Wednesday, February 18, 2015

Merayakan Cinta

Tepat pada tanggal 14 Februari, yang oleh dunia kerap dirayakan sebagai hari kasih sayang, Sahabat Insan (SI) merayakan misa bersama 20 TKI yang baru dideportasi dan akan dipulangkan ke kampung halamannya di Kupang. 


Mereka  yang terdiri atas sembilan lelaki dan sebelas perempuan ini sedang asik bermain-main di halaman rumah singgah saat SI datang. Bergegas mereka kemudian mempersiapkan diri, mandi dan memanggil teman-teman yang lain untuk segera berkumpul. Sambil menunggu mereka mempersiapkan diri, SI mempersiapkan perlengkapan yang diperlukan untuk misa. Tidak lama kemudian, Suster Anna beserta kedua rekannya, Sdri. Monic dan Sdri. Endah juga tiba di tempat.

Ada seorang bernama Yanti. Saat kami datang dia sedang sibuk menyusui bayi lelakinya. Kepada kami dia bercerita bahwa sudah dua tahun ia bersama suaminya bekerja di Malaysia. Wanita asal Atambua ini melahirkan anak pertamanya ini 21 hari yang lalu di sebuah rumah sakit di Kuala Lumpur. Menurut ceritanya, selama ini ia dicari oleh pihak yang berwenang untuk dipulangkan ke Indonesia dengan alasan yang tidak ia ketahui. Ketika akan melahirkan dia datang ke sebuah rumah sakit, dan pihak rumah sakit melaporkannya ke Polisi. Setelah ia melahirkan bayinya dengan selamat melalui operasi caesar dan telah membayar biaya rumah sakit, dia diijinkan untuk pulang. Namun malang, saat hendak mencari kendaraan untuk kembali ke rumah majikan, dia ditangkap dan secara kebetulan tidak membawa dokumen satu pun, dan dipulangkan ke Indonesia minggu lalu.

Lain lagi cerita dari enam lelaki asal Sumba. Enam bulan lalu mereka berangkat bersama teman-temannya karena ditawari untuk bekerja di kebun sawit di Sarawak. Sesampai di sana, pekerjaan mereka tidak dihargai dan tidak dibayar sepeser pun, walaupun setiap hari mereka diberi makan dan tempat tinggal seadanya di barak. Karena tidak tahan, akhirnya keenam pemuda ini melarikan diri melalui hutan. Selama dua hari dua malam mereka berjalan kaki, berbekal mie instan yang langsung dimakan tanpa dimasak jika mereka lapar, dan minum dari air sungai yang mereka temui atau air hujan. Sesampai di Kalimantan, mereka diantar ke dinas sosial setempat dan oleh dinsos setempat dibawa ke Jakarta untuk diurus proses pemulangannya.

Di tempat itu juga ada dua orang perempuan yang baru pertama kali mengadu nasib di negeri orang, dan langsung tertangkap. Mereka berangkat dari Kupang menuju Surabaya dengan kapal laut, kemudian menuju Batam, dan dari Batam mereka naik kapal laut bersama dengan 50-an rekan mereka. Kapal tersebut tidak menepi di pelabuhan, namun mereka diturunkan di sebuah hutan dan tiba di situ sekitar pukul 01.00 dini hari. Malang tidak dapat ditolak, saat melewati hutan tersebut, rombongan tertangkap oleh petugas keamanan setempat. Beberapa orang mampu menyelamatkan diri, namun banyak juga yang tertangkap dan langsung dimasukkan penjara.  Setelah 3 bulan lebih menghuni penjara, mereka akhirnya dipulangkan ke Indonesia.

Kisah yang paling mengenaskan datang dari Erna, entah ini nama sebenarnya atau bukan. Selama bekerja di Malaysia, ia kerap mengalami kekerasan oleh majikannya. Majikan sering memukuli dan memarahinya karena alasan yang tidak jelas. Puncaknya, suatu hari ia dicekik oleh majikannya sampai telinga dan mulutnya mengeluarkan darah. Tindakan itu membuat ia kesulitan bicara dan karena dianggap tidak mampu bekerja, ia dipulangkan. Akibat sulit bicara, maka dinsos kesulitan untuk mencari informasi tentang dirinya. Semua dokumen yang dibawanya terlihat seperti dipalsukan. Misalnya, di KTP tertulis bahwa dia adalah mahasiswa, padahal ia buta huruf tidak bisa membaca. Begitu juga saat dicek alamat yang tertera di KTP-nya, ternyata tidak ada orang di daerah tersebut yang mengenalnya. Ketidakjelasan informasi ini membuat ia belum bisa dipulangkan bersama teman-temannya.

Misa hari itu dipimpin oleh Romo I. Ismartono, SJ. Sebelum misa, romo mengajak mereka berbincang-bincang. Salah seorang dari mereka bercerita bahwa ia sudah lama sekali tidak menerima Komuni Kudus karena suaminya selingkuh dan meninggalkannya, dan menurut rekan-rekannya di sana ia tidak boleh menerima komuni. Romo kemudian meluruskan bahwa dalam hal ini ia tidak bersalah dan boleh menerima komuni. Kita, terutama yang sedang berbeban berat, harus sering-sering menerima komuni karena komuni merupakan wujud bahwa Tuhan hadir, Tuhan yang selalu mencintai kita betapa pun kita sangat berdosa. Romo kemudian membimbing mereka untuk menyanyikan lagu Ave Maria dan Bunda Penolong Abadi. Paduan suara indah pun terdengar dari suara khas mereka yang sangat merdu. Lagu yang dilantunkan dengan penuh penghayatan tersebut begitu menggetarkan hati, memancarkan kerinduan mereka akan kehangatan di kampung halaman. Lagu "Bunda Penolong Abadi" memang lagu khas yang selalu mereka nyanyikan di setiap kesempatan. Mungkin seperti lagu "Ndherek Dewi Maria" untuk umat Katolik di Jawa. Di kesempatan itu, Romo juga membagikan rosario ke masing-masing anak serta memberi kesempatan untuk mengaku dosa. Sementara menunggu temannya yang sedang pengakuan, Suster Anna memimpin TKI yang lain berlatih lagu-lagu yang akan dinyanyikan dalam misa. 



Dalam kotbah saat misa, Romo Ismartono kembali menekankan tentang betapa cintanya Tuhan kepada umat-Nya. Bacaan Injil yang digunakan hari itu adalah mengenai orang kusta yang dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya, namun Yesus hadir dan berkenan menyembuhkannya. Orang kusta di jaman ini adalah orang yang merasa kesepian, ditinggalkan, tidak dihargai oleh lingkungan sekitarnya, tersingkir, dan tidak memiliki harapan. Jika ada yang merasa demikian, datanglah kepada Yesus, karena Dia tidak pernah menolakmu, tidak juga akan pernah meninggalkanmu dan tidak pernah berhenti mencintaimu, demikian kata Romo Ismartono dalam homilinya. 






Selesai misa, wajah mereka terlihat ceria.  Suster Anna dan Suster Laurentina kemudian membagi-bagikan kue-kue kecil dan minuman, serta mereka duduk melingkar untuk saling bercerita. Mereka menyampaikan kebahagiaan mereka karena hari Minggu mereka akan pulang dan bertemu kembali dengan keluarga yang mereka cintai. Sebagian dari mereka menyatakan akan kembali lagi ke Malaysia karena keluarganya berada di sana. Dari kelompok ini ada 7 orang tidak tamat SD, 5 orang lulusan SD, 5 orang lulusan SMP dan 1 orang lulusan SMU.  Mereka menceritakan susahnya mendapatkan pekerjaan di kampung halaman karena di sana sebagian besar memang berkebun dan diyakini tidak bisa meningkatkan taraf hidup mereka. Kami kemudian memberitahu bahwa tidak salah mencari nafkah di negeri lain, asal semua dokumennya asli dan lengkap sehingga tidak menemui masalah seperti sekarang ini.


Kabar terakhir yang kami terima, hari Minggu tanggal 15 Februari 2015 mereka sudah diberangkatkan menuju Kupang dengan kapal Umsini. Semoga mereka tiba di kampung halaman dengan selamat dan bertemu kembali dengan orang-orang yang dicintainya untuk merajut kembali masa depan yang lebih indah.