Peringatan Santa Bakhita, pelindung korban perdagangan manusia di tahun 2021 ini dilakukan di Taman Ziarah Oebelo dengan melaksanakan acara Doa dan Refleksi Bersama dengan tema: Apakah Migrasi Budaya NTT? Acara ini dilakukan dengan sangat sederhana dan hanya mengundang jaringan-jaringan terdekat. Ada Mama Pendeta Pao Ina Bara Pa yang hadir bersama suami, Relawan JPIT, Mama Maria Hingi dari SBMI, Relawan Rumah Harapan, Frater dan Diakon CMF, serta perwakilan dari JRUK.
Materi oleh Pater Gregorisu Neonbasu SVD, PhD-Antropolog
Realitas NTT dan Latar Belakang
‘Migrasi dam
Budaya NTT, Sebuah Refleksi Antropologis’ itulah judul yang baru yang diberikan
oleh pater. Walau tidak ditampilkan data-data, namun selalu disinyalir bahwa
Nusa Tenggara Timur merupakan penyumbang angka terbesar bagi pokok bicara
'migrasi'. Jika ditempatkan dalam konteks NTT, maka arti dasar migrasi adalah
ber-pindah tempat, ber-pindah dari kampung ke luar kampung. Tujuan perpindahan
dari kampung dapat diartikan sebagai berikut. Pertama, pindah dari kampung ke kota; kedua, pindah dari kampung ke luar daerah atau negara; ketiga, proses perpindahan itu timbal
balik, artinya pulang balik dalam jangka waktu tertentu. Para
antropolog yang mempelajari kawasan Nusa Tenggara Timur menuturkan berbagai
latar budaya, tradisi dan kebiasaan yang menyebut juga fenomena perpindahan
dari ke kampung ke luar daerah seperti disebut di atas. Secara umum, masyarakat
NTT sangat dekat dengan apa yang disebut sebagai warisan, tradisi,
adat-istiadat, budaya dan kebiasaan serta hukum tak tertulis, dan aturan
kemasyarakatan. Nampaknya nama berbeda, namun substansi yang mau dilukiskan di
sini hampir sama dan sebangun berkenaan dengan kekayaan budaya yang dimiliki
manusia dan masyarakat NTT.
Aras
pembicaraan kita mengenai migrasi secara kultural dan dalam bingkai bahasa
sebetulnya merupakan refleksi lanjutan dari pengertian dasar (a) perjalanan,
dan (b) perpindahan. Sebebetulnya diskusi yang lengkap berkenaan dengan dua
istilah budaya ini dapat disari dari tradisi lisan, terlebih ketika
masing-masing kelompok masyarakat mengisahkan usul-asal suku mereka. Ada dua
pertanyaan semiotik dapat disampaikan di sini, (a) mengapa harus berjalan; dan
(b) mengapa harus berpindah? Dua pertanyaan fundamental dan sangat sederhana
inilah dapat dijadikan sebagai dasar terjadinya migrasi dalam masyarakat kini
dan juga di masa silam. Umumnya masyarakat berjalan dan berpindah untuk mencari kemungkinan yang lebih baik
bagi kehidupan ekonomi, dan dengan demikian juga untuk membangun kehidupan yang
lebih sejahtera.
Mencari
Akar Persoalan
Salah satu
alasan antropologis sebagaimana telah disebut sebelumnya dapat dirinci di sini
untuk mencari akar persoalan yang sedang diderita masyarakat Nusa Tenggara
Timur. Pada jaman lampau terjadi migrasi kultural dan alamiah sebagai berikut:
(a) antar kampung, (b) antar daerah swapraja, (c) antar kabupaten, (d) antar
pulau, (e) antar negara dan bahkan (f) antar kawasan. Kata dasar dari proses
ini tetap pada dua hal fundamental perjalanan
dan perpindahan. Persoalan kita
kini adalah tidak ada komitmen untuk mempelajari alasan-alasan migrasi natural,
yang ternyata terjadi secara struktural hingga saat ini, walau dengan dasar
pertinbangan yang sudah berkembang.
Masalah lain
terkait migrasi keluar untuk mencari nafkah di daerah lain adalah masih belum
ada instrumen kebijakan perlindungan buruh migran, tingkat pendidikan yang
sangat rendah, peranan lembaga sosial kemasyarakatan (Gereja dan
Lembaga-Lembaga adat di desa) di samping berbagai faktor penarik dan pendorong
lainnya. Persoalan kita berikut adalah orang-orang yang bekerja di luar NTT
(kaum migran) adalah orang-orang yang tidak memiliki keterampilan. Sejauh ini
sudah ada beberapa pemerintah daerah (Kabupaten Belu dan Flores Timur) yang
telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) mengenai perlindungan buruh migran.
Sebagai contoh di Kabupaten Flores Timur, migrasi untuk bekerja memiliki
sejarah panjang yang dipicu perdagangan laut tradisional oleh saudagar Sulawesi
pada awal 1950-an (TIFA NTT, 2014). Jika sejenak kita menganalisis migrasi
dalam perspektif jaman sekarang, maka ada sekurang-kurangnya tiga alasan
terjadi fenomena migrasi: (a) tekanan ekonomi, (b) alasan sosial-politik dan
(c) wibawa atau pribadi yag aktif.
Pertama berkenaan dengan
tekanan ekonomi. Umumnya para orang tua NTT bersikap positif terhadap migrasi
oleh karena pemikiran sederhana saja, yakni untuk mendapatkan penghasilan. Kedua, tekanan
sosial politik. Secara ringkas, terjadinya migrasi atau proses perpindahan
penduduk seperti ini hanya atas pertimbangan praktis sosial-politik saja yakni
untuk mendapatkan posisi dalam salah satu partai politik. Dengan cara seperti
itu misalnya hasrat hati untuk menjadi pengurus partai dapat dipenuhi.
Pemikiran yang berada di balik kelompok orang atau orang muda seperti ini
adalah keinginan untuk memperluas jejaring pengaruh di antara orang-orang
sebaya atau bahkan lebih dari itu. Hal itu juga dapat disebabkan atau
dipengaruhi oleh sifat kelesuan atau kekosongan. Ada adagium lama yang
berbunyi, hidup di desa dan kampung selalu sepi, lesu dan kering, sehingga
migrasi ke tempat lain adalah jalan keluar dan bahkan pilihan terbaik.
Ketiga, tekanan wibawa
atau alasan pribadi yang beraneka macam. Hal yang paling mencolok di sini
adalah migrasi oleh karena hanya mengikuti orang atau rekan lain yang ke luar
dari kampung. Sikap hidup seperti ini ternyata dimiliki banyak anak muda, yang
banyak kali tidak pernah memikirkan akibat bagi kemampuan hidup ekonomi, dasar
pendidikan dan sikap sosiai kemasyarakatan. Tidak saja alasan ketiga ini
melainkan juga pertama dan kedua di atas, semuanya merupakan
persoalan-persoalan yang kini kita hadapi. Lalu bagaimanakah reaksi dan sikap
kita? Bagaimana sikap Gereja kita? Bagaimana sikap dan pandangan agama kita
masing-masing selama ini berkenaan dengan fenomena yang sama.
Perspektif dan Jalan Keluar
Dalam perspektif
Kristen, setiap kesulitan, tantangan dan persoalan seberat apapun harus dapat
diselesaikan dengan berakar pada Tuhan. Karena itu yang seharusnya diperhatikan
dengan sungguh-sungguh adalah refleksi mengenai komitmen dan konsistensi bagi
kepentingan hgidup manusia dan masyarakat yang konkret. Hal ini dapat ditunjuk
melalu beberapa prinsip kegiatan. Misalnya komitmen Gereja untuk terus dan
tetap memberikan pendampingan kepada kaum muda. Kemudian komitmen Gereja untuk
mencipta lapangan kerja bagi warga jemaat atau umat. Masih juga komitmen Gereja
untuk melayani sakramen, melayani Ekaristis Kudus dan berbagai kebutuhan
manusia dan masyarakat setiap hari.
Dalam konteks
ilmu antropologi, pendekatan yang kiranya sesuai adalah kembali kepada
keluarga-keluarga dengan cara membina persaudaraan di dalam kehidupan keluarga
dan masyarakat setiap hari. Kemudian dilanjutkan dengan memelihara serta
membangun komitmen warga masyarakat untuk hidup yang layak dan terpuji. Hal
seperti ini tentunya dilengkapi dengan usaha menanamkan 'pemahaman praktis'
mengenai hidup yang layak, baik dan bermartabat. Justru dengan cara-cara
seperti inilah warga masyarakat, dan terlebih kaum muda akan dapat menyadari
dirinya untuk memberi sumbangan bagi pengembangan desa atau kampung, dan tidak
perlu memilih jalan pintas untuk berpindah atau migrasi ke tempat lain dengan
alasan apapun.
Pada sisi
tertentu, hal seperti di atas ini sangat membutuhkan keterlibatan peran dan
fungsi tokoh masyarakat, tokoh adat dan para tokoh agama. Mereka yang
ditempatkan sebagai sesepuh dalam masyarakat hendaknya berpegang teguh pada
warisan dan budaya serta tradisi kehidupan bermasyarakat. Baik warisan, maupun
di dalam ajaran-ajaran agama, hendaknya terus dipelihara hal-hal positif yang
senantiasa menyapa kehidupan kaum muda, dan teristimewa juga kelompok kaum
migran tersebut. Akhir-akhir ini ada sebuah gejolak menarik bahwa manusia dan
masyarakat tengah kehilangan sosok pemimpin atau tokoh-tokoh yang baik dalam
kehidupan bermasyarakat setiap hari.
Pertama, tokoh contoh.
Pertanyaan kita, manakah ukuran seseorang yang boleh disebut sebagai tokoh
contoh? Biasanya ada beberapa unsur praktis yang dapat dipasang bagi kehidupan
seseorang sesepuh yang memenuhi predikat tokoh contoh tersebut. Antara lain
orang yang dianggap sesepuh itu memiliki hidup yang baik, hidup bermartabat,
hidup yang berdasar pada agama, hidup yang selalu bersumber apda ajaran Kitab
Suci, dan kehidupan yang senantiasa diinspirasi oleh kekuatan yang mengalir
dari Perayaan Ekaristi Kudus. Ini ukuran tokoh-tokoh contoh dalam perspektif
Kristen Katolik umumnya.
Kedua, yang berikut adalah
kita kehilangan tokoh pengabdi, yakni sesepuh yang selalu mau merangkul.
Berkenaan dengan kehilangan tokoh pengabdi, belakangan ini terasa di mana-mana
bahwa hampir semua aspek kehidupan manusia, persaoalan ini senantiasa mengemuka
secara significan. Karena itu hal yang seharusnya diperhatikan dengan lebih
sungguh-sungguh adalah sikap berhati-hati oleh karena hal seperti ini merupakan
persoalan kemasyarakatan yang sangat umum, dan selalu ada di setiap tempat, dan
dalam segala peristiwa hidup kemasyarakatan. Tantangan yang setiap saat selalu
datang hendaknya dihadapi dengan sikap yang lebih arif dan bijaksana. Apalagi
menghadapi problem Covid-19 yang semakin mencemaskan. Kiranya masing-masing
kita diundang untuk menjadi tokoh yang mengabdi sesama, sehingga perlahan-lahan
kehausan masyarakat berkenaan dengan tokoh pengabdi ini dapat diatasi.
Ketiga, hampir sama dengan
dua persoalan sebelumnya, sering masyarakat kita sangat membutuhkan tokoh
disiplin, disiplin diri dan disiplin hidup bersama. Ada sekian banyak tokoh
masyarakat atau sesepuh yang tidak memperhatikan konsistensi untuk hidup secara
lebih benar. Hal itu terlihat misalnya mereka tidak memiliki lagi komitmen
untuk membangun masa depan yang lebih baik. Karena itulah kaum muda kita kini
umumnya sedemikian mengalami kesulitan untuk menjadikan para sesepuh sebagai
contoh untuk membangun masa depan yang lebih baik. Hal yang sangat
memprihatinkan adalah kelompok orang seperti ini kehilangan orientasi budaya,
tradisi dan warisan leluhur. Tentunya termasuk juga dengan hilangnya orientasi
para sesepuh pada warisan agama, gereja dan masyarakat.
Mengulang tutur
hal-hal di atas, masyarakat pada saat ini sangat mendamba tokoh-tokoh
masyarakat yang bermartabat, dan sosok pemimpin yang selalu mengabdi
kepentingan umum. Dengan cara yang sama dambaan masyarakat akan selalu
terpenuhi yakni muncul para sesepuh yang selalu melayani kepentingan umum atau
kebutuhan hidup bersama setiap hari. Tentunya menjadi tugas kita bersama juga
untuk memelihara persaudaraan dengan berusaha memahami kehidupan sesama kita
yang berada di daerah-daerah migrasi. Persadaraan bakal dengan sendirinya
tumbuh dan berkembang, apabila di dalam membangun iklim kebersamaan itu semua
pihak konsisten untuk mencari mindset dan
hearthset dari para migran, agar pada
gilirannya usaha untuk memberi bantuan kepada kaum migran dapat dilaksanakan
dengan sebaik mungkin.
Untuk itulah
actio kita justru ada pada proses penyadaran diri dengan memperhatikan peran
dan fungsi kita masing-masing dalam kehidupan bersama setiap hari. Apakah kita
sebagai pribadi dan individu atau warga kelompok dan anggota Gereja, kualifikasi
pemahaman kita mengenai posisi kaum migran sudah seharusnya diperhatikan dengan
lebih sungguh-sungguh. Kaum migran siapapun adalah bagian integral dari
kehidupan kita. Mereka adalah partner kita yang harus diberi bantuan, ketika
mereka sangat membutuhkan bala bantuan untuk mengatasi kesulitan jenis apa saja
yang sedang memborgol kehidupan mereka. Salah satu gaya peran dan fungsi yang
ingin kita bagi kepada kaum migran adalah meditasi, kontemplasi dan rekoleksi,
untuk menemukan jalan terpuji dan terpandang di dalam usaha membantu para
migran di sekitar kita.
Sisipan tentang Pikiran Manusia
Pikiran Manusia
adalah hadiah Pencipta yang terampuh dan tidak ada bandingan. Kita berjumpa
pada kesempatan ini juga untuk mengembangkan daya pikir kita masing-masing,
dalam kerangka membantu rekan-rekan kaum migran dan keluarga mereka serta tentu
pula masyarakat dan lingkungan hidup kita. Pikiran manusia merupakan ciptaan
Tuhan yang paling mendalam. Ada empat hal dapat disari dari ciptaan Tuhan yang
paling mendalam ini. Pertama, pikiran
manusia merupakan sari pati dari seluruh ciptaan, alfa dan omega, yang adalah
sesuatu kekayaan tanpa batas. Kedua, pikiran
manusia tak dapat dibandingkan dengan keindahan mentari, baik mulai dari pagi
hingga terbenamnya. Ketiga, pikiran
manusia melampaui sekian banyak puncak pegunungan di darat dan bahkan menembusi
kedalaman dasar-dasar samudera. Keempat, pikiran
manusia melebihi tinggi dan lebarnya cakrawala alam raya.
Keperkasaan
pikiran, ternyata ada dan eksis (dekat sekali) dengan kita, ada dalam diri
manusia, dan sangat integral dengan kehidupan manusia dan masyarakat setiap
hari. Eksistensi pikiran, selalu siap dimanfaatkan bahkan tidak dibutuhkan juga
ia selalu siap untuk melayani manusia. Walau dalam kenyataan setiap hari dari
sebagian besar hidup manusia, sering pikiran manusia itu diabaikan. Dalam arti
manusia dan masyarakat tidak perduli dengan hadiah terbesar dari Tuhan Pencipta. Dalam kenyataan hidup
setiap hari, tidak terasa pikiran manusia bagai samudera sangat luas yang tidak
ada bandingan. Setiap hari, kita seperti berdiri di tepi (pantai) dengan
menggunakan sebuah senduk teh dan mengambilnya setetes demi setetes.
Terasa ada
sesuatu yang sangat lucu, kita berusaha hidup dan bertahan dengan
tetesan-tetesan itu, padahal kita bisa memanfaatkan seluruh kekayaan samudera
tersebut. Akhirnya satu hal penting luput dari kita yakni tidak ada sesuatu,
tidak ada pengetahuan dan tidak ada sumber untuk dicari di luar diri, yang
ternyata belum kita miliki dalam ceruk-ceruk pikiran kita. Oleh karena itu,
sejenak kita perlu berdiam diri sambil hening dan penuh syahdu nan khusuk.
Kita mengganti
sendok teh dengan ember, untuk menyelami samudera bathin, lalu memanfaatkan
pikiran manusia yang sedemikian kaya. Selama ini uang, waktu dan tenaga terlalu
banyak terkuras untuk bekerja (untuk dapat uang, rumah, hidup yang baik), namun
kalau kita menggunakan waktu untuk membentuk pikiran, maka manfaatnya akan
berlipat-lipat. Dalam sejarah kehidupan umat manusia, tidak seorang pun yang
mengingat-ingat tampang Sokrates, Confusius, Shakespeare, Bach atau Bethoven,
tapi apa yang telah dicapai oleh mereka dan pikiran mereka telah menjangkau
abad-abad ini. Karena itu kita membutuhkan kontemplasi bathin. Kita berdoa bagi para migran, semua orang tua
untuk selalu mencipta situasi dan kondisi kehidupan yang baik dan terpuji.
Sering
keterlibatan kita dengan kaum migran, atau partisipasi kita untuk mendengar
jeritan hati keluarga-keluarga mereka, justru terhalang oleh berbagai
kepentingan diri. Oleh karena itulah kita hendaknya mengambil pola 'cita rasa
pengosongan diri' dalam perspektif Gereja, yakni dengan cara berusaha untuk
menanggalkan berbagai prasangka yang dimiliki, baik berkenaan dengan spiritual
religi, maupun sosial kemasyarakatan. Terlebih kita harus terus berjuang untuk
lebih memahami perspektif kehidupan para migran dan keluarga mereka, agar jalan
keluar yang akan ditempuh, benar-benar memberi sesuatu yang bermakna bagi
kehidupan mereka.
Sebetulnya hal
yang ditekankan di sini adalah tidak saja secara pasif mengosongkan diri secara
fisik, melainkan sikap respek menanggalkan berbagai prasangka sosial, untuk
membangun sikap terbuka bagi segala sesuatu yang baik, yang ditawarkan Tuhan
kepada setiap insan berbudi; dan dalam hal ini pendekatan kita dengan kaum
migran dan keluarga mereka. Pada sisi lain, dialog selalu memberi peluang baru
kepada pihak Gereja untuk tidak mempertahankan sikap triumfalis dan arogansinya serta kecendrungan ecclesiocentris,
melainkan berguru pada kepentingan manusia dan masyarakat setiap hari yang
paling konkret. Secara moral-etis, sikap terbuka dan dialog mampu menyemaikan
kepercayaan dan cinta dalam hati Gereja, agar pada gilirannya dapat ditanamkan
cinta kasih yang sama di dalam hati setiap orang yang dijumpai dan dilayani.
Di tengah
manusia dan masyarakat setiap hari, Gereja selalu membuktikan dirinya sebagai
pelayan dan pendamping yang baik dan terpuji. Sebagai pelayan yang baik,
terpuji dan jujur, Gereja selalu siap, dan tidak pernah alpa untuk hadir di
tengah persekutuan orang-orang yang dijumpai. Dalam setiap karya pelayanan,
Gereja membagi Kasih Kristus kepada semua orang, serentak pada waktu yang sama,
Gereja berjuang untuk membentuk persekutuan ilahi dengan semua orang yang
dilayani tanpa memandang bulu. Pada sisi tertentu dalam bingkai kehidupan
menggereja secara umum, ada beberapa hal yang telah diperhatikan dalam memahami
dinamika kehidupan menggereja yang terjadi di lingkungan masyarakat selama ini.
Dalam perspektif
Antropologi Teologis, Gereja terbuka untuk melayani dan mengabdi manusia dan
sementara itu pula ia terus menjalin relasi dengan misteri Kristus, sebagaimana
diwujudkan di dalam persekutuan orang-orang yang percaya kepada Kristus yang
sama, dan yang dikumpulkan dalam namaNya. Gereja harus melihat manusia konkret
yang melekat dalam sejarah hidup setiap hari, dan dalam pembicaraan kita kali
ini, manusia migran dan keluarga-keluarga yang terkait di dalamnya.
Keberpihakan
kepada kepentingan manusia dan masyarakat kini yang tidak mungkin
dilepas-pisahkan dari konteks kehidupan setiap hari, hal itu tentunya bukanlah
sesuatu yang ditawar-tawar, melainkan harus diperhatikan dengan lebih sungguh.
Prinsip teologi dan eklesiologi tidak boleh menganggap sepi cetusan hati
masyarakat yang riil secara kasat mata yang lazim mengerucut pada analisis
antropologis. Manusia dan masyarakat dengan kekayaan sejarah, zaman, struktur
sosial dan kultur yang berubah, semuanya menjadi tumpuan refleksi teologi dan
eklesiologi. Para migran, termasuk keluarga-keluarga mereka, dan bahkan semua
warga masyarakat yang berada di sekitarnya, hendaknya menjadi sentrum refleksi
Gereja untuk menemukan sebuah pendekatan pastoral teologis yang mencukupi. Baik secara internal maupun eksternal,
eksistensi kehidupan masyarakat merupakan modal dasar bagi keberhasilan karya
Gereja. Itulah maka kajian, analisis serta berbagai refleksi antropologis,
harus merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi karya perutusan Gereja.
Harus ada usaha
untuk sedapat mungkin mengelaborasi mindset
masyarakat migran secara tepat dan benar. Dan menjadi tugas Gereja yang
luhur untuk memberi apresiasi bagi mindset
masyarakat migran yang sama. Justru dengan cara seperti ini bakal terbuka
sekian banyak peluang untuk memahami situasi dan kondisi kehidupan manusia,
kemarin, kini dan nanti. Wajah kehidupan Gereja akan menjadi semakin suram jika
terdapat 'jarak sosial' yang tercipta, baik ketika berada dalam struktur
internal Gereja, maupun ketika sedang aktif menjalankan suatu tugas pelayanan
di tengah warga masyarakat pluralistik. Sering bisa saja terjadi konflik pada
berbagai level relasi, namun semuanya harus bisa diselesaikan dalam iklim
kebersamaan.
Diskusi Singkat
Materi selesai
dibawakan oleh Pater Gregorius dilanjutkan dengan tanya jawab.
- Pendeta Pao Ina Bara Pa: Mengapa keinginan seseorang ingin bermigrasi sangat tinggi, namun setelah berada di daerah migrasi, ingin kembali ke daerahnya? Dan perlu yang kita kaji adalah ketika kita keluar daerah namun di sisi lain orang dari luar juga masuk ke daerah kita, ini yang perlu kita kaji dan lihat potensi yang ada di daerah kita.
- Maria Hingi: Saya hanya ingin berbagi pengelaman saya, saya sendiri seorang yang pernah bermigrasi yang pernah bekerja di Singapura, seperti yang dibahas oleh pater tadi bahwa budaya bermigran ikut-ikutan saya sendiri seperti itu karena waktu itu melihat teman saya pulang dari Malaysia dia sukses dan saya ingin bermigran juga tapi tidak mau di Malysia karena satu rumpun yang memilki bahasa yang sama namun saya bermigran ke Singapura. Saya pergi melalui jalur TKI yang resmi sehingga saya belajar dari bahasa, pengenalan bagaimana cara setrika pakaian, saya bekerja tidak sampai habis kontrak karena saya sakit. Menurut saya ketika kita berangkat melalui jalur yang resmi maka kita di lindungi oleh organisasi migran. Saya mengharapkan kehadiran jaringan migran di luar negeri untuk tetap mengayomi para buru migran.
- Frater CMF: Yang terjadi di Soe sampai di perbatasan adalah ketika Atoin Amaf berbicara dengan memberikan okomama kebanyakan dari keluarga-keluarga yang menerima okomama tersebut sulit untuk menolak okomama tersebut dan mengiyakan anak mereka untuk pergi merantau, entah ada uang didalam okomama tersebut ataupun tidak ada. Apakah Atoin Amaf dan okomama tersebut punya pengaruh yang kuat dalam budaya Timor?
Jawaban diberikan oleh Pater merangkum semua pertanyaan.
Seorang yang pergi keluar daerah maupun luar negeri dan kembali ke daerah asalnya, itu yang disebut dengan terobosan antropologi. Saya sepakat dengan Pdt. Inna. Terkadang anak –anak kita tidak dipersiapkan berkaitan tentang pertanyaan tadi.
Saya kaitkan dengan cerita yang sudah saya paparkan tadi: anak yang
bekerja di toko dan bagaimana gajinya di bawah UMR (Rp. 200.000/bulan) namun
didukung oleh orang tuanya “daripada dia di rumah dan duduk diam di kampung saja kami tidak dapat apa-apa dari dia, lebih baik
dia bekerja dan setiap bulannya memberikan kami Rp. 50.000 itu saja sudah
cukup” ini berarti kita membiarkan jejaring penipuan untuk
terus persembunyian dalam selimut kepas-pasaan dari orang tua si anak. Harusnya
gereja yang terdiri dari umat/jemat, paroki/gemit, keuskupan/sinode bisa mampu
mengatasi para penipu migran. Gereja dan institusi pewartaan manapun tidak
bisa memberikan keselamatan yang konkrit. Ini akan manjadi PR bagi gereja-gereja
dan jejaringan untuk terus menelusuri dan mencari solusi bagi tenaga migran
yang kurang mendapat perhatian yang serius.
DOA DAN REFLEKSI BERSAMA
Doa dan Refleksi
dibawakan oleh Diakon Robin, CMF. Dalam doa dan refleksi ini, kita diajak untuk
mengingat para PMI asal NTT yang sedang bekerja di dalam Negeri mapun di Luar
Negeri ataupun Jenazah PMI asal NTT yang telah meninggal dan dipulangkan ke
daerah masing-masing (sambil membakar lilin pengharapan) dan sambil merenungkan
perjuangan Santa Baktita yang telah berjuang membebaskan para budak pada
masanya dan dinobatkan sebagai santa pelindung perbudakan. Kita juga diajak
untuk membangun komitmen untuk memerhatikan dan membantu membebaskan mereka
yang tertindas oleh praktik Perdagangan Manusia dan perbudakan.
Acara diakhiri
dengan memohon berkat melalui perantaraan Pater Gregorius, dilanjutkan dengan
foto bersama.
Acara Doa dan
Refleksi Bersama berakhir dengan baik, kami menikmati makan malam bersama
sebelum berberes-beres dan kembali ke biara. Syukur kepada Allah atas
penyertaan-Nya disepanjang kegiatan berlangsung. Kami boleh melakukannya dengan
baik, sesuai dengan protocol kesehatan yang berlaku. Semoga dengan doa dan
refleksi ini kami kembali dikuatkan dan semangat semakin berkobar untuk
menolong yang membutuhkan dengan sepenuh hati. Kasih Allah Bapa selalu
membimbing kita semua.*