oleh Benny Hari Juliawan SJ
Siang itu terlihat beberapa laki-laki bergotong royong mendirikan tenda, sementara para ibu menyiapkan tungku kayu untuk memasak makan siang. “Besok itu hari penyerahan report untuk budak-budak di sini lalu sesudahnya libur sampai Februari,” demikian kata Pak Klemens, ketua kelompok di situ. Setahun terakhir ini anak-anak, atau budak dalam bahasa Melayu telah belajar membaca, menulis, dan berhitung di rumah kayu di tengah-tengah kebun sawit di Sandakan, negara bagian Sabah, Malaysia.
Siang itu terlihat beberapa laki-laki bergotong royong mendirikan tenda, sementara para ibu menyiapkan tungku kayu untuk memasak makan siang. “Besok itu hari penyerahan report untuk budak-budak di sini lalu sesudahnya libur sampai Februari,” demikian kata Pak Klemens, ketua kelompok di situ. Setahun terakhir ini anak-anak, atau budak dalam bahasa Melayu telah belajar membaca, menulis, dan berhitung di rumah kayu di tengah-tengah kebun sawit di Sandakan, negara bagian Sabah, Malaysia.
CLP Batu 16 |
Inilah sekolah darurat
yang didirikan tepatnya di kawasan Jalan Lintas Labuk di Mil 16 (atau Batu 16
dalam bahasa setempat). Murid-muridnya kebanyakan adalah anak-anak buruh migran
asal Indonesia yang bekerja untuk perkebunan kelapa sawit. Ada juga anak-anak
yang berasal dari keluarga buruh migran asal Filipina. Anak-anak ini tidak
bisa pergi ke sekolah umum seperti kebanyakan anak yang lain karena status
mereka sebagai anak buruh migran.
Sejak kira-kira
sepuluh tahun yang lalu, pemerintah Malaysia melarang anak-anak migran untuk
bersekolah di sekolah umum. Alternatifnya sangat terbatas. Mereka yang mampu akan
membayar untuk ikut kursus atau les pelajaran di lembaga-lembaga komersial yang
menjamur di kota. Mereka yang orangtuanya bekerja di perkebunan besar mungkin
beruntung bisa mengikuti sekolah yang dikelola LSM lokal bernama Humana Child
Aid Society, atau dikenal dengan Sekolah Humana. Sementara, yang lainnya tak bisa sekolah
sama sekali. Mereka menghabiskan waktunya dengan bermain atau membantu
orangtuanya memunguti biji kelapa sawit dengan upah sekadarnya. Di Sabah,
negeri berpenduduk sekitar 3 juta orang, ada sekitar 500.000 orang buruh migran
beserta keluarga dari berbagai negara dan kebanyakan berasal dari Indonesia dan
Filipina.
Dalam situasi seperti
ini, dua tahun yang lalu, sekelompok biarawati atau suster dari kongregasi
Gembala Baik (RGS) berinisiatif untuk mendirikan sekolah darurat. Awalnya,
sekolah ini bertempat di kompleks Gereja Stasi St. Mark di Batu 8. Akan tetapi,
tempat ini rupanya terlalu jauh, mahal transportasinya, dan terlalu terbuka. Perlu diketahui, sebagian anak-anak ini tidak mempunyai dokumen imigrasi.
Orangtua mereka bekerja di Sandakan tanpa memakai dokumen, sehingga setiap kali
ada razia mereka harus menghindar. Melihat situasi ini, sekolah kemudian
berpindah dan dibagi dua, yaitu masuk di perkebunan di kawasan Batu 9 dan 16. Dalam
seminggu, mereka hanya dua hari belajar karena keterbatasan tenaga guru. Hanya ada
seorang guru tetap berkebangsaan Malaysia dan dua orang sukarelawati remaja
asal Larantuka dan Mindanao. Mereka mengajar sekitar 40 orang anak yang terbagi
di dua sekolah yang jaraknya berjauhan. Sekolah-sekolah darurat ini dinamakan Community Learning Programme atau CLP.
“Kebetulan, tauke di sini
kasih izin memakai salah satu rumah kayu buruh kebun untuk kegiatan sekolah,”
kata Sr. Lidwina yang mendampingi kelompok ini. Beberapa majikan pemilik kebun
tidak mengizinkan penyelenggarakan sekolah ini di kebun mereka, karena khawatir
dengan reaksi pemerintah. Karena sekolah ini ilegal, tidak diakui oleh
pemerintah.
Meskipun serba
terbatas, bukan berarti sekolah ini asal-asalan. Kardi, seorang buruh migran
asal Bajau, Mindanao, bersyukur karena anaknya bisa belajar di sini. “Saya
semula kirim budak saya untuk belajar tuition
(les berbayar) tapi, setelah tiga bulan, belum juga bisa membaca. Di sini anak saya
cepat boleh membaca.” Apalagi les semacam itu mahal ongkosnya, RM 40 per mata
pelajaran plus ongkos transport, sementara di CLP ini tiap anak sebenarnya hanya dipungut
RM 10 dan cukup berjalan kaki dari rumah.
Di tengah keterbatasan
inilah anak-anak belajar. Mereka berceloteh dalam bahasa Melayu dengan aksen
Sabah, tetapi siang itu mereka bernyanyi Indonesia Raya. Bagi mereka Indonesia
bukanlah pengalaman sehari-hari dan mungkin hanyalah cerita orangtua yang rindu
kampung halaman. Masa depan bagi mereka adalah kemewahan. Kini dan di sini
mereka bermain dan belajar sekadarnya menikmati masa kanak-kanak yang
seharusnya.
Anak-anak CLP |
Benny Juliawan (orwellsj@googlemail.com) is a researcher with Sahabat Insan, an NGO working with migrant workers in Jakarta. Benny is an enthusiastic runner