Tepat pada
tanggal 14 Februari, yang oleh dunia kerap dirayakan sebagai hari kasih sayang,
Sahabat Insan (SI) merayakan misa bersama 20 TKI yang baru dideportasi dan akan
dipulangkan ke kampung halamannya di Kupang.
Mereka yang terdiri atas sembilan lelaki dan sebelas
perempuan ini sedang asik bermain-main di halaman rumah singgah saat SI datang. Bergegas mereka kemudian
mempersiapkan diri, mandi dan memanggil teman-teman yang lain untuk segera
berkumpul. Sambil menunggu mereka mempersiapkan diri, SI mempersiapkan
perlengkapan yang diperlukan untuk misa. Tidak lama kemudian, Suster Anna
beserta kedua rekannya, Sdri. Monic dan Sdri. Endah juga tiba di tempat.
Ada seorang
bernama Yanti. Saat kami datang dia sedang sibuk menyusui bayi lelakinya.
Kepada kami dia bercerita bahwa sudah dua tahun ia bersama suaminya bekerja di
Malaysia. Wanita asal Atambua ini
melahirkan anak pertamanya ini 21 hari yang lalu di sebuah rumah sakit di Kuala
Lumpur. Menurut ceritanya, selama ini ia dicari oleh pihak yang
berwenang untuk dipulangkan ke Indonesia dengan alasan yang tidak ia ketahui.
Ketika akan melahirkan dia datang ke sebuah rumah sakit, dan pihak rumah sakit
melaporkannya ke Polisi. Setelah ia melahirkan bayinya dengan selamat
melalui operasi caesar dan telah membayar biaya rumah sakit, dia diijinkan untuk pulang. Namun malang, saat hendak mencari kendaraan untuk kembali ke
rumah majikan, dia ditangkap dan secara kebetulan tidak membawa dokumen satu
pun, dan dipulangkan ke Indonesia minggu lalu.
Lain lagi
cerita dari enam lelaki asal Sumba. Enam bulan lalu mereka berangkat bersama
teman-temannya karena ditawari untuk bekerja di kebun sawit di Sarawak.
Sesampai di sana, pekerjaan mereka tidak dihargai dan tidak dibayar sepeser
pun, walaupun setiap hari mereka diberi makan dan tempat tinggal seadanya di
barak. Karena tidak tahan, akhirnya keenam pemuda ini melarikan diri melalui
hutan. Selama dua hari dua malam mereka berjalan kaki, berbekal
mie instan yang langsung dimakan tanpa dimasak jika mereka lapar, dan minum
dari air sungai yang mereka temui atau air hujan. Sesampai di Kalimantan,
mereka diantar ke dinas sosial setempat dan oleh dinsos setempat dibawa ke Jakarta
untuk diurus proses pemulangannya.
Di tempat
itu juga ada dua orang perempuan yang baru pertama kali mengadu nasib di negeri
orang, dan langsung tertangkap. Mereka berangkat dari Kupang menuju Surabaya
dengan kapal laut, kemudian menuju Batam, dan dari Batam mereka naik kapal laut
bersama dengan 50-an rekan mereka. Kapal tersebut tidak menepi di pelabuhan,
namun mereka diturunkan di sebuah hutan dan tiba di situ sekitar pukul 01.00 dini hari. Malang tidak
dapat ditolak, saat melewati hutan tersebut, rombongan tertangkap oleh petugas
keamanan setempat. Beberapa orang mampu menyelamatkan diri, namun banyak juga
yang tertangkap dan langsung dimasukkan penjara. Setelah 3 bulan lebih menghuni penjara, mereka akhirnya
dipulangkan ke Indonesia.
Kisah yang paling mengenaskan datang dari Erna, entah ini nama sebenarnya atau bukan. Selama bekerja di Malaysia, ia kerap mengalami kekerasan oleh majikannya. Majikan sering memukuli dan memarahinya karena alasan yang tidak jelas. Puncaknya, suatu hari ia dicekik oleh majikannya sampai telinga dan mulutnya mengeluarkan darah. Tindakan itu membuat ia kesulitan bicara dan karena dianggap tidak mampu bekerja, ia dipulangkan. Akibat sulit bicara, maka dinsos kesulitan untuk mencari informasi tentang dirinya. Semua dokumen yang dibawanya terlihat seperti dipalsukan. Misalnya, di KTP tertulis bahwa dia adalah mahasiswa, padahal ia buta huruf tidak bisa membaca. Begitu juga saat dicek alamat yang tertera di KTP-nya, ternyata tidak ada orang di daerah tersebut yang mengenalnya. Ketidakjelasan informasi ini membuat ia belum bisa dipulangkan bersama teman-temannya.
Kisah yang paling mengenaskan datang dari Erna, entah ini nama sebenarnya atau bukan. Selama bekerja di Malaysia, ia kerap mengalami kekerasan oleh majikannya. Majikan sering memukuli dan memarahinya karena alasan yang tidak jelas. Puncaknya, suatu hari ia dicekik oleh majikannya sampai telinga dan mulutnya mengeluarkan darah. Tindakan itu membuat ia kesulitan bicara dan karena dianggap tidak mampu bekerja, ia dipulangkan. Akibat sulit bicara, maka dinsos kesulitan untuk mencari informasi tentang dirinya. Semua dokumen yang dibawanya terlihat seperti dipalsukan. Misalnya, di KTP tertulis bahwa dia adalah mahasiswa, padahal ia buta huruf tidak bisa membaca. Begitu juga saat dicek alamat yang tertera di KTP-nya, ternyata tidak ada orang di daerah tersebut yang mengenalnya. Ketidakjelasan informasi ini membuat ia belum bisa dipulangkan bersama teman-temannya.
Misa hari
itu dipimpin oleh Romo I. Ismartono, SJ. Sebelum misa, romo mengajak mereka
berbincang-bincang. Salah seorang dari mereka bercerita bahwa ia sudah lama
sekali tidak menerima Komuni Kudus karena suaminya selingkuh dan meninggalkannya,
dan menurut rekan-rekannya di sana ia tidak boleh menerima komuni. Romo
kemudian meluruskan bahwa dalam hal ini ia tidak bersalah dan boleh menerima
komuni. Kita, terutama yang sedang berbeban berat, harus sering-sering menerima
komuni karena komuni merupakan wujud bahwa Tuhan hadir, Tuhan yang selalu
mencintai kita betapa pun kita sangat berdosa. Romo kemudian membimbing mereka untuk menyanyikan lagu
Ave Maria dan Bunda Penolong Abadi. Paduan suara indah pun terdengar dari suara khas mereka yang sangat merdu. Lagu yang dilantunkan dengan penuh penghayatan tersebut begitu menggetarkan hati, memancarkan kerinduan mereka akan kehangatan di kampung halaman. Lagu "Bunda Penolong Abadi" memang lagu khas yang selalu mereka nyanyikan di setiap kesempatan. Mungkin seperti lagu "Ndherek Dewi Maria" untuk umat Katolik di Jawa. Di kesempatan itu, Romo juga membagikan rosario ke
masing-masing anak serta memberi kesempatan untuk mengaku dosa. Sementara menunggu
temannya yang sedang pengakuan, Suster Anna memimpin TKI yang lain berlatih lagu-lagu
yang akan dinyanyikan dalam misa.
Dalam kotbah saat misa, Romo Ismartono kembali menekankan tentang betapa cintanya Tuhan kepada umat-Nya. Bacaan Injil yang digunakan hari itu adalah mengenai orang kusta yang dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya, namun Yesus hadir dan berkenan menyembuhkannya. Orang kusta di jaman ini adalah orang yang merasa kesepian, ditinggalkan, tidak dihargai oleh lingkungan sekitarnya, tersingkir, dan tidak memiliki harapan. Jika ada yang merasa demikian, datanglah kepada Yesus, karena Dia tidak pernah menolakmu, tidak juga akan pernah meninggalkanmu dan tidak pernah berhenti mencintaimu, demikian kata Romo Ismartono dalam homilinya.
Dalam kotbah saat misa, Romo Ismartono kembali menekankan tentang betapa cintanya Tuhan kepada umat-Nya. Bacaan Injil yang digunakan hari itu adalah mengenai orang kusta yang dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya, namun Yesus hadir dan berkenan menyembuhkannya. Orang kusta di jaman ini adalah orang yang merasa kesepian, ditinggalkan, tidak dihargai oleh lingkungan sekitarnya, tersingkir, dan tidak memiliki harapan. Jika ada yang merasa demikian, datanglah kepada Yesus, karena Dia tidak pernah menolakmu, tidak juga akan pernah meninggalkanmu dan tidak pernah berhenti mencintaimu, demikian kata Romo Ismartono dalam homilinya.
Selesai
misa, wajah mereka terlihat ceria. Suster
Anna dan Suster Laurentina kemudian membagi-bagikan kue-kue kecil dan minuman,
serta mereka duduk melingkar untuk saling bercerita. Mereka menyampaikan
kebahagiaan mereka karena hari Minggu mereka akan pulang dan bertemu kembali
dengan keluarga yang mereka cintai. Sebagian dari mereka menyatakan akan
kembali lagi ke Malaysia karena keluarganya berada di sana. Dari kelompok ini
ada 7 orang tidak tamat SD, 5 orang lulusan SD, 5 orang lulusan SMP dan 1 orang
lulusan SMU. Mereka menceritakan
susahnya mendapatkan pekerjaan di kampung halaman karena di sana sebagian besar
memang berkebun dan diyakini tidak bisa meningkatkan taraf hidup mereka. Kami
kemudian memberitahu bahwa tidak salah mencari nafkah di negeri lain, asal
semua dokumennya asli dan lengkap sehingga tidak menemui masalah seperti
sekarang ini.
Kabar
terakhir yang kami terima, hari Minggu tanggal 15 Februari 2015 mereka sudah
diberangkatkan menuju Kupang dengan kapal Umsini. Semoga mereka tiba di kampung halaman dengan selamat dan bertemu kembali dengan orang-orang yang dicintainya untuk merajut kembali masa depan yang lebih indah.