Wajah-wajah sendu, muram, sedih, menangis, dan terikat ditunjukkan
perempuan itu kepada kami. Gambar-gambar wajah berbagai macam itu cukuplah
untuk melukiskan kesedihan yang tengah dia alami.
Usai makan, perempuan itu menunjukkan kepada kami
gambar-gambarnya di sebuah buku. Wajahnya terlihat gembira. Berulang kali
ketika kami ajak bicara, dia mengajak kami untuk tos bersamanya. Dengan senang hati kami menuruti permintaannya. Tos itu kami lakukan berulang-ulang sesuai permintaannya. Merasa lucu, kami pun ikut tertawa.
Perkataannya
masih tidak mampu kami tangkap dengan jernih. Bukan karena suaranya, melainkan
karena bahasa yang kami tak mengerti. Sebagian terdengar seperti bahasa
Indonesia, sebagian seperti bahasa Melayu, dan sebagian mungkin bahasa daerah.
Kami hanya tahu kalau dia berasal dari Lombok dan sebelumnya bekerja di
Malaysia. Dan ia belum lama berada di ruang jiwa itu.
Sahabat Insan
kembali mengunjungi pasien-pasien mantan TKI yang berada di ruang jiwa sebuah
rumah sakit di Jakarta pada Jumat, 15 Maret 2014 yang lalu. Ketika melihat
gambar-gambar yang ditunjukkan Ina kepada kami, berbagai kejadian mulai
membayangi kami. Kami mengira-ngira apa yang diperbuat majikannya kepada Ina. Ina bisa saja tertawa bersama kami dengan wajah gembiranya. Namun, gambar-gambar yang dia tunjukkan kepada kami cukup memberi tahu bagaimana sesungguhnya luka kesedihan, perih kehidupan yang telah dialaminya.
Lain lagi dengan
Siti, perempuan berusia 27 tahun yang memakai baju warna merah jambu itu bercerita kepada kami. Dia sangat bosan berada di ruang jiwa tersebut. Dia
mengatakan kalau dia ingin segera pulang. Dia merasa sudah dalam keadaan sehat.
Bahkan ketika kembali ke Indonesia, sesampai di bandara, dia bingung kenapa ada
petugas membawanya. Dia kira dia akan dipulangkan ke kampung halaman, namun
ternyata mereka membawanya ke rumah sakit. Hanya karena terlihat bingung, dia
lalu dianggap depresi dan bermasalah, sehingga perlu mendapat perawatan. Kisah Siti bukanlah yang pertama kali kami dengar.
Berbeda dengan
perempuan berambut panjang, yang duduk di lantai dengan infus di tangannya. Dia
bercerita kepada Suster Murph dengan begitu semangat, memakai bahasa Inggris. Perawat
mengatakan dia punya sakit di paru-paru sehingga sempat muntah darah dan perlu
di-infus. Dari ceritanya kepada Suster Murph, kami tahu bahwa ketika bekerja di
Malaysia Siti disiksa oleh majikannya. Lalu, ditangkap polisi Malaysia dan
dimasukkan ke penjara. Sampai akhirnya dia sampai di KBRI dan berjumpa dengan
ribuan TKI lainnya. Sesampai di bandara, dia dan kawannya dibawa ke ruang jiwa, rumah sakit
tersebut.
Usai berkunjung,
ada perasaan lega ketika melihat seorang pasien perempuan di sana dijemput oleh
keluarganya. Dengan koper hitam yang sangat besar keluarganya membawa perempuan itu, keluar ruang jiwa. Di luar dia membuka koper itu dan sempat membuka baju-baju yang ada di dalamnya. Pertanyaan kembali terbersit dalam pikiran
kami, jangan-jangan ada barangnya yang berharga hilang. Raut wajah perempuan itu pun terlihat tidak terlalu gembira karenanya.
Tetapi, paling
tidak, kalaupun ada barang yang hilang, dia sudah berjumpa dan akan berkumpul dengan keluarganya.
Dan bukankah perjumpaan dengan keluarga merupakan harta berharga?