Saturday, November 1, 2025

Refleksi COP30: Suara Kenabian dari "Global South" Menuntut Keadilan Iklim dan Aksi Nyata

 


Gerakan Laudato Si' (Laudato Si' Movement) menggelar webinar internasional bertajuk "Prophetic Voices from the Margins: The Way Forward to COP30" (Suara Kenabian dari Pinggiran: Jalan Menuju COP30) pada Kamis (30/10/2025).

Webinar ini menyoroti perlunya kepemimpinan moral dan tuntutan keadilan iklim yang lebih kuat dari negara-negara "Global South" (belahan bumi Selatan) menjelang Konferensi Para Pihak (COP) ke-30 PBB di Brasil.

Acara ini menghadirkan pembicara utama, Uskup Most Rev. Allwyn D'Silva, DD, Ketua Kantor Pembangunan Manusia dari Federasi Konferensi Waligereja Asia (FABC).

Dalam paparannya, Uskup D'Silva menjelaskan upaya kolaborasi jangka panjang antara Gereja-gereja di tiga benua: Asia (FABC), Amerika Latin (SELAM), dan Afrika (SECAM). Mereka memutuskan bahwa persiapan menuju COP30 akan menjadi "ajang pembelajaran bagi kerja sama".

Tujuannya adalah menghasilkan "teks bersama dari Selatan global" yang memiliki tiga pendekatan: ringkasan eksekutif, sintesis, dan dokumen utama. Dokumen ini diharapkan dapat "digunakan sebagai bahan persiapan bagi semua Gereja di Asia agar mereka dapat berperan aktif dalam COP-30".

Uskup D'Silva juga merujuk pada surat gembala FABC yang menyoroti empat topik penting: "Penderitaan rumah bersama kita," "Tanda-tanda harapan," "Tindakan nyata," dan "Ajakan untuk keterlibatan yang aktif".

Suara Kenabian Berarti Aksi, Bukan Diam

Webinar dilanjutkan dengan dialog meja bundar yang menampilkan panelis dari berbagai penjuru Global South.

Uskup Jerry dari Keuskupan San Carlos, Filipina, menegaskan bahwa menjadi suara kenabian di tengah krisis iklim berarti "berani menyuarakan kebenaran kepada kekuasaan, bahkan ketika hal itu tidak nyaman atau berisiko".

"Menjadi kenabian hari ini berarti terus membela jeritan kaum miskin dan jeritan bumi," ujarnya. "Sebagai pemimpin iman, diam berarti turut bersalah".

Pandangan ini diamini oleh Mariana Waka, seorang teolog Fiji-Australia. Ia menuntut pertanggungjawaban dari para "pelaku eksploitasi minyak dan gas" dan menekankan bahwa komunitas Pribumi di seluruh dunia "tahu bagaimana menjaga alam".

Keadilan Iklim adalah Pemulihan Luka Sejarah

Panelis menyoroti bahwa krisis iklim tidak dapat dipisahkan dari ketidakadilan historis. Eduardo Scorsato, seorang pemimpin muda Katolik dari Brasil, menyatakan bahwa keadilan iklim "lebih dari sekadar mengurangi emisi". Baginya, ini adalah tentang "memperbaiki luka sejarah dan mengakui kerusakan ekologis dan sosial" yang disebabkan oleh "model pembangunan kolonial".

Ashley, manajer program Laudato Si' Movement di Afrika, menegaskan bahwa keadilan iklim "dimulai dari kejujuran". "Benua Afrika hanya menyumbang sekitar 4% dari total emisi global, namun justru merasakan dampak paling besar dari bencana iklim," katanya.

Ia menambahkan bahwa keadilan bukan sekadar kompensasi finansial, tetapi tentang "memulihkan dan membangun kembali sistem kehidupan".

Mariana Waka dengan kuat mempertanyakan kelambanan dunia. "Berapa lama lagi kami harus menari, bernyanyi, dan menceritakan kisah kami agar dunia mau mendengarkan frekuensi perjuangan kami di Selatan global?".

Ia mendesak agar COP30 "tidak boleh hanya menjadi ajang politik dan ekonomi antara para pemimpin dunia dan korporasi multinasional yang mengejar kepentingannya sendiri".

Dari Keyakinan Moral Menuju Aksi Politik

Dialog ini juga menekankan seruan Paus yang tercantum dalam materi diskusi. Seperti yang diingatkan oleh moderator, "Paus Leo XIV mengingatkan kita bahwa tanggung jawab ekologis harus mengarah pada keterlibatan sipil dan politik".

Menanggapi hal ini, Eduardo Scorsato menekankan perlunya "mengintegrasikan iman, ilmu pengetahuan, dan kewarganegaraan".

Ashley dari Afrika menyerukan agar spiritualitas menjadi profetis. "Kita tidak lagi bisa memisahkan iman dari kehidupan publik. Spiritualitas kita harus menjadi politis bukan partisan, tetapi profetis," tegasnya.

 Di Filipina, Uskup Jerry membagikan contoh nyata, seperti paroki yang beralih ke panel surya di atap, yang berhasil memangkas tagihan listrik bulanan dari 10.000 peso menjadi rata-rata 200 peso.

 



Harapan Datang dari Komunitas, Bukan Konferensi

Menjelang akhir, para panelis membagikan sumber harapan mereka.

Jackie Raymond, salah satu pendiri Laudato Si' Movement, kembali merujuk pada ajaran Paus. "Seperti yang diingatkan Paus Leo kepada kita dalam Raising Hope Conference, perubahan hati adalah hal yang memungkinkan semua ini terjadi," katanya.

Raymond menegaskan harapannya juga terletak pada transformasi di dalam Gereja, khususnya dalam mengangkat "martabat perempuan dan anak-anak" dan menciptakan model kepemimpinan bersama (co-lead).

Mariana Waka menemukan harapan dalam "ketangguhan tanpa menyerah dari rakyat kami". Pesannya jelas: "Kami tidak sedang tenggelam kami sedang berjuang. Kami menolak menjadi pengungsi dalam krisis yang bukan kami penyebabnya".

Ashley menyimpulkan bahwa harapan kini telah "terorganisir". "Kami tidak akan lagi menjadi pihak pinggiran dari kisah ini, tetapi menjadi pusat moralnya," katanya.

Uskup Jerry menutup dengan pesan kuat bahwa harapan sejati lahir dari bawah. "Harapan tidak lahir dari konferensi, tetapi dari komunitas," pungkasnya.



Penulis: Saraswati