Di bawah ini tulisan dari Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, yang dimuat dalam kumparan pada tanggal 8 Februari 2021, disertai dengan pengantar yang ditulis pada facebook sebagai berikut:
Setiap tanggal 8 Februari, Gereja Katolik sedunia menggelar Doa untuk Para Korban Perdagangan Manusia. Ini merupakan bentuk penghormatan terhadap Santa Bakhita (Santa Pelindung Korban Perdagangan Manusia).
Saya mempersembahkan artikel di kumparan.com hari ini untuk peringatan global ini |
Laurensia Suharsih
RD Paschal
Ignatius Ismartono
Benny Hari Juliawan
Paulus Rahmat
Kecamuk virus corona pada pembukaan 2020, terutama di episentrum awalnya—Asia Timur, Asia Tenggara, dan kapal-kapal pesiar di laut lepas—membuat banyak pekerja migran Indonesia lekas jadi korban, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung, pekerja migran rentan terpapar virus karena pekerjaan dan mobilitasnya. Menurut catatan Kemenlu RI, hingga pekan pertama Februari 2021, 171 WNI di luar negeri, mayoritas pekerja migran, telah meninggal dunia karena penyakit virus corona atau COVID-19. Sayang sekali, data ini belum mendapat perhatian serius.
Secara tidak langsung, kecamuk virus corona mempengaruhi secara signifikan kondisi kerja para pekerja migran Indonesia. Para pekerja sektor rumah tangga, misalnya, mengalami beban kerja yang bertambah sementara waktu istirahat berkurang. Selain itu, mereka juga tidak leluasa menikmati libur karena pembatasan mobilitas.
Yang lebih nahas lagi: para pekerja migran Indonesia tanpa dokumen. Di Malaysia, ada jutaan pekerja migran Indonesia dengan status ini. Sejak Malaysia menerapkan Movement Control Order, sebagian besarnya telah kehilangan pekerjaan tetapi tidak bisa berbuat banyak karena pembatasan mobilitas di Malaysia diterapkan secara represif.
Sebagai warga negara asing, para pekerja migran rentan mengalami stigma, diskriminasi, bahkan represi karena dianggap sebagai pembawa atau penyebar penyakit. Sebaliknya, dalam hal layanan kesehatan dan akses terhadap vaksin, mereka kerap dikesampingkan.
Menurut data BP2MI (2020), jumlah pekerja migran Indonesia yang pulang atau dipulangkan semasa pandemi mencapai 176.000 orang. Sebagian besarnya ialah pekerja migran yang kehilangan pekerjaan, mempercepat pengakhiran kontrak kerja, atau dideportasi karena status keimigrasiannya.
Menurut hasil pemantauan Migrant CARE di daerah-daerah basis atau sumber pekerja migran, sebagian besar pekerja yang pulang di masa pandemi ternyata tidak tercakup dalam skema jaring pengaman sosial dampak COVID-19 karena mereka tidak terdata di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Pandemi COVID-19 juga memperparah kasus perdagangan manusia yang menimpa pekerja migran Indonesia.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) melaporkan kenaikan jumlah pekerja migran Indonesia "bermasalah"--mayoritas perempuan dan merupakan korban trafficking --sepanjang 2020 mencapai 800% ! (dari 3.710 orang pada 2019 menjadi 34.863 orang pada 2020). Ironisnya, di tengah eskalasi kasus yang luar biasa, ada penurunan layanan langsung terhadap korban perdagangan manusia karena pembatasan mobilitas dan keterbatasan sumber daya.
Derita para pekerja migran Indonesia yang berhadapan langsung dengan virus corona tidak direspons secara memadai melalui kebijakan perlindungan. Pada 2020, Kementerian Ketenagakerjaan RI meluncurkan subsidi upah untuk kelompok terdampak pandemi, namun tidak bisa diakses oleh kelompok pekerja rentan (termasuk pekerja migran, pekerja rumah tangga, dan pekerja sektor informal).
Melalui Kepmenaker 151 Tahun 2020, sejak bulan Maret 2020, pemerintah Indonesia menyetop sementara penempatan pekerja migran Indonesia ke luar negeri. Kebijakan ini tentu diperlukan untuk mencegah penularan virus yang lebih masif. Namun, ternyata kebijakan ini tidak dibarengi langkah mitigasi.
Migrant CARE menerima aduan bahwa tak sedikit calon pekerja migran yang berakhir telantar atau tersandera di penampungan, bahkan ada yang diminta uang jaminan jika hendak pulang ke kampung halaman.
Dalam euforia kelaziman baru atau “new normal”, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan yang sangat berisiko dengan menerbitkan Kepmenaker 294 Tahun 2020 mengenai penempatan pekerja migran Indonesia di masa adaptasi dan kenormalan baru.
Kebijakan ini, walaupun diterapkan secara ketat dan hanya ke belasan negara, tetap membuat pekerja migran Indonesia menjadi kelinci percobaan di masa krisis kesehatan. Kekhawatiran ini terbukti, ketika Taiwan akhirnya menolak penempatan pekerja migran dari Indonesia karena menemukan puluhan pekerja migran Indonesia positif corona pada saat mendarat. Ini mempertaruhkan kredibilitas tata kelola penempatan pekerja migran Indonesia.
Situasi ini makin parah ketika, pada Februari 2021, pemerintah Indonesia memulai program penempatan ke Saudi Arabia melalui mekanisme satu kanal. Kebijakan ini kontradiktif dengan komitmen pemerintah untuk melakukan moratorium penempatan ke Timur Tengah dengan alasan pembenahan tata kelola.
Silang sengkarut kebijakan “buka-tutup” penempatan pekerja migran Indonesia semasa pandemi menyuburkan perekrutan ugal-ugalan yang bisa berujung sebagai perdagangan manusia.
Berdasarkan laporan pengaduan yang masuk ke Migrant CARE hingga awal 2021, perekrutan besar-besaran calon pekerja migran dengan basis informasi terbatas, yaitu “penempatan pekerja migran sudah dibuka kembali” kian marak. Para perekrut tidak pernah menerangkan secara utuh Kepmenaker 294 Tahun 2020 yang memberi syarat dan ketentuan yang ketat serta membatasi negara tujuan bekerja.
Perlu ada evaluasi menyeluruh atas kebijakan penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia dalam kerangka penanganan dampak pandemi. Alih-alih membuka pintu penempatan, yang seharusnya kita lakukan ialah membenahi kesiapan kelembagaan dan penganggaran untuk tata kelola penempatan dan pelindungan pekerja migran yang komprehensif berdasarkan UU No. 18/2017, yang berorientasi pelayanan publik dan tak melulu terpusat.
Indonesia juga harus menyediakan kerangka diplomasi untuk mendesakkan amandemen MoU dengan semua negara tujuan yang berbasis pada perlindungan hak pekerja migran dan memasukkan desakan pembebasan biaya penempatan yang selama ini memberatkan pekerja migran.