Gerakan Laudato Si' (Laudato Si' Movement) menggelar webinar internasional bertajuk "Prophetic Voices from the Margins: The Way Forward to COP30" (Suara Kenabian dari Pinggiran: Jalan Menuju COP30) pada Kamis (30/10/2025).
Webinar ini menyoroti perlunya kepemimpinan moral dan tuntutan keadilan
iklim yang lebih kuat dari negara-negara "Global South" (belahan bumi
Selatan) menjelang Konferensi Para Pihak (COP) ke-30 PBB di Brasil.
Acara ini menghadirkan pembicara utama, Uskup Most Rev. Allwyn D'Silva, DD,
Ketua Kantor Pembangunan Manusia dari Federasi Konferensi Waligereja Asia
(FABC).
Dalam paparannya, Uskup D'Silva menjelaskan upaya
kolaborasi jangka panjang antara Gereja-gereja di tiga benua: Asia (FABC),
Amerika Latin (SELAM), dan Afrika (SECAM). Mereka
memutuskan bahwa persiapan menuju COP30 akan menjadi "ajang pembelajaran
bagi kerja sama".
Tujuannya adalah menghasilkan "teks bersama
dari Selatan global" yang memiliki tiga pendekatan: ringkasan eksekutif,
sintesis, dan dokumen utama. Dokumen ini
diharapkan dapat "digunakan sebagai bahan persiapan bagi semua Gereja di
Asia agar mereka dapat berperan aktif dalam COP-30".
Uskup D'Silva juga merujuk pada surat gembala FABC
yang menyoroti empat topik penting: "Penderitaan rumah bersama kita,"
"Tanda-tanda harapan," "Tindakan nyata," dan "Ajakan
untuk keterlibatan yang aktif".
Suara Kenabian Berarti Aksi, Bukan Diam
Webinar dilanjutkan dengan dialog meja bundar yang menampilkan panelis dari
berbagai penjuru Global South.
Uskup Jerry dari Keuskupan San Carlos, Filipina,
menegaskan bahwa menjadi suara kenabian di tengah krisis iklim berarti
"berani menyuarakan kebenaran kepada kekuasaan, bahkan ketika hal itu
tidak nyaman atau berisiko".
"Menjadi kenabian hari ini berarti terus
membela jeritan kaum miskin dan jeritan bumi," ujarnya. "Sebagai pemimpin iman, diam berarti turut
bersalah".
Pandangan ini diamini oleh Mariana Waka, seorang teolog Fiji-Australia. Ia menuntut pertanggungjawaban dari para "pelaku
eksploitasi minyak dan gas" dan menekankan
bahwa komunitas Pribumi di seluruh dunia "tahu bagaimana menjaga
alam".
Keadilan Iklim adalah Pemulihan Luka Sejarah
Panelis menyoroti bahwa krisis iklim tidak dapat dipisahkan dari ketidakadilan historis. Eduardo Scorsato, seorang pemimpin muda Katolik dari Brasil, menyatakan bahwa keadilan iklim "lebih dari sekadar mengurangi emisi". Baginya, ini adalah tentang "memperbaiki luka sejarah dan mengakui kerusakan ekologis dan sosial" yang disebabkan oleh "model pembangunan kolonial".
Ashley, manajer program Laudato Si' Movement di
Afrika, menegaskan bahwa keadilan iklim "dimulai dari kejujuran".
"Benua Afrika hanya menyumbang sekitar 4% dari
total emisi global, namun justru merasakan dampak paling besar dari bencana
iklim," katanya.
Ia menambahkan bahwa keadilan bukan sekadar
kompensasi finansial, tetapi tentang "memulihkan dan membangun kembali
sistem kehidupan".
Mariana Waka dengan kuat mempertanyakan kelambanan dunia. "Berapa lama lagi kami harus menari, bernyanyi, dan
menceritakan kisah kami agar dunia mau mendengarkan frekuensi perjuangan kami
di Selatan global?".
Ia mendesak agar COP30 "tidak boleh hanya menjadi
ajang politik dan ekonomi antara para pemimpin dunia dan korporasi
multinasional yang mengejar kepentingannya sendiri".
Dari Keyakinan Moral Menuju Aksi Politik
Dialog ini juga menekankan seruan Paus yang tercantum dalam materi diskusi. Seperti yang diingatkan oleh moderator, "Paus Leo XIV
mengingatkan kita bahwa tanggung jawab ekologis harus mengarah pada
keterlibatan sipil dan politik".
Menanggapi hal ini, Eduardo Scorsato menekankan
perlunya "mengintegrasikan iman, ilmu pengetahuan, dan
kewarganegaraan".
Ashley dari Afrika menyerukan agar spiritualitas menjadi profetis. "Kita tidak lagi bisa memisahkan iman dari kehidupan
publik. Spiritualitas kita harus menjadi politis bukan partisan, tetapi
profetis," tegasnya.
Harapan Datang dari Komunitas, Bukan Konferensi
Menjelang akhir, para panelis membagikan sumber harapan mereka.
Jackie Raymond, salah satu pendiri Laudato Si' Movement, kembali merujuk
pada ajaran Paus. "Seperti yang diingatkan Paus
Leo kepada kita dalam Raising Hope Conference, perubahan hati adalah hal yang
memungkinkan semua ini terjadi," katanya.
Raymond menegaskan harapannya juga terletak pada
transformasi di dalam Gereja, khususnya dalam mengangkat "martabat
perempuan dan anak-anak" dan menciptakan model kepemimpinan bersama
(co-lead).
Mariana Waka menemukan harapan dalam
"ketangguhan tanpa menyerah dari rakyat kami". Pesannya jelas: "Kami tidak sedang tenggelam kami
sedang berjuang. Kami menolak menjadi pengungsi dalam krisis yang bukan kami
penyebabnya".
Ashley menyimpulkan bahwa harapan kini telah
"terorganisir". "Kami tidak akan
lagi menjadi pihak pinggiran dari kisah ini, tetapi menjadi pusat
moralnya," katanya.
Uskup Jerry menutup dengan pesan kuat bahwa harapan sejati lahir dari bawah.
"Harapan tidak lahir dari konferensi, tetapi dari
komunitas," pungkasnya.
Penulis: Saraswati
