Laporan Jeni Laamo dari Kupang.
Satu desa yang hari ini, Jumat 8 April 2022 disapa oleh Tim Unit Anti Perdagangan Manusia, JPIC Divina Providentia Kupang yang bekerjasama dengan KKPMP-KWI dalam hal ini adalah Romo Perno dari Paroki, adalah Desa Wologai, Ende.
Dari Kapela
Santo Arnoldus Jansen Wolowona (tempat menginap selama di Ende) kami menempuh
hampir dua jam perjalanan untuk bisa sampai di Kapela Santo Matius Wologai.
Kegiatan sosialisasi ini dimulai dengan sambutan dari Bapak Kepala Desa
Wologai, Andreas Ba'u dilanjutkan dengan penjelasan singkat tentang kegiatan
sosialisasi yang membahas tentang migran perantau. Suster Laurentina, SDP
melanjutkan kegiatan sosialisasi ini dengan menjelaskan tentang koggregasi
melalui video singkat Pelayanan Suster-Suster Penyelenggara Ilahi. Masuk pada
materi, Suster menjelaskan kepada masyarakat Desa Wologai tentang Migrasi dan
Human Trafficking serta menyertakan Pelayanan Kargo. Kegiatan sosialisasi yang
bertempat di Kapela Santo Matius Wologai, dihadiri oleh orangtua, pihak
pemerintah dan gereja serta anak-anak sekolah baik SMP maupun SMA. Usai
penyampaian materi, suster memutarkan beberapa video yaitu pelayanan kargo,
pemulangan korban hidup dan video Kabar dari Medan?
Permintaan disampaikan kepada Suster untuk bisa mengunjungi sekolah-sekolah di Ende untuk sosialisasi sehingga ada anak-anak yang ingin mengikuti jejak langkah kaki dari suster. Yang berikut, dalam misi pendidikan dari konggregasi PI untuk memberikan perhatian kepada anak-anak sehingga hal yang tidak diinginkan seperti yang diinformasikan oleh suster tidak terjadi kepada mereka. Suster meresponnya dengan baik dan mengisahkan pengalaman hidupnya yang penuh lika liku menjadi seorang suster. Dari sekian banyak peserta ada dua remaja perempuan yang tertarik untuk menjadi seorang suster dan suster mengajak kami untuk mendoakan dua remaja itu.
Sebelum menutup kegiatan ini, Bapak Kepala Desa membagikan pengalamannya saat menerima jenazah-jenazah PMI yang dipulangkan dari Malaysia, juga rasa ingin tahunya mengapa peti jenazah dilarang untuk dibuka. Lalu Romo Perno dan Suster Laurentina SDP menjelaskan bahwa peti yang tidak boleh dibuka berkaitan dengan penyebab kematian PMI dan lama jenazah itu disimpan sebelum dipulangkan. Romo juga menjelaskan bahwa jenazah yang diurus oleh jaringan KKPMP-KWI sebelum petinya ditutup, harus difoto terlebih dulu sebagai bukti kepada keluarga bahwa benar jenazah itu adalah milik keluarga. Sesi paling akhir adalah foto bersama dan membuat video dimana masyarakatnya berucap, "Desa Welogai menolak perdagangan manusia, STOP Perdagangan Manusia" dengan lantang dan penuh semangat.
Hari ini adalah Jumat, dan menurut Ketua Stasi akan diadakan Jalan Salib di dalam gereja. Jalan Salib di sini tidak ditentukan waktu. Jadi jika umat sudah berkumpul maka Jalan Salib dilakukan. Sementara itu kami diajak untuk beristirahat di belakang kapela, dan ternyata umat sudah menyediakan minum dan kue untuk dinikmati bersama. Di NTT budaya patriarki sangat kental. Dalam lingkaran ini yang perempuan hanya aku dan suster. Sambil menunggu Jalan Salib selesai, aku banyak mendengarkan kisah dari Romo Perno dan bapak-bapak yang pernah merantau di Malaysia dan cukup lama tinggal di sana sampai akhirnya mereka mengenal dengan sangat baik jalan-jalan di sana dan bahkan tahu trik untuk menghadapi polisi di sana.
Kami lalu berpindah
ke rumah seorang bapak yang menyediakan makan siang. Ada singkong yang direbus, sambal, kolak
khas Ende (terbuat dari biji mutiara, beras ketan, dan singkong), nasi dan mie
rebus. Kami duduk makan bersama dengan berbagai cerita yang mengalir. Di akhir
makan siang ini, keluarga menawarkan sebotol moke (minuman beralkohol) untuk
diminum bersama.
Kami mampir
sebentar di rumah Maxi Jhe (mantan anak asrama) yang sekarang sudah menjadi
Sekretaris Desa Wologai. Ia selalu mendampingi kami. Setelah menyapa orang tua
Maxi kami berpamitan pulang kembali ke Kota Ende. Besok siang kami akan ke
Stasi Rajawawo yang menurut informasi romo adalah kantong buruh migran. Beberapa masyarakat di Desa Wologai yang kami temui juga berkata demikian.
Aku bersyukur
karena bisa bertemu dengan orang baru yang semangat membangun desa tempat
mereka tinggal. Hampir seluruh masyarakatnya berprofesi sebagai petani kemiri
karena memang sejauh mata memandang ada pohon kemiri, bahkan kulit kemiri pun
mereka bisa menjualnya dengan harga Rp. 5000/karung.
Memang akses
jalan ke sini sudah beraspal tapi belokan dan tikungan tajam menjadi tantangan
tersendiri bagi supir yang membawa kami ke sini.
Ende atau dataran Flores pada umumnya adalah daerah yang subur serta memiliki pantai yang indah. Di tanah Ende ini bahkan biji yang dibuang saja bisa tumbuh, airnya melimpah, dan jika musim hujan maka akan ditemukan beberapa air terjun. Dalam perjalanan menuju Danau Kelimutu kemarin aku menemukan dua air terjun kecil. Ende dan daratan Flores merupakan tempat yang indah. Tuhan seolah sedang tersenyum saat menciptakan pulau ini namun tetap saja banyak masyarakat Ende yang pergi merantau lalu pulang tinggal nama. Syukur kepada Allah karena aku bersama Suster Laurentina, SDP dalam karya Anti Human Trafficking ini bisa menjangkau daerah-daerah yang sulit dijangkau ini. Aku bersyukur karena para romo di sini perhatian dengan umat atau keluarga yang memiliki masalah dengan migran perantau dan membawa tim untuk hadir di desa ini dalam rangka penyadaran umat yang juga menjadi masyarakat basis tentang bahaya yang mengintai dibalik kata 'kerja di luar negeri.' Tentunya yang menjadi harapan kami para aktivis kemanusiaan adalah masyarakat bisa bekerja di luar negeri dengan aturan yang berlaku, melengkapi dokumen-dokumen yang dibutuhkan, dan bisa bekerja secara prosedural di negera penempatan. Semoga kasih yang kami berikan ini dalam bentuk sosialisasi tentang bahaya Perdagangan Manusia bisa sampai di telinga dan hati umat dan mau menyebarkan agar semakin banyak orang yang terselamatkan. Amin.