Friday, December 20, 2013

Belajar di Tengah Kebun Kelapa Sawit

oleh Benny Hari Juliawan SJ


Siang itu terlihat beberapa laki-laki bergotong royong mendirikan tenda, sementara para ibu menyiapkan tungku kayu untuk memasak makan siang. “Besok itu hari penyerahan report untuk budak-budak di sini lalu sesudahnya libur sampai Februari,” demikian kata Pak Klemens, ketua kelompok di situ. Setahun terakhir ini anak-anak, atau budak dalam bahasa Melayu telah belajar membaca, menulis, dan berhitung di rumah kayu di tengah-tengah kebun sawit di Sandakan, negara bagian Sabah, Malaysia.

CLP Batu 16
Inilah sekolah darurat yang didirikan tepatnya di kawasan Jalan Lintas Labuk di Mil 16 (atau Batu 16 dalam bahasa setempat). Murid-muridnya kebanyakan adalah anak-anak buruh migran asal Indonesia yang bekerja untuk perkebunan kelapa sawit. Ada juga anak-anak yang berasal dari keluarga buruh migran asal Filipina. Anak-anak ini tidak bisa pergi ke sekolah umum seperti kebanyakan anak yang lain karena status mereka sebagai anak buruh migran.

Sejak kira-kira sepuluh tahun yang lalu, pemerintah Malaysia melarang anak-anak migran untuk bersekolah di sekolah umum. Alternatifnya sangat terbatas. Mereka yang mampu akan membayar untuk ikut kursus atau les pelajaran di lembaga-lembaga komersial yang menjamur di kota. Mereka yang orangtuanya bekerja di perkebunan besar mungkin beruntung bisa mengikuti sekolah yang dikelola LSM lokal bernama Humana Child Aid Society, atau dikenal dengan Sekolah Humana. Sementara, yang lainnya tak bisa sekolah sama sekali. Mereka menghabiskan waktunya dengan bermain atau membantu orangtuanya memunguti biji kelapa sawit dengan upah sekadarnya. Di Sabah, negeri berpenduduk sekitar 3 juta orang, ada sekitar 500.000 orang buruh migran beserta keluarga dari berbagai negara dan kebanyakan berasal dari Indonesia dan Filipina.

Dalam situasi seperti ini, dua tahun yang lalu, sekelompok biarawati atau suster dari kongregasi Gembala Baik (RGS) berinisiatif untuk mendirikan sekolah darurat. Awalnya, sekolah ini bertempat di kompleks Gereja Stasi St. Mark di Batu 8. Akan tetapi, tempat ini rupanya terlalu jauh, mahal transportasinya, dan terlalu terbuka. Perlu diketahui, sebagian anak-anak ini tidak mempunyai dokumen imigrasi. Orangtua mereka bekerja di Sandakan tanpa memakai dokumen, sehingga setiap kali ada razia mereka harus menghindar. Melihat situasi ini, sekolah kemudian berpindah dan dibagi dua, yaitu masuk di perkebunan di kawasan Batu 9 dan 16. Dalam seminggu, mereka hanya dua hari belajar karena keterbatasan tenaga guru. Hanya ada seorang guru tetap berkebangsaan Malaysia dan dua orang sukarelawati remaja asal Larantuka dan Mindanao. Mereka mengajar sekitar 40 orang anak yang terbagi di dua sekolah yang jaraknya berjauhan. Sekolah-sekolah darurat ini dinamakan Community Learning Programme atau CLP.

“Kebetulan, tauke di sini kasih izin memakai salah satu rumah kayu buruh kebun untuk kegiatan sekolah,” kata Sr. Lidwina yang mendampingi kelompok ini. Beberapa majikan pemilik kebun tidak mengizinkan penyelenggarakan sekolah ini di kebun mereka, karena khawatir dengan reaksi pemerintah. Karena sekolah ini ilegal, tidak diakui oleh pemerintah.

Meskipun serba terbatas, bukan berarti sekolah ini asal-asalan. Kardi, seorang buruh migran asal Bajau, Mindanao, bersyukur karena anaknya bisa belajar di sini. “Saya semula kirim budak saya untuk belajar tuition (les berbayar) tapi, setelah tiga bulan, belum juga bisa membaca. Di sini anak saya cepat boleh membaca.” Apalagi les semacam itu mahal ongkosnya, RM 40 per mata pelajaran plus ongkos transport, sementara di CLP ini tiap anak sebenarnya hanya dipungut RM 10 dan cukup berjalan kaki dari rumah.

Di tengah keterbatasan inilah anak-anak belajar. Mereka berceloteh dalam bahasa Melayu dengan aksen Sabah, tetapi siang itu mereka bernyanyi Indonesia Raya. Bagi mereka Indonesia bukanlah pengalaman sehari-hari dan mungkin hanyalah cerita orangtua yang rindu kampung halaman. Masa depan bagi mereka adalah kemewahan. Kini dan di sini mereka bermain dan belajar sekadarnya menikmati masa kanak-kanak yang seharusnya.

Anak-anak CLP


Benny Juliawan (orwellsj@googlemail.com) is a researcher with Sahabat Insan, an NGO working with migrant workers in Jakarta. Benny is an enthusiastic runner