Ini adalah pertanyaan yang paling sering dilontarkan oleh para pasien pekerja migran saat Sahabat Insan melakukan kunjungan rutin ke rumah sakit untuk menjenguk mereka. Walaupun kondisi mereka terkadang masih parah dan belum layak untuk pulang, hampir semua merasa tidak betah tinggal dan menjalani perawatan di rumah sakit tersebut. Bahkan, pasien-pasien di ruang rawat jiwa pun menayakan hal yang sama. Ya, ini memang hal manusiawi yang pasti juga dirasakan oleh semua orang. Lebih nyaman sakit tapi di rumah sendiri, daripada menginap di suatu tempat yang asing dan kadang-kadang bertemu dengan suster-suster galak.
http://www.deviantart.com/art/Bottle-Tree-87712330 |
Minggu lalu, sedikit kabar bahagia berhembus dari rumah sakit tersebut. Dua pasien pekerja migran yang menderita sakit yang cukup parah sudah di-izinkan pulang oleh dokter yang merawatnya. Kabar cukup menggembirakan ini tentu saja disambut dengan perasaan lega oleh keluarganya, mengingat kedua pasien ini sudah berminggu-minggu dirawat di rumah sakit tersebut. Namun tetap saja, kepulangan mereka menyisakan cerita.
Yang pertama adalah pasien pencangkokan batok kepala, sebut saja namanya Wati. Setelah menjalani dua kali operasi masing-masing selama empat dan delapan jam, ia akhirnya di-izinkan pulang oleh dokter pada hari Senin tanggal 2 Desember 2013. Kepulangan Wati ini menimbulkan kecemasan karena kondisinya secara kasat mata belum memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh dan dirawat di rumah sendiri. Ia masih memakai alat-alat penunjang kesehatan dan syarafnya belum sepenuhnya berfungsi dengan baik.
Setelah hampir seminggu bersitegang dengan rumah sakit, Peduli Buruh Migran (PBM) yang selama ini mendampingi pasien tersebut mengajak seorang dokter relawan medis yang biasa menolong pekerja migran untuk memeriksa keadaan Wati. Saat melihat kondisinya, dokter itu menyatakan bahwa Wati memang lebih baik dibawa pulang karena daya tahan tubuhnya yang masih lemah. Jika tetap tinggal di rumah sakit, dikhawatirkan ia akan sangat rentan tertular penyakit dari pasien-pasien lain dan bisa menimbulkan penyakit baru.
Mendengarkan pendapat dokter, PBM akhirnya bersedia memulangkan Wati dengan catatan rumah sakit harus membuat surat pernyataan. Setelah urusan administrasi diselesaikan, maka Wati dipulangkan ke daerah asalnya dengan menggunakan ambulan terbaik yang memiliki fasilitas lengkap dan didampingi oleh dua orang perawat dari rumah sakit tersebut. Wati kemudian dirujuk ke rumah sakit daerah setempat untuk melakukan terapi di rumah dengan menggunakan fasilitas Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Seminggu sekali, perawat akan datang dan melatih syaraf-syaraf Wati agar mampu berfungsi kembali.
Saat berita ini diturunkan, telapak tangan Wati sudah bisa melakukan gerakan ringan (meremas, mengepal, membuka). Ia juga sudah bisa ber-rekasi saat dipanggil namanya, sudah bisa membuka mulutnya dan sudah bisa bernafas melalui hidung dengan bantuan alat pernafasan. Sang suami sudah kembali bekerja di Malaysia untuk mencari nafkah bagi keluarga, terutama untuk biaya hidup ketiga anak mereka. Sedangkan Wati dirawat oleh ibundanya yang dari awal memang sudah menemani Wati menjalani proses demi proses penyembuhan. Hal yang cukup memberatkan keluarga adalah sampai saat ini makanan yang boleh diberikan kepadanya hanya susu yang harganya cukup mahal.
Setelah hampir seminggu bersitegang dengan rumah sakit, Peduli Buruh Migran (PBM) yang selama ini mendampingi pasien tersebut mengajak seorang dokter relawan medis yang biasa menolong pekerja migran untuk memeriksa keadaan Wati. Saat melihat kondisinya, dokter itu menyatakan bahwa Wati memang lebih baik dibawa pulang karena daya tahan tubuhnya yang masih lemah. Jika tetap tinggal di rumah sakit, dikhawatirkan ia akan sangat rentan tertular penyakit dari pasien-pasien lain dan bisa menimbulkan penyakit baru.
Mendengarkan pendapat dokter, PBM akhirnya bersedia memulangkan Wati dengan catatan rumah sakit harus membuat surat pernyataan. Setelah urusan administrasi diselesaikan, maka Wati dipulangkan ke daerah asalnya dengan menggunakan ambulan terbaik yang memiliki fasilitas lengkap dan didampingi oleh dua orang perawat dari rumah sakit tersebut. Wati kemudian dirujuk ke rumah sakit daerah setempat untuk melakukan terapi di rumah dengan menggunakan fasilitas Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Seminggu sekali, perawat akan datang dan melatih syaraf-syaraf Wati agar mampu berfungsi kembali.
Saat berita ini diturunkan, telapak tangan Wati sudah bisa melakukan gerakan ringan (meremas, mengepal, membuka). Ia juga sudah bisa ber-rekasi saat dipanggil namanya, sudah bisa membuka mulutnya dan sudah bisa bernafas melalui hidung dengan bantuan alat pernafasan. Sang suami sudah kembali bekerja di Malaysia untuk mencari nafkah bagi keluarga, terutama untuk biaya hidup ketiga anak mereka. Sedangkan Wati dirawat oleh ibundanya yang dari awal memang sudah menemani Wati menjalani proses demi proses penyembuhan. Hal yang cukup memberatkan keluarga adalah sampai saat ini makanan yang boleh diberikan kepadanya hanya susu yang harganya cukup mahal.
Lain lagi cerita Warti yang menderita luka bakar. Warti akhirnya dipulangkan pada hari Kamis tanggal 5 Desember 2013. Warti adalah satu-satunya anggota keluarga yang bekerja untuk menghidupi bapak, ibu, kakak-kakak dan adik-adiknya. Setiap bulan seluruh gaji hasil kerja kerasnya di negeri orang dikirim kepada keluarga.
Sejak Warti mengalami kecelakaan kerja, menderita luka bakar dan dirawat di rumah sakit, sang ibu yang menganggap Warti adalah tambang emas bagi keluarga sangat keberatan dan selalu berkeluh kesah tentang keuangan keluarga yang jadi berantakan. Ibu tersebut selalu memaksa rumah sakit untuk segera memulangkan Wanti, agar ia bisa segera bekerja lagi. Awalnya dokter belum mengijinkan karena bekas luka bakarnya masih perlu perawatan intensif. Namun setelah melihat perkembangan kondisi Warti yang semakin membaik, dokter pun memperbolehkannya pulang.
Masalah kemudian muncul. Rencana awal setelah keluar dari rumah sakit, Warti akan tinggal untuk sementara waktu di Rumah Singgah Sahabat Insan karena ia masih harus melakukan terapi rutin seminggu sekali. Tinggal di rumah singgah dirasa lebih efektif karena selain jarak rumah singgah dan rumah sakit lumayan dekat, jika dibandingkan dengan rumahnya. Di sana ia akan dilatih ketrampilan yang sesuai dengan keadaannya agar dapat kembali mencari nafkah saat sembuh nanti. Namun, ibunya ternyata melarang Warti untuk transit terlebih dahulu dan bersikeras agar Warti langsung dibawa pulang. Ibunya bahkan mengancam jika Warti tetap dibawa ke rumah singgah maka PBM harus memberikan uang jaminan kepadanya. Akhirnya PBM mengalah dan mengantarkan Warti pulang ke rumahnya.
Perjalanan dari rumah sakit ke tempat tinggal mereka ditempuh dalam waktu 4 jam karena cuaca buruk dan sempat salah arah karena tidak ada yang hafal jalan pulang. Sesampainya di rumah, Warti terlihat murung dan tak banyak bicara, tidak seperti kesehariannya di rumah sakit yang cerewet dan suka bercerita tentang segala hal. Saat ditanya kenapa ia menjadi diam, Warti mengatakan bahwa ia takut dengan ibunya yang pasti akan memaksa dia untuk bekerja lagi dan ia merasa tertekan karena ibunya selalu menyalahkannya atas musibah tersebut.
Sejak Warti mengalami kecelakaan kerja, menderita luka bakar dan dirawat di rumah sakit, sang ibu yang menganggap Warti adalah tambang emas bagi keluarga sangat keberatan dan selalu berkeluh kesah tentang keuangan keluarga yang jadi berantakan. Ibu tersebut selalu memaksa rumah sakit untuk segera memulangkan Wanti, agar ia bisa segera bekerja lagi. Awalnya dokter belum mengijinkan karena bekas luka bakarnya masih perlu perawatan intensif. Namun setelah melihat perkembangan kondisi Warti yang semakin membaik, dokter pun memperbolehkannya pulang.
Masalah kemudian muncul. Rencana awal setelah keluar dari rumah sakit, Warti akan tinggal untuk sementara waktu di Rumah Singgah Sahabat Insan karena ia masih harus melakukan terapi rutin seminggu sekali. Tinggal di rumah singgah dirasa lebih efektif karena selain jarak rumah singgah dan rumah sakit lumayan dekat, jika dibandingkan dengan rumahnya. Di sana ia akan dilatih ketrampilan yang sesuai dengan keadaannya agar dapat kembali mencari nafkah saat sembuh nanti. Namun, ibunya ternyata melarang Warti untuk transit terlebih dahulu dan bersikeras agar Warti langsung dibawa pulang. Ibunya bahkan mengancam jika Warti tetap dibawa ke rumah singgah maka PBM harus memberikan uang jaminan kepadanya. Akhirnya PBM mengalah dan mengantarkan Warti pulang ke rumahnya.
Perjalanan dari rumah sakit ke tempat tinggal mereka ditempuh dalam waktu 4 jam karena cuaca buruk dan sempat salah arah karena tidak ada yang hafal jalan pulang. Sesampainya di rumah, Warti terlihat murung dan tak banyak bicara, tidak seperti kesehariannya di rumah sakit yang cerewet dan suka bercerita tentang segala hal. Saat ditanya kenapa ia menjadi diam, Warti mengatakan bahwa ia takut dengan ibunya yang pasti akan memaksa dia untuk bekerja lagi dan ia merasa tertekan karena ibunya selalu menyalahkannya atas musibah tersebut.
Tentu masih banyak cerita-cerita kepulangan para pekerja migran lainnya yang menyayat hati. Kedua cerita di atas bisa mewakili fakta bahwa masalah ternyata belum selesai saat bantuan pengobatan telah diberikan. Masih banyak yang harus diperjuangkan oleh keluarga saat pekerja migran ini selesai dirawat di rumah sakit. Masalah pemulihan kondisi, masalah psikologis, masalah masa depan, masalah makan sehari-hari masih tetap mengiringi keluarga sang korban. Perlu perjuangan untuk mengembalikan keadaan seperti sedia kala, atau bahkan tidak akan pernah kembali seperti semula sehingga anggota keluarga lain pun harus rela menyesuaikan diri menghadapi perubahan kondisi yang tidak diinginkan ini.