekerjaan agar bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka membutuhkan pendidikan, pelatihan, bimbingan sehingga bangsa ini punya SDM yang berkualitas sesuai dengan tema Kemerdekaan 74 tahun Indonesia. Semoga harapan ini bisa teralisasi sesuai dengan bayangan para pendahulu kita yang dahulu jua membayangkan kemerdekaan dan bayang kita bersama tentang perwujudan “SDM Unggul Indonesia Maju”. Salam Kemerdekaan! Jayalah Indonesia!