Mulai bulan Januari 2019, Sahabat Insan menerima seorang relawati baru. Jenny Lamao namanya. Gadis kelahiran Seba, Sabu Raijua, NTT 20 tahun silam ini baru lulus dari Akademi Pekerjaan Sosial Kupang, dan bergabung dengan Yayasan Sosial Penyelenggaraan Illahi (YSPI) pimpinan Sr. Laurentina, PI. Di sana ia membantu melaksanakan karya-karya pelayanan YSPI, terutama untuk PMI dan korban perdagangan manusia. Kali ini ia akan berkisah mengenai perjalanannya mengantar seorang korban perdagangan manusia kembali ke kampung halamannya.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari Selasa, 26 Maret 2019, Sr. Laurentina mengajakku mengantar kepulangan kakak Yani (bukan nama sebenarnya) ke tempat kelahirannya di Oinlasi, Timor Tengah Selatan. Kakak Yani adalah seorang PMI berusia 33 tahun yang baru dipulangkan dari Malaysia setelah bekerja selama 14 tahun di sana sebagai asisten rumah tangga. Siang itu, Suster Laurentina dan kakak Yani terlebih dahulu pergi ke kantor BP3TKI bersama kakak
laki-lakinya dengan mobil pick-up. Kami menyusul mereka ke kantor tersebut saat ada pemberitahuan dari suster
Laurentina bahwa urusan dengan BP3TKI sudah selesai dan siap pergi ke Timor Tengah
Selatan.
Perjalanan ke rumah Kakak Yani pun dimulai. Aku
bersama Sr. Matilda naik mobil pick
up milik kakak laki-laki Yani. Sr. Matilda duduk di depan, sedangkan aku bersama kakak perempuan Yani yang bergabung bersama kedua orang anak perempuannya. Di tengah jalan, seorang laki-laki yang kemudian diketahui sebagai keponakan Yani juga ikut naik ke mobil untuk mengantar kepulangan saudaranya. Sedangkan suster Laurentina dan Yani sendiri menggunakan mobil BP3TKI bersama dengan tiga orang petugas BP3TKI Kupang.
Di tengah jalan, tepatnya di cabang ke Desa Oinlasi, aku
mabuk berat. Awalnya aku duduk di sebuah papan yang dijadikan tempat duduk,
pusing menyerang dan mual membuatku terduduk dengan lutut tertekuk dan kepalaku
aku sandarkan ke papan tadi. Suster Matilda yang melihat keadaanku kemudian memberikan
balsam sambil sedikit menggoda apakah aku kuat sampai tujuan.
Dari jalan mulus beraspal, kami masuk
jalan yang rusak. Lubang dengan genangan air ada di mana-mana. Dari aspal, kami
sampai di jalan tanah putih, lalu tanah coklat. Lubangnya makin besar dengan
genangan air coklat. Perjalanan semakin melelahkan karena om supir,
yang mana adalah kakak laki-laki Yani, sering tidak memperhatikan jalan dan hampir
melaju melewati lubang besar. Otomatis dia menghindar lubang tersebut dengan menginjak rem kuat-kuat. Akibatnya, aku terjengkang ke belakang karena tidak
berpegangan. Beruntungnya ada dua koper besar milik Kakak Yani yang diletakkan
di situ yang menahanku sehingga tidak terjatuh. Anehnya, semua orang yang ada dalam mobil itu malah tertawa melihat semua kejadian ini. Mereka menasehatiku agar selalu berpegangan agar tidak terguncang-guncang karena kondisi jalanan yang kurang baik.
Setelah melewati perjalanan panjang, akhirnya kami sampai di gereja Santo Paulus,
Oinlasi. Kali ini mabukku sudah benar-benar hilang karena di depan mata disuguhi pemandangan
yang luar biasa indahnya, dan tentu saja membuatku bersemangat. Bunga dengan berbagai macam
warna memanjakan indra penglihatan. Apalagi ditunjang dengan udara segar alami yang menyapa hidung. Kami masuk ke pastoran dan bertemu
dengan Romo Sebastian. Ibu Novi dari BP3TKI kemudian menyampaikan maksud dan tujuan kami menghadap beliau, yaitu untuk meminta Romo Sebastian sebagai saksi saat
menyerahkan Yani kepada keluarganya beserta semua barang yang dibawanya. Keluarga yang tadi ikut berangkat dari Kupang pun akan menjadi saksi serah terima tersebut di rumah Yani di Kuale’u. Sesuai saran Romo, malam itu kami menginap di tempat tersebut karena jalan menuju ke
Kuale’u tidak bisa diakses saat malam hari, selain karena hujan deras yang
turun tadi juga Romo takut terjadi hal yang diinginkan dalam
perjalanan nanti.
Keesokan harinya, kami mengawali pagi dengan mengikuti
Misa Pagi yang dipimpin oleh Romo Sebastian, diikuti oleh
para suster, para frater, anak sekolah sekaligus anak asrama. Usai sarapan pagi, kami foto bersama di depan gereja
Santo Paulus, lalu berangkat menuju Desa Kuale’u, tempat tinggal orangtua
Yani. Selama perjalanan, goncangan di dalam mobil pick-up semakin terasa, namun aku yang sudah berdoa dalam hati sebelum
naik tadi mencoba bersyukur dan menikmati perjalanan di desa yang asri dan udaranya belum terkontaminasi polusi. Di sepanjang jalan terlihat siswa/siswi berseragam putih merah, putih biru maupun
putuh abu-abu berjalan beriringan untuk menuntut ilmu. Rambut basah, keringat
yang bercucuran tak memangkas semangat mereka untuk belajar. Perjalanan yang ditempuh
biasanya berkilo-kilo. Melihat mereka mengembalikan memori tempo dulu semasa SMA. Dengan senyuman yang lebar serta tangan yang melambai, aku
berteriak dari dalam kepada mereka, “daaaaaaahhhhh.” Ada yang menjawab dengan lantang, ada
yang malu-malu, ada pula yang balas melambaikan tangan.
Karena ketakutan untuk mabuk masih kuat, akhirnya aku
pindah ke mobil Romo Bastian. Mobil Jeep memang paling pas untuk medan berat
seperti ini. Aku duduk bersama suster Laurentina di belakang, sedangkan Romo Venan
menemani Romo Sebastian di depan. Romo Sebastian mengemudikan mobil seperti seorang pembalap. Jika tidak berpegangan kuat-kuat, maka siap-siap akan terpelanting.
Di ujung jalan kami melihat truk kuning di ujung tanjakan, di jalan yang sempit,
berbatu, dengan keadaan jalan yang mengenaskan. Kami pun berhenti dan turun
dari mobil. Romo memeriksa keadaan dan ternyata truk itu mogok karena ada as roda yang patah membuatnya terjebak. Setelah berbincang sejenak dengan pengemudi truk tersebut, kami pun melanjutkan perjalanan. Tiga mobil yang berjalan beriringan dari gereja Santo Paulus, Oinlasi tadi berhasil melewati jalan sempit di sebelah truk yang masih tersangkut tadi. Jalan yang ditempuh masih berkelok-kelok dan naik-turun,
goncangan-goncangan tak pernah alpa. Meskipun demikian, tak sedetik pun aku menyesal.
Pemandangan yang ditawarkan akan mengobati lelah yang pelan-pelan merasuk.
Kami berhenti di sebuah bukit dengan hamparan hijau pegunungan.
“Pung gaga le,” aku terkesima. Indah sekali. Tak urung aku mengambil foto dan memvideokan keindahan ini. Momen seperti
ini tidak boleh dilewatkan begitu saja. Udara yang sejuk, langit biru dengan
bercak-bercak putih menjadi atap kami. Akh, sungguh kreatif Sang Pencipta ini.
Membuat segala sesuatu indah dan bisa dinikmati. Anak-anak sekolah yang lewat
juga tak luput dari bidikan handphone
milik Suster Laurentina. Selfie, wefie, maupun
back camera sebagai penanda bahwa
aku, kami pernah di sini.
Perjalanan ke pedalaman tidak pernah mudah. Turunan
dengan belokan tajam sudah menjadi hal biasa. Romo Sebastian berkutat dengan
setir mobil, Romo Venan sebagai operator musik,
aku dan suster menguatkan genggaman pada pegangan. Musik klasik Indonesia, slow rock, maupun pop Indonesia menjadi
penghibur penat, seringnya kami berkumandang mengikuti lirik. Mengeluarkan
suara sebaik mungkin meskipun pada akhirnya menjadi sumbang karena bebatuan dan
lubang-lubang yang dilalui. Dalam keadaan tergoncang aku berucap “ini my trip my adventure ni ma.” Romo Sebastian dan Romo Venan menanggapi dengan tertawa.
Ternyata, rumah orang tua Yani berada di jalan buntu di atas bukit. Untuk mencapainya, kami tidak bisa naik mobil dan harus ditempuh dengan berjalan kaki menuju ke atas. Napas satu-satu dan peluh yang turun di siang hari ini membuatku melepaskan jaket. Olahraga, kata mereka yang sudah sampai di atas, duduk beristirahat di batu-batu yang ada disitu. Rumah bulat sejajar dengan rumah tembok menarik perhatianku. Mengambil napas dalam-dalam, ku selonjorkan kaki. Sudah berapa lama aku tidak mendaki seperti ini. Kakiku mati rasa, ia sudah bekerja keras hari ini.
Sesampainya di atas bukit, tetangga-tetangga Yani yang melihatnya merasa kaget dan spontan memeluk Yani dengan
tangisan. Selama ini mereka berpikir bahwa ia sudah lama tiada, namun hari ini
mereka melihatnya berdiri tegap. Belasan tak berjumpa, melepas rindu selalu
melegakan. Bersama Yani, aku dan suster mengikuti dari belakang memasuki rumah
bulat itu menemui orang tuanya. Yani merupakan anak ketiga dari istri ketiganya.
Ayah kandung Yani sendiri sudah lanjut usia. Ia sudah tidak mampu melangkah tanpa tongkat, punggungnya sudah tidak mampu tegak. Perlahan ia keluar dari rumah bulat, dibantu dengan kedua tangannya. Pelukan rindu ia berikan kepada anaknya yang sudah lama tidak ia jumpai itu. Sang ayah berpikir bahwa anaknya yang ini juga sudah meninggal karena tidak pernah terdengar kabar darinya. "Kalau saya masih sekuat dulu, pasti saya sudah pergi cari dia.’ katanya dengan air di pelupuk matanya. Ia menggunakan bahasa Dawan dan diterjemahkan oleh Sr Matilda. Kakak laki-laki Yani juga tak kuasa menahan air matanya melihat kejadian yang mengharukan tersebut.
Sirih pinang langsung disuguhkan kepada kami dengan
sopan, diikuti dengan teh, jeruk besar yang sangat menyegarkan di lidah, tak
lupa pisang rebus dengan cabai merah yang sudah diulik. Siang hari memang
paling pas menikmati jeruk besar dengan perpaduan manis, asam, dan sedikit
pahit.
Ibu Yosi dari BP3TKI kemudian menyampaikan maksud
dan tujuan kedatangan mereka, yaitu untuk mengantar kepulangan Yani ke orang
tuanya, didampingi oleh seorang bapak yang merupakan sekretaris paroki yang bertugas sebagai
penerjemah. Sejumlah dokumen
ditandatangani dengan dibantu oleh petugas BP3TKI, dan suster
Laurentia meminjamkan punggungnya agar mempermudah penandatanganan, diikuti
oleh salah satu Kaur desa, dan juga Romo Sebastian.
Penyerahan barang dilakukan setelah
kami menikmati santapan siang yang disiapkan oleh keluarga. Dua ekor ayam bakar,
nasi, juga sayur pucuk labu sudah lebih dari cukup untuk menghentikan raungan
di perut kami. Suster Laurentina dan suster Matilda memberikan penguatan kepada sang ayahanda agar ia selalu sehat.
Kepada kami, keluarga membawakan buah tangan beberapa buah labu. Tak lama kemudian, kami pamit pulang karena takut hujan segera turun. Jika hujan, maka akan semakin sulit
medan yang ditempuh. Yani pun ikut kembali ke Kupang untuk bekerja di sana. Kami kemudian singgah sebentar ke rumah bapak sekretaris paroki dan mendapatkan jeruk dan alpukat
hasil kebun sendiri. Rumah bapak sekretaris paroki ternyata
berdekatan dengan rumah kakak kandung perempuan Yani dan saat bertemu, mereka pun langsung berpelukan erat. Tak ingin
mengganggu momen mereka aku segera kembali ke mobil yang sudah terisi setengah karung jeruk dan setengah karung alpukat yang akan
kami bawa ke Kupang.
Akhirnya kami pun memulai perjalanan pulang. Romo Sebastian mengganti rute perjalanan dengan jalur yang lebih menegangkan. Goncangan makin keras membuatku tanpa sadar
mengucapkan doa Salam Maria. Kami juga melewati sebuah kali yang airnya mengalir. Ingin rasanya aku mandi untuk paling tidak merasakan kesejukan air tersebut. Tapi
sayangnya kami harus segera pulang, rintik-rintik air mulai berjatuhan dari
langit. Rintik hujan berubah menjadi gerimis, jalan pun semakin menjadi. Di depan kami sebuah mobil pick-up melaju dengan gerakan spiral, pelan-pelan kami mengikuti dari belakang
hingga akhirnya kami melaju lebih dahulu karena mobil itu memilih berhenti
sebelum kecelakaan terjadi.
Akhirnya kami sampai di paroki dan sudah ditunggu
oleh petugas BP3TKI dan Suster Matilda. Turun dari
mobil, aku merenggangkan badan, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Kami masih
harus melanjutkan perjalanan kembali ke Kupang. Selalu dalam hati aku berdoa
agar tidak mabuk. Kami lalu berpamitan dengan Romo Sebastian, juga Romo Venan. “Nice trip, Romo.” Aku berucap sambil mengarahkan telapak tanganku
padanya. Ia tertawa lalu membalas ucapanku dengan kalimat yang sama, telapak
tangannya menempel dengan telapak tanganku. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Kupang yang masih akan ditempuh dalam waktu enam jam. Saat pergi ke Oinlasi aku basah karena hujan, dan
saat pulang pun aku kembali basah, namun kali ini Suster Matilda juga ikut
basah. Hujan yang turun dengan deras itu menemani perjalanan pulang kami dan akhirnya tiba dengan selamat sampai tujuan.
Sungguh hari ini aku mendapatkan pengalaman yang luar biasa. Kepenatan yang luar biasa, pemandangan yang indah, sambutan yang ramah, kesedihan dan kegembiraan membuat perasaanku bercampur aduk menjadi satu. Jalan panjang yang kami tempuh tadi mungkin juga merupakan jalan panjang seorang pekerja migran untuk memperbaiki nasibnya sendiri maupun keluarganya. Terjal dan penuh liku. Semoga di suatu saat nanti ada jalan yang lebih baik yang bisa mereka tempuh untuk mencapai harapan mendapatkan hidup yang lebih layak.