Friday, August 16, 2019

Lokakarya Membangun Sistem Kerja Relawan TPPO Dan Kekerasan Berbasis Gender

Laporan dari Jeni Lamao, relawan Sahabat Insan di Kupang, NTT

Hari ini, tanggal 13 Agustus 2019, aku bersiap untuk mengikuti kegiatan Lokakarya Membangun Sistem Kerja Relawan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Kekerasan Berbasis Gender yang diadakan di gedung DPD RI Provinsi NTT. Hampir pukul delapan aku sudah sampai di tempat kegiatan, dan petugas langsung mengarahkan untuk menuju lantai 2. Aku naik tangga dan di lorong bertemu dengan Mama Federika, Ketua Pengurus Rumah Harapan. Kemudian kami diarahkan untuk masuk ke dalam aula yang masih sepi. Tak lama kemudian satu per satu orang mulai berdatangan. Kegiatan yang rencananya dimulai pukul delapan, akhirnya dilaksanakan pukul 9.30 WITA.


Mengawali lokakarya pagi ini, Mama Pendeta Pao Ina Bara Pa-Ngefak selaku moderator mempersilakan salah seorang peserta untuk memimpin doa. Selanjutnya, Mama Federika selaku tuan rumah memberikan gambaran secara garis besar tentang lokakarya ini, yang lahir karena GMIT melihat bahwa persoalan perdagangan orang dan kekerasan berbasis gender merupakan persoalan serius yang dihadapi baik oleh pemerintah maupun masyarakat NTT. Oleh karena itu, diperlukan seseorang yang memiliki kerelaan hati, tenaga, waktu, ilmu, semangat dan ketulusan. Di sinilah peran dari seorang relawan. Karena setiap pribadi tidak bisa untuk bekerja sendiri, maka penting untuk membangun sistem kerja bersama para relawan. Tidak sedikit orang yang memiliki kerelaan hati tersebut. Buktinya, peserta yang hadir hari ini berasal dari berbagai bidang dan profesi: psikolog, advokat, dosen, mahasiswa, pegawai pemerintah, lembaga-lembaga sosial seperti Jaringan Perempuan Indonesia Timur dan Rumah Harapan, serta institusi penegak hukum.  


Tujuan dari lokakarya ini adalah untuk memberi pengetahuan manajemen tentang kerja relawan dalam mendampingi korban perdagangan orang dan kekerasan berbasis gender lainnya; membangun pemahaman bersama relasi kerja antar relawan dan berjejaring; serta membangun sistem kerja relawan dan kerja sama dengan jaringan. Ada empat orang narasumber yang memberikan materi dalam kolakarya ini yaitu:

1) Ibu Filiphin Taneo Therik, Wakil Direktur Sanggar Suara Perempuan Soe, yang membawakan materi tentang "Kapasitas Relawan dan Management Jejaring".

Ibu Filiphin memulai materinya dengan menyebutkan definisi relawan, yang berarti orang yang bekerja secara sukarela membantu dalam pelayanan atau organisasi tertentu tanpa dibayar dan menyediakan tenaga, waktu, ide, untuk mencapai tujuan organisasi, dengan tugas tanggung jawab yang besar atau terbatas, tanpa atau dengan sedikit pelatihan khusus, tetapi ada pula dengan latihan yang sangat intensif dalam bidang tertentu, untuk bekerja secara sukarela. Selain definisi, Ibu Filiphin juga memaparkan alasan orang mau menjadi relawan, antara lain adanya kepuasan diri, rasa ingin menolong sesama, mempelajari sesuatu dan memperoleh pengalaman. Kemampuan relawan dapat ditingkatkan dengan penguatan kapasitas dan pengembangan. Penguatan kapasitas mencakup pelatihan, diskusi, magang, sedangkan pengembangan menunjuk pada kesempatan-kesempatan belajar. Tahap-tahap pelatihan bagi relawan pun dipaparkan, antara lain: 1) Persiapan, yaitu mempersiapkan relawan untuk menerima pelatihan mental dan fisik; 2) Perkenalan, yaitu memperkenalkan sukarelawan baru kepada orang-orang dalam organisasi; 3) Orientasi, pengenalan organisasi dan tugasnya; 4) Pelatihan dasar, yaitu pengetahuan ketrampilan dasar yang diperlukan; dan 5) Pelatihan lanjutan sesuai kebutuhan. 

Tujuan jejaring yaitu meningkatkan partisipasi dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan bersama dan peningkatan mutu kerja. Syaratnya, ada dua pihak atau lebih yang memiliki visi yang sama, ada kesepakatan, saling percaya dan membutuhkan, dan ada komitmen bersama. Agar kerja jejaring semakin kuat, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu mengendalikan emosi, menghargai orang lain, dan mengkritik dengan cara yang ringan. Untuk membangun jejaring itu bukan perkara gampang, ada banyak tantangan yang harus dilalui seperti kurangnya koordinasi antar pihak, keterbatasan dana, SDM dan fasilitas terbatas, dan ego sektoral. Ibu Filiphin menutup materinya dengan memberikan penguatan bahwa jika satu sama lain mau membantu komitmen bersama maka semua pasti akan berjalan dengan baik.

2)  Bapak Haris Oematan dari Circle Of Imagine Society Timor, yang membawakan materi tentang "Prinsip, Nilai dan Mekanisme Kerja Relawan."

Relawan memiliki identitas asali yang merupakan panggilan historis dan teologis. Semua berawal adanya Panggilan Illahi yang memanggil jiwa-jiwa untuk menjadi pribadi bermakna bagi Sang Pencipta dan seluruh ciptaan-Nya. Kerelaan adalah melakukan sepenuh hati seperti untuk Tuhan, pilihan berdasarkan kesadaran, memperhatikan hak dan martabar orang lain, memberikan inspirasi kepada masyarakat dan relawan, menganjurkan hak asasi dan kesetaraan. Nilai-nilai dari seorang relawan adalah kerelawanan, kesetaraan, keterbukaan, keadilan, tanpa kekerasan dan kreatifitas. Pak Haris mengungkapkan bahwa supaya bisa mengerti orang lain, kita perlu untuk pergi ke rumah orang itu, untuk melihat apa yang dilakukan. Sama halnya jika ingin mengerti suatu lembaga, perlu untuk pergi dan melihat tata cara kerja lembaga tersebut sehingga tahu bagaimana untuk berjejaring. Satu sama lain perlu bertandang ke rumah masing-masing agar kerja sama dapat berlangsung dengan baik (Mazmur 51:14b). Kerelawanan adalah melakukan dengan sepenuh hati seperti untuk TUHAN. Kerelawan adalah pilihan berdasarkan kesadaran. Kerelawanan merupakan sarana bagi individu ataupun kelompok untuk menangani kebutuhan manusia lingkungan dan sosial. Kerelawanan memperhatikan hak, martabak dan budaya orang lain. Kerelawanan menganjurkan hak asasi manusia dan kesetaraan. Relawan dibagi menjadi 4, yaitu a) Relawan Umum (siapapun bisa menjadi relawan); b) Relawan Program (didapat dari relawan umum dan dibiayai), c) Relawan Pendiri (didapat dari pengalaman), dan d) Relawan Manajemen (relawan yang diperlukan dalam mengatur suatu lembaga dan direkrut sesuai kompetensi). 

3) Ibu Libby Sinla Eloe, Koordinator Rumah Perempuan, yang membawakan materi "Tantangan dan Pembelajaran Kerja Relawan Kasus Perdagangan Orang dan Kekerasan Berbasis Gender Lainnya."

Pada kesempatan ini Ibu Libby mereview kembali pernyataan pemateri-pemateri sebelumnya, bahwa relawan adalah seseorang yang bekerja tanpa dibayar, tanpa membedakan profesi, namun harus memiliki komitmen. Sebagai relawan, kita harus berani berbeda dengan orang lain, harus berjejaring karena tidak bisa dikerjakan sendiri dan harus mampu bekerja sama dalam tim. Relawan harus bisa berbagi peran agar dapat secara bersama membangun sistem. Dalam melakukan kerja pasti ada tantangan yang dihadapi. Sering ada kepentingan masing-masing, ada pemahaman yang berbeda dalam tim misalnya tentang sarana dan prasarana yang terbatas, korban dan keluarga yang tidak jujur, korban dan jaringan yang tidak mampu menjaga rahasia. Relawan perlu banyak belajar hal-hal baru karena masalah di masyarakat sangatlah kompleks. Semua harus saling bekerja sama karena tidak ada satu lembaga pun yang menjadi super power, sehingga semua perlu berjejaring. 

4) Ibu Nuriyani Ballu, PANIT PPA Polda NTT, yang membawakan materi tentang "Penegakan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Kekerasan Berbasis Gender Lainnya". 

Ibu Nur mengawali materinya dengan menayangkan jumlah kasus TPPO di Polda NTT. Banyak pelaku TPPO merupakan orang dekat korban, baik itu suami, saudara, tetangga, dan teman. Modus operandi TPPO biasanya adalah dengan melakukan pemalsuan identitas. Landasan hukum kasus TPPO sangatlah banyak, mulai dari Undang-undang sampai Peraturan Pemerintah, misalnya UU no. 21 tahun 2007 tentang TPPO, Peraturan Kapolri no.pol:10 tahun 2007 untuk melindungi perempuan dan anak. Ibu Nur menguraikan bahwa kejahatan asusila saat ini banyak dilakukan melalui media sosial, yang membuat banyak korban berasal dari kalangan anak dan remaja. 

Setelah semua pemateri menyampaikan paparannya, moderator memberikan kesempatan kepada tiga perserta untuk bertanya. 

Pertanyaan pertama dari Ibu Merry dari Pondok Pergerakan, yang prihatin atas banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi dan tidak mendapatkan perhatian. Ada pemaksaan perkawinan antar saudara, ada kasus sodomi yang tidak diproses hukum, ada anak yang sudah memegang HP yang isinya film porno semua dan lain sebagainya. Kasus kekerasan kepada perempuan biasanya terjadi antara tengah malam sampai dini hari. Korban biasanya lari ke jalan untuk menyelamatkan diri, sedangkan ada banyak ancaman kekerasan di jalan. Ibu Merry menyarankan agar gereja perlu menyediakan tempat 24 jam bagi para korban ini untuk melindungi diri dari kekerasan yang mereka alami. Bapak Haris kemudian menanggapi pertanyaan tersebut dengan mengungkapkan harapannya bahwa suatu saat akan dapat berdiri sebuah rumah bersama yang dapat dipakai selain untuk melindungi korban, juga sebagai sarana belajar bagi anak-anak agar mereka memiliki pengetahuan dini tentang reproduksi dan bisa menjaga diri. 

Penanya kedua, Ibu Len dari P2TP2A menanyakan kenapa butuh banyak saksi untuk kasus pemerkosaan ayah kepada anak. Menurutnya hanya cukup satu saksi untuk memproses hukum kasus semacam itu, yaitu korban tersebut. Ibu Filiphin menjawab bahwa untuk mengubah peraturan perlu proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak. Oleh sebab itulah kenapa kita sangat membutuhkan kerja berjejaring dan saling mendukung kerja masing-masing sehingga suatu saat nanti keadilan bagi korban benar-benar dapat ditegakkan.

Sedangkan penanya terakhir, Aris Rona dari DP3A menanyakan mengapa sulit sekali menangkap pelaku TPPO. Ibu Nur menjawab bahwa kasus penanganan TPPO memakan waktu cukup lama karena penanganan untuk korban tergantung dana dan jarak. Misalkan jika ada kasus di Soe, maka harus menghadirkan saksi dari gereja di Soe.  

Setelah makan siang, lokakarya kembali dilanjutkan. Kali ini dilakukan grup diskusi. Peserta dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan profesi, yaitu LSM, APH, Psikolog dan Relawan. Dari keempat grup diskusi tersebut, kelompok APH yang dipilih untuk melakukan presentasi. Berikut presentasi mereka: 

a) Relawan adalah orang yang bekerja dengan hati secara suka rela untuk kepentingan kemanusiaan. Siapa relawan itu, yaitu setiap orang yang dengan rela memberi diri, pikiran, tenaga dan waktu untuk kemanusiaan. 

b) Manfaat relawan bagi organisasi adalah untuk melindungi masyarakat khususnya perempuan dan anak, serta memberi perlindungan kepada korban kekerasan. Manfaat relawan bagi diri sendiri adalah memenuhi panggilan hati untuk menolong sesama, mendapatkan pengalaman dan agar dapat direkomendasikan untuk mendapatkan beasiswa atau pekerjaan baru. 

c) Prinsip kerja relawan: ikhlas, jujur, memiliki simpati dan empati, memberikan solusi dan tidak menambah masalah baru lagi. Kode etik relawan: tidak boleh memanfaatkan keadaan, atau memanfaatkan korban untuk kepentingan pribadi. 

d) Pembagian tugas dan peran: sesuai dengan SOP, sebagai mediator, memberikan informasi mengenai hukum, kesehatan, hak-hak korban. Kontrak penting untuk dibuat untuk menjelaskan tugas dan tanggung jawab relawan, serta menetapkan waktu kontrak, hak dan kewajiban relawan. 

e) Supervisi penting dilakukan secara teratur untuk meningkatkan kinerja. Sedangkan reward juga penting untuk diberikan sebagai dorongan untuk bekerja lebih baik. Orientasi juga perlu diberikan untuk menambah wawasan dan pengetahuan. 

f) Jejaring perlu dilakukan dengan melakukan kerjasama dari berbagai pihak. Hambatan-hambatan berjejaring antara lain: saingan antar relawan, kurangnya koordinasi dan komunikasi, bekerja tidak mengikuti mekanisme/tahapan kerja, ego sektoral, adanya permasalahan internal yang berpengaruh negatif pada pendampingan dan kerja jejaring, ketidakterbukaan antar jejaring, terkesan ada rebutan kasus, keterbatasan tenaga dan fasilitas, terlalu kaku dan masih kurang dalam memberikan kenyamanan. 

Selesai pemaparan dari kelompok terpilih, Ibu Rika Tadu Hungu menyatakan perlu ada pertemuan selanjutnya untuk membahas SOP dalam penanganan korban dan semua peserta setuju akan hal tersebut agar ada satu pemikiran di antara jejaring dalam penanganan korban. Lokakarya ini kemudian ditutup dengan merefleksikan diri diiringi oleh musik yang menenangkan, dilanjutkan dengan doa penutup dan foto bersama.