Friday, December 20, 2013

Berbagi Kasih Natal

“Anak Timor main sasando dan bernyanyi bolelebo, rasa girang dan berdendang pulangeee....”


Sebuah lagu dari Timur Indonesia berjudul “Flobamora” mengalun merdu dinyanyikan 24 calon TKI yang gagal berangkat ke luar negeri di saat-saat terakhir kepergian kami. Pada Sabtu, 14 Desember, yang lalu Sahabat Insan berkunjung ke rumah singgah milik pemerintah yang menampung mereka. Kami datang hendak merayakan Natal bersama mereka, berbagi kasih dengan membawa kegembiraan serta semangat hidup untuk dibagikan kepada mereka.

Ke-24 calon TKI itu semuanya perempuan. Mereka berasal dari Kupang dan yang paling jauh dari Sumba. Selama berbulan-bulan mereka telah disekap oleh PJTKI yang berjanji mengirim mereka untuk berangkat kerja ke luar negeri. Beberapa dari mereka masih berusia anak. Beruntung mereka berhasil ditemukan oleh polisi dan dibawa ke rumah singgah. Kurang lebih seminggu mereka telah berada di rumah singgah dengan keadaan yang serba terbatas.

Ketika kami datang pagi-pagi ke sana, tiga orang tampak menuju ke arah kantor bersama dengan Suster Lia yang telah sampai duluan. Kami membuka kaca jendela mobil untuk menyapa mereka dan menanyakan mereka hendak ke mana. Dengan muka ceria mereka katakan kepada kami kalau mereka mau pergi meminjam mike untuk bernyanyi. Kami sampaikan kepada mereka bahwa kami membawa mike, jadi mereka tidak perlu meminjam ke kantor. Sontak wajah mereka berubah begitu gembira. Mereka pun kembali ke ruang pertemuan.

Setibanya kami di ruang pertemuan, mereka menyambut kami dengan senyuman-senyuman dan semangat. Kami memberi salam kepada mereka seraya menanyakan kabar mereka. Seorang Pendeta telah datang untuk memimpin ibadah pada hari itu. Semua calon TKI tersebut memang beragama beragama Kristen. Ada yang Kristen Protestan dan Katholik. Dengan segera, dibantu oleh mereka kami pun menyiapkan segala peralatan yang digunakan untuk acara. 

Suster Lia memilihkan lagu-lagu untuk ibadah. Setelah semua siap, kami pun mulai melantunkan lagu-lagu pujian. Pak Pendeta membacakan perikop Kitab Suci kemudian dilanjutkan dengan khotbah. Ketika khotbah, Pak Pendeta meminta kesediaan salah satu calon TKI yang mau memberi kesaksian. Seorang perempuan muda berbaju merah jambu yang sedari awal kebaktian memimpin untuk mengangkat lagu pujian-pujian mengajukan diri untuk berbagi cerita. 


Diselingi dengan tangis, dia mulai bercerita. Demi membantu orangtua dia mau pergi bekerja ke luar negeri menjadi TKI. Dia tak pernah menyangka kalau akan disekap selama berbulan-bulan oleh PJTKI tersebut. Ketika di tempat penampungan dia justru mengalami menstruasi yang berkepanjangan. Tak mengerti sakit apa yang sedang melanda tubuhnya. Maka bulan selanjutnya, dia pun berdoa kepada Tuhan, memohon kesembuhan, sambil berjanji akan menghabiskan membaca Kitab Suci. Puji Tuhan ketika hari kelima menstruasi-nya berhenti. Sembari menyeka air mata di pipinya, dia melanjutkan cerita kalau Tuhan begitu baik sampai akhirnya ada polisi datang memeriksa tempat tersebut. Sebelumnya, mereka dipaksa oleh PJTKI untuk bersembunyi di atas plafon. Seorang temannya mengambil kertas dan menjatuhkan ke arah polisi itu. Polisi tersebut kemudian memeriksa plafon dan menemukan mereka. Hari itu juga mereka dibawa ke rumah singgah. Namun, sedihnya, sebelum polisi datang ke sana, dua teman mereka telah meninggal di rumah penampungan itu.

Setelah cerita usai, kebaktian dilanjutkan kembali dengan berdoa bagi dua teman mereka yang telah meninggal dan bagi yang sakit. Lagu-lagu kemudian kembali dinyanyikan, beberapa dari antara mereka menangis. Melihat mereka menangis, perasaan simpati terhadap kondisi mereka pelan-pelan menyeruak dalam diri kami.

Usai kebaktian, kami memutar film pendek karya Denny J.A. berjudul “Minah Tetap Dipancung”. Sebuah film yang bercerita tentang TKI yang diperkosa kemudian membunuh majikannya di Arab Saudi, kemudian dia dihukum mati oleh pemerintah di sana. Mereka menonton dengan seksama. Di bagian akhir beberapa dari mereka memilih untuk tidak melihat Minah yang dipancung dengan keluar membenahi jemuran.  

Romo Ismartono yang ikut bersama kami menyampaikan kepada mereka sebelumnya. Film ini tidak bermaksud untuk mencegah mereka bermigrasi, bekerja mendapatkan penghasilan layak untuk keluarga mereka di kampung halaman. Kami bermaksud menyampaikan kepada mereka bahwa menjadi TKI, bekerja ke luar negeri penuh dengan risiko dan yang paling besar adalah kehilangan nyawa seperti yang disampaikan di film tersebut. Oleh karena itu, mereka perlu mempersiapkan diri berupa dokumen yang legal, bahasa, dan tahu adat istiadat kebudayaan yang berlaku di sana.

Usai menonton film, inilah acara yang ditunggu-tunggu. Sambil mengalun lagu-lagu Natal, bingkisan yang telah dipersiapkan Mbak Lili kami bagikan satu per satu. Semua sukacita menerima bingkisan yang berisi makanan ringan, obat, dan uang saku sebagai bekal mereka kembali ke kampung halaman.

Kami menutup perjumpaan yang berkesan itu dengan foto bersama. Terakhir ketika Romo Edu mengajak mereka bernyanyi lagu “Flobamora” mereka dengan suara emas ikut melantunkan lagu tersebut yang sanggup membuat kami terharu dan bergembira bersama. 

Akhirnya, dalam hati kami terselip doa bagi mereka satu per satu. Ketika berita ini dimuat, kami mendengar kabar bahwa mereka pada tanggal 18 Desember yang lalu telah diantar pulang ke kampung halaman mereka masning-masing. Semoga mereka dapat merayakan Natal bersama keluarga mereka. Semoga harapan selalu tumbuh di hati mereka untuk menyongsong hari baru dengan penuh semangat dan sukacita.