Catatan perjalanan Sr. Laurentina, SDP bertemu dengan para ABK di Taiwan, Maret 2024
*********************
Keprihatinan
Berkisah tentang nasib pekerja migran di Indonesia kiranya tidak akan ada selesainya. Mereka tersebar di beberapa negara di seluruh dunia. Namun saat ini yang akan saya ceritakan adalah di sekitar Asia Pasifik terutama negara-negara berkembang seperti Malaysia, Philipina, Taiwan, Hongkong, Korea dan Jepang. Para pekerja migran sektor domestik maupun perikanan punya perjuangan dan tantangannya sendiri. Tidak banyak NGO yang menjadi teman, untuk mendengarkan keluh kesah mereka saat mereka mengalami kesulitan. Belum lagi melihat persoalan para pekerja non-prosedural yang sangat rumit permasalahannya. Konon informasi yang saya dapatkan bahwa para pekerja migran ABK kebanyakan berangkat melalui PT yang bekerja sama dengan agen di negara penempatan dengan biaya yang lumayan. Dari sharing yang saya dengar bahwa biaya melalui PT beberapa tahun lalu sekitar 20 juta. Ini sudah termasuk biaya untuk mengurus paspor dan dokumen lain yang diperlukan untuk pemberangkatan.
Suka
duka
Hal
yang sangat ditunggu selain terima gaji adalah ketika kapal sandar karena
mereka dapat istirahat, bisa kumpul dengan teman temannya untuk sharing dan
berdiskusi, jalan-jalan, dapat kontak dengan keluarganya dan yang paling
penting mereka dapat melakukan ibadat/sholat dengan layak. Namun sebelumnya
kami gunakan untuk memperbaiki jaring ketika ada yang rusak dan membersihkan
kapal.Karena ketika berlajar di lautan lepas yang dilihat hanya lautan saja,
dan sangat tidak menyenangkan kalau saat bekerja mendadak sakit.
Kasus perbudakan ABK asal Indonesia ini bukanlah hal yang baru saya dengar. Hampir setiap tahun ada kasus-kasus kapal tenggelam bersama ABK, perlakuan tidak manusiawi terhadap ABK, bekerja lebih dari 20 jam sehari, dan menggunakan buku pelaut palsu. Bahkan beberapa waktu lalu banyak kisah tentang ABK yang meninggal di kapal dan langsung dibuang ke laut. Jika ada kematian di atas kapal, kasusnya menjadi begitu rumit, |
Kunjungan ke Pelabuhan Patoco
Perjuangan
ABK
Bersama rombongan JCAP saya ngobrol singkat dengan beberapa nelayan tersebut. Mereka ada yang baru 4 bulan beekrja di sana, 1 tahun bahkan ada yang sudah sampai 10 tahun lebih. Saat ngobrol saya sempat tanya tentang gaji mereka dan hampir semua menjawab yang sama yaitu 25 NT ( uang Taiwan = 12 juta/bulan). Saya juga sempat bertanya bisakah kontak dengan keluarga dan dapat mengirimkan gajinya ke keluarga. Syukur pada Allah mereka dapat mengirimkan hasil jerih payahnya untuk kebutuhan keluarga di kampungnya. Namun saat saya tanya ketika sakit bagaimana, dapat berobat ke rumah sakit atau tempat pengobatan di sekitar pelabuhan, saat itu mereka bilang, kalau sakit mereka bilang sama agen/bosnya dan akan diberi obat. Namun seringkali mereka langsung pergi ke rumah sakit secara mandiri, dengan alasan sungkan untuk minta majikannya terus jika sakit. Padahal mereka mempunyai hak, jika mereka sakit itu sudah memang tanggung jawab majikannya. Ini yang seringkali tidak diketahui para ABK, mereka tidak mengetahui hak mereka sebagai pekerja. Seharusnya ketika mereka tanda-tangan kontrak kerja, mereka mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Namun para ABK kita seringkali tidak mau ribut dengan majikan, yang penting gaji lancar dan majikan tidak marah-marah itu sudah cukup bagi mereka.
Namun
dalam realita, terkadang juga banyak ABK yang diperlakukan secara
tidak adil, seperti putus kontrak secara sepihak, pemotongan gaji, penahanan
dokumen, dan yang sering terjadi jam kerja melebihi batas waktu hingga
kekerasan fisik. Maka perjuangan para pemerhati pekerja migran Anak Buah Kapal
adalah perbaikan tata kelola perekrutan, penempatan dan perlindungan ABK, sehingga perusahaan/agen dapat terawasi dengan baik.
Pelabuhan Fujikang
Setelah
pertemuan saya dijemput oleh Romo Ari Ukat dari Konggregasi Scalabrinian yang
bertugas di Gereja Cristoforus Taipei. Beliau adalah seorang Romo yang sangat
lincah dan gesit terutama dalam persoalan pendampingan para ABK di perairan Taiwan.
Jika ada para nelayan yang bermasalah ia siap sedia untuk menolongnya.
Fokus pastoral Konggregasi Scalabrinian khusus memperhatikan pastoral migran dimanapun, dan Romo Ari saat ini bertugas untuk memperhatikan para pekerja migran ABK Taiwan ini. Dan Gereja Santo Cristoforus ini adalah salah satu Gereja Katholik yang diperuntukkan untuk para migran khususnya yang bekerja di pelabuhan. Saya bersyukur sore itu berkesempatan mengunjungi para pekerja migran ABK di Pelabuhan Fujikang bersama Romo Ari. Perjalanan dari kota Taipei menuju ke Pelabuhan Fuji sekitar 1,5 jam naik mobil. Sesampai di Pelabuhan yang sangat bersih dan rapi kami langsung berjumpa dengan para ABK yang sedang istirahat (tidak melaut) karena situasi saat itu angin cukup kencang. Dan saat itu ada beberapa kapal yang bersandar di Pelabuhan Fuji yang terlihat sangat rapi. Ternyata saya juga melihat tulisan disudut tembok dari beberapa bahasa termasuk bahasa Indonesia “ Pelabuhan perikanan sudah selayaknya seperti rumah saya jadi mohon partisipasi teman-teman merawat Pelabuhan kita ini “. Nach memang pelabuhan kapal itu itu sangat bersih, tidak ada sampah berserakan dan tidak jauh dari tempat itu juga ada pasar ikan yang besar dan rapi. Dan saya juga sangat kagum tidak ada bau amis sedikit pun. Para nelayan rupanya memang dituntut untuk selalu menjaga kebersihan. Jika setelah pulang menangkap dan menyetor ikan pasar, kapal harus segera dibersihkan, kalau tidak majikan akan marah.
|
Dalam
pengalaman kegelapan para murid Kristus selalu berpengharapan pada Sang Bintang
Samudra. Maka para pelaut sampai saat ini selalu berdoa pada bunda Maria Sang
Bintang Samudra- Stela Maris .