“Anak Timor main sasando dan bernyanyi bolelebo, rasa girang dan berdendang pulangeee....”
Sebuah lagu dari Timur Indonesia berjudul
“Flobamora” mengalun merdu dinyanyikan 24 calon TKI yang gagal berangkat ke
luar negeri di saat-saat terakhir kepergian kami. Pada Sabtu, 14 Desember, yang
lalu Sahabat Insan berkunjung ke rumah singgah milik pemerintah yang menampung
mereka. Kami datang hendak merayakan Natal bersama mereka, berbagi kasih dengan membawa
kegembiraan serta semangat hidup untuk dibagikan kepada mereka.
Ke-24 calon TKI itu semuanya perempuan. Mereka
berasal dari Kupang dan yang paling jauh dari Sumba. Selama berbulan-bulan
mereka telah disekap oleh PJTKI yang berjanji mengirim mereka untuk berangkat
kerja ke luar negeri. Beberapa dari mereka masih berusia anak. Beruntung mereka
berhasil ditemukan oleh polisi dan dibawa ke rumah singgah. Kurang lebih
seminggu mereka telah berada di rumah singgah dengan keadaan yang serba
terbatas.
Ketika kami datang pagi-pagi ke sana, tiga
orang tampak menuju ke arah kantor bersama dengan Suster Lia yang telah sampai
duluan. Kami membuka kaca jendela mobil untuk menyapa mereka dan menanyakan
mereka hendak ke mana. Dengan muka ceria mereka katakan kepada kami kalau
mereka mau pergi meminjam mike untuk bernyanyi. Kami sampaikan kepada mereka
bahwa kami membawa mike, jadi mereka tidak perlu meminjam ke kantor. Sontak
wajah mereka berubah begitu gembira. Mereka pun kembali ke ruang pertemuan.
Setibanya kami di ruang pertemuan, mereka menyambut
kami dengan senyuman-senyuman dan semangat. Kami memberi salam kepada mereka
seraya menanyakan kabar mereka. Seorang
Pendeta telah datang untuk memimpin ibadah pada hari itu. Semua calon TKI
tersebut memang beragama beragama Kristen. Ada yang Kristen Protestan dan Katholik.
Dengan segera, dibantu oleh mereka kami pun menyiapkan segala peralatan yang
digunakan untuk acara.
Suster Lia memilihkan lagu-lagu untuk ibadah.
Setelah semua siap, kami pun mulai melantunkan lagu-lagu pujian. Pak Pendeta
membacakan perikop Kitab Suci kemudian dilanjutkan dengan khotbah. Ketika
khotbah, Pak Pendeta meminta kesediaan salah satu calon TKI yang mau memberi
kesaksian. Seorang perempuan muda berbaju merah jambu yang sedari awal
kebaktian memimpin untuk mengangkat lagu pujian-pujian mengajukan diri untuk
berbagi cerita.
Diselingi dengan tangis, dia mulai bercerita.
Demi membantu orangtua dia mau pergi bekerja ke luar negeri menjadi TKI. Dia
tak pernah menyangka kalau akan disekap selama berbulan-bulan oleh PJTKI tersebut.
Ketika di tempat penampungan dia justru mengalami menstruasi yang
berkepanjangan. Tak mengerti sakit apa yang sedang melanda tubuhnya. Maka bulan
selanjutnya, dia pun berdoa kepada Tuhan, memohon kesembuhan, sambil berjanji akan menghabiskan membaca Kitab Suci. Puji Tuhan ketika hari kelima
menstruasi-nya berhenti. Sembari menyeka air mata di pipinya, dia melanjutkan
cerita kalau Tuhan begitu baik sampai akhirnya ada polisi datang memeriksa tempat
tersebut. Sebelumnya, mereka dipaksa oleh PJTKI untuk bersembunyi di atas
plafon. Seorang temannya mengambil kertas dan menjatuhkan ke arah polisi itu.
Polisi tersebut kemudian memeriksa plafon dan menemukan mereka. Hari itu juga
mereka dibawa ke rumah singgah. Namun, sedihnya, sebelum polisi datang ke sana,
dua teman mereka telah meninggal di rumah penampungan itu.
Setelah cerita usai, kebaktian dilanjutkan
kembali dengan berdoa bagi dua teman mereka yang telah meninggal dan bagi yang
sakit. Lagu-lagu kemudian kembali dinyanyikan, beberapa dari antara mereka
menangis. Melihat mereka menangis, perasaan simpati terhadap kondisi mereka
pelan-pelan menyeruak dalam diri kami.
Usai kebaktian, kami memutar film pendek karya
Denny J.A. berjudul “Minah Tetap Dipancung”. Sebuah film yang bercerita tentang
TKI yang diperkosa kemudian membunuh majikannya di Arab Saudi, kemudian dia
dihukum mati oleh pemerintah di sana. Mereka menonton dengan seksama. Di bagian
akhir beberapa dari mereka memilih untuk tidak melihat Minah yang dipancung
dengan keluar membenahi jemuran.
Romo Ismartono yang ikut bersama kami
menyampaikan kepada mereka sebelumnya. Film ini tidak bermaksud untuk mencegah
mereka bermigrasi, bekerja mendapatkan penghasilan layak untuk keluarga mereka
di kampung halaman. Kami bermaksud menyampaikan kepada mereka bahwa menjadi
TKI, bekerja ke luar negeri penuh dengan risiko dan yang paling besar adalah
kehilangan nyawa seperti yang disampaikan di film tersebut. Oleh karena itu,
mereka perlu mempersiapkan diri berupa dokumen yang legal, bahasa, dan tahu
adat istiadat kebudayaan yang berlaku di sana.
Usai menonton film, inilah acara yang
ditunggu-tunggu. Sambil mengalun lagu-lagu Natal, bingkisan yang telah
dipersiapkan Mbak Lili kami bagikan satu per satu. Semua sukacita menerima
bingkisan yang berisi makanan ringan, obat, dan uang saku sebagai bekal mereka
kembali ke kampung halaman.
Kami menutup perjumpaan yang berkesan itu
dengan foto bersama. Terakhir ketika Romo Edu mengajak mereka bernyanyi lagu
“Flobamora” mereka dengan suara emas ikut melantunkan lagu tersebut yang sanggup
membuat kami terharu dan bergembira bersama.
Akhirnya, dalam hati kami terselip doa bagi
mereka satu per satu. Ketika berita ini dimuat, kami mendengar kabar bahwa
mereka pada tanggal 18 Desember yang lalu telah diantar pulang ke kampung
halaman mereka masning-masing. Semoga mereka dapat
merayakan Natal bersama keluarga mereka. Semoga harapan selalu tumbuh di hati
mereka untuk menyongsong hari baru dengan penuh semangat dan sukacita.